“Memahami Ahlu Sunnah wal-Jamaah”
![]() |
|
![]() |
|
Oleh: Dr. Adian Husaini
JURNAL Islamia-Republika, Kamis (16/2/2012), menurunkan laporan tentang Ahlu Sunnah wal-Jamaah (Aswaja). Pemahaman tentang Aswaja ini sangat penting, sebab saat ini umat Islam dihadapkan dengan berbagai tantangan pemikiran aliran. Ada sejumlah artikel menarik dan penting yang dibahas dalam Jurnal yang terbit atas kerjasama Harian Republika dan Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS).
JURNAL Islamia-Republika, Kamis (16/2/2012), menurunkan laporan tentang Ahlu Sunnah wal-Jamaah (Aswaja). Pemahaman tentang Aswaja ini sangat penting, sebab saat ini umat Islam dihadapkan dengan berbagai tantangan pemikiran aliran. Ada sejumlah artikel menarik dan penting yang dibahas dalam Jurnal yang terbit atas kerjasama Harian Republika dan Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS).
Dalam tulisannya yang berjudul “Prinsip dan Ukhuwah Ahlu Sunnah wal-Jamaah”, Dr. Khalif Muammar
memberikan definisi dan tantangan Aswaja. Abd al-Qahir al-Baghdadi (m.
429H/1037M), dalam kitabnya, al-Farq Bayn
al-Firaq, Ahlus Sunnah wal-Jamaah menjelaskan, bahwa Aswaja terdiri
atas delapan (8) kelompok: (i). Mutakallimun, atau Ahli ilmu Tawhid,
(ii). Ahli Fiqh aliran al-Ra’y dan al-Hadith, (iii). Ahli Hadis,(iv). Ahli Ilmu
Bahasa, (v). Ahli Qiraat dan Tafsir, (vi). Ahli Tasawwuf, (vii) Para Mujahidin,
dan (viii). Masyarakat awam yang mengikut pegangan Ahlus Sunnah wal-Jama’ah.
Berdasarkan penjelasan tersebut,bisa dipahami, konsep
Aswaja bukan hanya khusus kepada golongan Asya’irah atau Hanabilah dalam
pengertian yang sempit, tetapi mencakup siapa saja dari golongan mana saja yang
berpegang kepada prinsip-prinsip aqidah yang telah dirumuskan dan diperturunkan
dari generasi al-Salaf al-Salih.
Selama ini, para ulama Aswaja telah merumuskan
prinsip-prinsip yang menjadi pegangan mayoritas umat Islam, yang dikenal
sebagai tek-teks aqidah, seperti ‘Aqa’id al-Nasafi,
al-Aqidah al-Tahawiyyah, al-‘Aqidah al-Sanusiyyah dan sebagainya. Di
samping itu para Imam besar juga telah menulis rumusan masing-masing seperti
al-Fiqh al-Akbar oleh Imam Abu Hanifah, al-Iqtisad fi al-I’tiqad oleh Abu Hamid
al-Ghazali, dan al-‘Aqidah al-Wasitiyyah oleh Ibn Taymiyyah.
Prinsip pertama yang ditegaskan dalam rumusan-rumusan
tersebut adalah mengenai persoalan ‘Ilmu’ dan ‘Kebenaran’. Aswaja menegaskan
bahwa kebenaran adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah-rubah. Kebenaran
dapat dicapai oleh manusia apabila manusia memperolehnya dengan cara yang betul
dan tidak melampaui batas-batasnya.
Karena itu ulama Aswaja menolak pandangan kaum Sofis (Sufastha’iyyah, Sophists) yang mengatakan bahwa kebenaran itu tidak dapat dicapai oleh manusia (al-la adriyyah), atau kebenaran itu bergantung kepada orang yang mengatakannya (al-‘indiyyah), atau ada yang mengatakan bahwa tidak ada manusia yang tahu (al-‘inadiyyah). Kaum Sofis juga menolak otoritas siapa pun termasuk para nabi dan rasul.
Karena itu ulama Aswaja menolak pandangan kaum Sofis (Sufastha’iyyah, Sophists) yang mengatakan bahwa kebenaran itu tidak dapat dicapai oleh manusia (al-la adriyyah), atau kebenaran itu bergantung kepada orang yang mengatakannya (al-‘indiyyah), atau ada yang mengatakan bahwa tidak ada manusia yang tahu (al-‘inadiyyah). Kaum Sofis juga menolak otoritas siapa pun termasuk para nabi dan rasul.
Di era sekarang, prinsip Aswaja yang menolak sofisme
ini sangat relevan dan dapat memberi panduan dalam menghadapi golongan skeptik
dan agnostik dari aliran modernisme, atau kaum subjektivis dan nihilis dari
aliran posmodernisme, yang banyak diusung kaum liberal. Bisanya kaum Sofis suka
mengusung ungkapan, bahwa “semua pemikiran manusia adalah relative, sehingga
manusia tidak boleh memutlakkan pendapatnya, dengan menyatakan, bahwa yang lain
adalah salah atau benar.” Atau, dengan menyatakan, “Hanya Tuhan yang mutlak dan
yang tahu kebenaran.”
Demikianlah paparan Dr. Khalif Muammar, dosen dan
pakar pemikiran Islam dari Center for Advanced
Studies on Islam, Science, and Civilization (CASIS) --
Universiti Teknologi Malaysia. Sepanjang sejarahnya, konsep Aswaja juga menolak
pemahaman-pemahaman yang diusung kelompok Muktazilah, Khawarij, dan Syiah.
****
Dr. Amal Fathullah, dosen Institut Studi Islam
Darussalam, Gontor Ponorogo, dalam artikelnya yang berjudul “Aswaja: Salaf dan Khalaf”, mencatat, bahwa
golongan Aswaja adalah golongan yang selamat. Istilah sunnah pada Ahlus Sunnah
wal-Jamaah (Aswaja), merujuk pada petunjuk Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi
Wasallam (صلى الله عليه و سلم), sahabat-sahabatnya, baik ilmu,
aqidah, perkataan dan amalan, yaitu Sunnah yang harus dipedomani.
(Lihat buku al-Wasiyah al-Kubra fi Aqidah Ahl Sunnah
wal Jama’ah, h 23, Syarh Aqidah al Tahawiyah karangan
Abu al-‘izzi al-Hanafi h. 33).
Istilah Jama’ah merujuk pada umat terdahulu dari para
Sahabat dan Tabi’in, siapa yang mengikuti mereka sampai hari kiamat; mereka
berpegang teguh kepada al-Kitab dan Sunnah dan terhadap imam mereka;
mereka yang berpedoman kepada petunjuk Nabi Shalallaahu 'Alaihi Wasallam
(صلى الله عليه و سلم), sahabatnya dan
pengikutnya sampai hari kiamat. (Lihat buku al-I’tisam
karangan
al-Syatibi, Jilid I h. 28.)
Maka istilah Ahl Sunnah wal Jama’ah adalah mereka yang
berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم);
mereka yang bersepakat dalam hal itu. Mereka adalah para Sahabat dan
Tabi’in, para imam yang diberi hidayah dan yang mengikuti mereka,
dan siapa yang berjalan mengikuti jejak mereka dalam aqidah, perkataan dan
perbuatan sampai hari kiamat. (Abu al-‘izzi al-Hanafi, Op Cit, h.330)
Pengertian perpecahan yang dimaksudkan oleh hadis Nabi
adalah perpecahan dalam hal pokok-pokok akidah, dan bukan dalam hal syariah furuiyah. Mereka yang
berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah dan para Sahabatnya adalah
golongan yang selamat. Dan bagi mereka yang menyalahi sunnah Rasulullah dan
para Sahabatnya akan menemui kehancuran.
Al Imam Bayhaqi (Wafat 458 H) yang mempopulerkan
istilah Ahl Sunnah wal Jam’ah dalam bukunya yang berjudul “al-I’tiqad ‘ala madhab al-Salaf Ahl Sunnah Wal Jama’ah”, Penerbit al
Salam al ‘Alamiyah, Cairo, 1984, dan Dr. Abdul Halim al-Jundi dalam
bukunya yang berjudul “Ahmad bin Hambal:
Imam Ahl Sunnah” Dar al- Ma’arif, Cairo 1977. Kemudian Dr. Ali Abd
al-Fattah al-Maghribi menulis buku yang berjudul “ Imam Ahl Sunnah wal
Jama’ah:Abu Mansur al-Maturidi wa Arauhu al-Kalamiyah, Maktabah Wahbah, Cairo,
1985.
Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai mazhab agama
adalah mazhab yang didirikan oleh Shahibul Syariah Nabi Muhammad Shalallaahu
'Alaihi Wasallam (صلى الله
عليه و سلم) kemudian
diteruskan kepada para sahabat dan Tabiin dan Tabi’u tabi’in sampai hari
kiamat. Dari sini kemudian terkenal istilah mazhab Salaf. Pengertian Salaf dari
segi sejarah adalah mereka yang terdiri dari: Sahabah, Tabi’in dan Tabi’u
al-Tabi’in dari ketiga abad (generasi) pertama hijrah, sedangkan mazhab Salaf
adalah mazhab ketiga generasi tersebut, dan mereka yang mengikuti mereka,
terdiri dari para imam seperti imam yang empat, Sofyan Tsauri, Sofyan bin
Ayyinah, al-Layth bin sa’ad. Abdullah bin al-Mubarak, al-Bukhari
Muslim, dan seluruh Ashabul sunnan, yang mengkuti jalan (metode)
orang-orang terdahulu generasi per generasi. Dikecualikan dari mereka
disebut sebagai golongan bid’ah seperti Muktazilah, Khawarij. Qadariyah,
Jabriyah, Murji’ah dan Syi’ah. (Ahmad bin al-hajar , al-‘Aqaid
al-Salafiyah, J 1, Beirut,1971, h.11. Mustofa Hilmy, Qawaid al-Manhaj
al-Salafi, cet.1, Dar al-Dakwah. Iskandariyah, 1980, h. 253)
Demikian paparan Dr. Amal Fathullah, yang menulis
disertasi doktornya tentang pemikiran aqidah Ibnu Taymiyah di Universiti Malaya
Kuala Lumpur.
****
Konsep Ahlu Sunnah wal-Jamaah (Aswaja) juga
sudah baratus-ratus tahun tersebar dan tertanam di wilayah Indonesia. Hal itu
misalnya, bisa disimak dari pemikiran seorang ulama besar di Aceh, yaitu
Syeikh Nuruddin Muhammad Jailani ibn Ali Ibn Hasanji Ibn Muhammad Hamid
al-Raniri (m.1068 H/1658 M). Ulama yang dikenal dengan nama Syekh
Nuruddin al-Raniri ini adalah seorang ulama terkemuka di Kerajaan Aceh
Darussalam. Nuruddin al-Raniri pernah menjadi mufti kerajaan dan
Shaykh al-Islam yang terkenal di zamannya. Karya-karyanya
berpengaruh besar dalam tradisi pemikiran Melayu-Nusantara.
Al-Raniri dilantik menjadi Mufti Besar Aceh oleh
Sultan Iskandar Tsani (1637-1641 M). Ia dikenal juga sebagai ulama yang sangat
produktif dalam menulis. Lebih 25 kitab telah ditulisnya. Di antaranya adalah:
(1). Durr al-Fara’id bi Sharh al-‘Aqa’id
(2) Hidayat al-Habib fi al-Targhib wa al-Tarhib (1635), (3) Lata’if
al-Asrar (4) Asrar al-Insan fi Ma‘rifat al-Ruh wa al-Rahman (4) at-Tibyan
fi Ma‘rifat al-Adyan (4). Akhbar al-Akihrah fi Ahwal al-Qiyamah (5) Jawahir
al-‘Ulum fi Kashf al-Ma‘lum (6) Hujjat al-Siddiq li Daf‘ al-Zindiq (7)
Fath al-Mubin ‘ala al-Mulhidin (8) Al-Lama‘an fi Takfir man Qala bi Khalq
al-Qur’an
(9) Sawarim al-Siddiq li Qat‘i al-Zindiq, dan sebagainya.
(9) Sawarim al-Siddiq li Qat‘i al-Zindiq, dan sebagainya.
Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud dan Dr. Khalif Muammar
telah melakukan kajian mendalam terhadap salah satu karya terkenal al-Raniri,
yaitu Durr al-Fara’id bi Sharh
al-‘Aqa’id. Kajian itu dituangkan dalam satu naskah berjudul
“Kerangka Komprehensif Pemikiran Melayu Abad ke-17 M, Berdasarkan
Manuskrip Durr al-Fara’id Karangan Sheikh Nurudin al-Raniri”. (International Journal of the Malay World and Civilisation,
2009).
Menurut kedua sarjana tersebut, Durr al-Fara’id, besar kemungkinan mulai
ditulis oleh al-Raniri saat dia berada di Pahang sebelum bertugas ke Aceh.
Durr al-Fara’id adalah karya
mengenai akidah umat Islam. Kitab ini secara khusus membahas asas-asas
keyakinan dan metafisika umat Islam termasuk juga epistemologi, ilmu kalam, dan
falsafah kepimpinan, dan sebagainya. yang meliputi perbincangan hakikat
ilmu, alam, sifat-sifat Allah, al-Qur’an, dosa besar, konsep iman,
perkara-perkara yang menyebabkan seseorang kufur, mukjizat, para rasul,
malaikat, kitab-kitab, Mi’raj Rasulullah, karamah, khilafah, imamah,
tanda-tanda kiamat, azab kubur, surga dan neraka, kedudukan orang beriman dan
lain-lain. Kebanyakan persoalan-persoalan tersebut dan hal-hal yang berkaitan
dengannya dijelaskan dengan panjang lebar dan mendalam dalam Durr
al-Fara’id sehingga membentuk dan menggambarkan kerangka pemikiran
komprehensif seorang Muslim.
“Oleh (karena) itu buku ini dapat dikatakan sebagai
salah satu sumber utama pandangan alam (worldview) orang Melayu pada
masa itu yang memiliki banyak persamaan dengan orang Islam di tempat lain,”
tulis Prof. Wan Mohd Nor dan Dr Khalif Muammar.
Sebagaimana diketahui, aliran akidah yang berkembang
di alam Melayu adalah aliran Asya‘irah yang dinisbahkan kepada Imam Abu Hasan
al-Asy‘ari (m.324H/935M). Aliran Asya‘irah ini adalah aliran yang dominan
dalam kelompok Ahli Sunnah wa al-Jama‘ah. Namun
demikian fakta yang menarik adalah karya al-Nasafi dan
al-Taftazani yang menjadi sumber utama pembahasan Durr
al-Fara’id beraliran Maturidiyyah yang juga bagian Ahlus Sunnah
wa al-Jama‘ah. “Ini menunjukkan bahwa terdapat keluwesan dan keterbukaan
di kalangan ulama Ahli Sunnah. Walaupun al-Raniri menegaskan pilihan mazhab dan
alirannya namun beliau tidak sesekali menafikan kebenaran mazhab dan aliran
lain, dalam kelompok Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah,” tulis kedua sarjana
tersebut.
Al-Raniri memulai kajian kitabnya ini dengan
menerangkan sebuah konsep dasar dalam falsafah ilmu (epistemologi), dengan
menulis: “Kata segala orang yang beriktikad sebenarnya: hakikat segala sesuatu
itu teguh jua, ertinya kebenaran segala sesuatu itu tetap dan teguh jua
adanya,dan pada pengetahuan akan dia sebenarnya, ertinya kita iktikadkan bahawa
segala yang dilihat seperti langit dan bumi dan barang yang dalam keduanya itu
iaitu jua pada penglihatan dan pada pengetahuan demikianlah sama jua pada
iktikad”.
Dengan ungkapan tersebut, menurut Prof. Wan Mohd Nor
dan Dr. Khalif Muammar, para ulama ini membezakan golongan yang benar,
yang disebut sebagai ahl al-haq, dengan golongan yang salah (yang disebut ahl
al-batil). Golongan benar, Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah, ini dapat dilihat telah
bersepakat terhadap banyak perkara dan menentang penyelewengan yang dilakukan
oleh golongan lain, baik itu golongan Sofis, Mu’tazilah, Khawarij, Jahmiyyah,
Syi’ah dan sebagainya.
Prinsip ini juga sangat berbeda dengan prinsip
pluralisme yang berpendapat bahwa kebenaran tidak dapat dicapai seseorang
manusia dengan pasti. Ilmu yang dimiliki manusia selamanya relatif. Sedangkan
bagi golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah, sesuai dengan pandangan Islam,
manusia dapat mencapai kepastian tentang sesuatu hakikat. Kepastian itu
dapat diraih melalui pancaindera, wahyu, atau akal.
“Sudah tentu kebenaran yang dicapai melalui wahyu yang
benar akan lebih autoritatif kerana ia diberikan oleh Allah Yang Maha
Mengetahui. Dengan wujudnya wahyu ini maka pemisahan mutlak antara ilmu Tuhan
dan ilmu manusia tidak terjadi. Sebahagian daripada ilmu Tuhan telah diberikan
kepada manusia melalui nabi dan rasul. Maka ilmu manusia yang dibenarkan oleh
wahyu ini pasti atau mutlak sifatnya.”
Selanjutnya, al-Raniri menjelaskan kesesatan golongan
Sofis (Sophists) yang meragukan dan mengingkari wujudnya hakikat bagi segala sesuatu:
“Adapun pada i‘tiqad Sufasta’iyyah bersalahan dengan
demikian itu, tetapi kata mereka itu cita–cita dan wahm dan khayal sia-sia jua.
Dan lagi pula katanya segala suatu itu mengikut pada i‘tiqad jika di i‘tiqadkan
pada suatu itu kekal maka iaitu kekal jua dan jika di i‘tiqadkan baharu maka
baharu jua. Dan lagi pula katanya segala suatu itu dalam syak jua dan yang syak
itu tiada berputusan ertinya segala suatu itu bukannya iaitu, demikianlah
i‘tiqad Sufasta’iyyah yang amat sesat itu”.
Kitab Durr al-Fara’id, ini juga membahas
secara mendalam tentang sumber-sumber ilmu. Dipaparkan tentang tiga sumber
ilmu: yaitu pancaindera, khabar Sadiq (wahyu, berita yang
benar) dan akal. Akal, menurut Al-Raniri, dapat menjadi sumber ilmu bagi
manusia. Dengan akal yang sehat, seseorang dapat mencapai keyakinan akan
kewujudan Tuhan. Al-Raniri membuat paparan logika yang kuat bagaimana
manusia bisa menemukan kewujudan Tuhan dengan akalnya.
Jadi, simpul Prof Wan Mohd Nor dan Dr. Khalif Muammar,
jelas bahwa pemikiran Islam yang dikembangkan oleh para ulama masa silam yang
berwibawa, baik di negeri-negeri Arab maupun di alam Melayu, adalah pemikiran
yang rasional dan saintifik. Mereka tidak sekali pun menanamkan pemikiran yang
tidak rasional seperti mitos dan legenda. Epistemologi Islam yang mereka
paparkan, yang merangkum khabar Shadiq (wahyu),
pancaindera dan akal rasional membuktikan bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan
mutlak antara wahyu dan akal, Justeru keduanya dapat berfungsi dalam usaha
manusia untuk maju dan membangun peradaban yang tinggi. Wallahu a’lam
bil-shawab.
Berdasarkan berbagai penjelasan tentang konsep Ahlu Sunnah wal-Jamaah, bisa disimpulkan, bahwa golongan yang selamat ini menolak paham-paham Muktazilah, Khawarij, Syiah dan juga liberal. Wallahu a’lam bil-shawab.*/Depok, 20 Februari 2012
Berdasarkan berbagai penjelasan tentang konsep Ahlu Sunnah wal-Jamaah, bisa disimpulkan, bahwa golongan yang selamat ini menolak paham-paham Muktazilah, Khawarij, Syiah dan juga liberal. Wallahu a’lam bil-shawab.*/Depok, 20 Februari 2012
0 komentar:
Posting Komentar