Tidak
ada angin , tidak ada hujan, tiba-tiba wapres Boediono bicara tentang
‘umat’, mulai dari adzan yang harus diatur hingga masjid yang menurutnya
jangan sampai jatuh kepada kelompok radikal. Kalau bicara ekonomi,
tentu sang wapres sudah sering. Meskipun sarat dengan pandangan yang
kapitalistik, memang ekonomi adalah bidangnya. Sementara, kalau masalah
agama, nanti dulu. Sang Wapres tidak punya jejak rekam dalam masalah
ini. Nasihat Rasulullah yang menyatakan lebih diam kalau tidak bisa bicara kebaikan, seharusnya diperhatikan oleh wapres.
Namun
kelihatan, Boediono sama dari segi mengekor kepada tuan-tuan besar
kapitalismenya. Tidak cukup menghancurkan umat , negara dan bangsa ini
dengan kebijakan kapitalisme di bidang ekonomi, Boediono juga mulai
menyerang umat Islam dengan menggunakan istilah-istilah teror yang
sering ditujukan kepada umat Islam, seperti radikal, fanatisme
sektarian, jalan tengah (moderat), dan terorisme. Istilah khas yang juga
sering digunakan oleh Obama, George W Bush, David Cameron, Tony Blair,
Sarkozy. Pemimpin-pemimpin negara-negara imperialis yang anti Islam dan
tangannya berlumuran darah umat Islam.
Dengan
menyampaikan istilah radikal fanatik, sektarian, jalan tengah (moderat)
dalam pidatonya saat membuka Muktamar Dewan Masjid Indonesia Jumat
(27/4), Boedino sesungguhnya sedang meneror umat Islam. Sebab,
istilah-istilah itu merupakan kata-kata politik yang sarat propaganda untuk menyerang Islam dan memecah belah umat Islam. Istilah-istilah yang tidak jelas batasannya, sangat bias dan subyektif. Namun sering dikaitkan dengan Islam dan umat Islam.
Pejuang Palestina yang membunuh beberapa
tentara Israel dengan senjata apa adanya langsung dilabeli teroris,
meskipun itu dilakukan untuk membebaskan negeri umat Islam Palestina
dari penjajahan Israel. Namun kalau tentara Zionis Israel
menggunakan senjata dahsyat yang canggih membunuh ribuan rakyat
Palestina hanya dalam beberapa hari, tidak disebut teroris . Tapi itu disebut sebagai tindakan serangan balasan (retaliation), serangan untuk mendahului (preempative strike), atau tindakan hukuman (punitive action).
Label
teroris juga sangat jarang digunakan untuk pelaku-pelaku yang bukan
beragama Islam, meskipun memakan korban yang sangat besar. Anders
Breivik yang membantai 77 orang Juli lalu di pulau Norwegia Utoya sangat
jarang disebut sebagai teroris Kristen. Atau julukan teroris Hindu
tidak digunakan bagi 150 ribu massa yang yang menghancurkan masjid Babri di Ayodhya India. Bush yang mengomandokan menyerang Irak
dan Afghanistan dengan menyebutnya sebagai bagian dari perang salib
(crusade) tidak disebut teroris Kristen. Padahal korbannya lebih dari 1
juta orang!
Sama
halnya dengan istilah fanatisme atau fanatik. Kalau umat Islam
berpegang teguh pada akidah Islam dan syariah-nya, maka akan dicap
kelompok fanatik. Sementara kalau mereka yang berpegang teguh kepada
sekulerisme dan kapitalisme, seperti Boediono sendiri tidak dicap
fanatik.
Sementara istilah moderat digunakan untuk pihak atau kelompok dan pemikiran yang sejalan dengan Barat. Kalau bertentangan dengan Barat
pasti disebut ekstrimis atau fundamentalis atau radikal. Setara
Institute misalnya menyebut radikal bagi mereka yang memiliki ciri-ciri: tidak setuju menikah beda agama, tidak setuju kalau anggota keluarganya pindah agama, atau menolak orang yang tidak beragama.
Senada dengan itu, Tony Blair saat menjadi PM Inggris menyebut sebagai ideologi Iblis bagi ajaran Islam yang ingin memperjuangkan syariah, ingin mempersatukan umat dengan menegakkan Khilafah, menentang demokrasi, dan yang ingin menghapuskan penjajah Zionis Israel dari bumi Palestina. Pengganti Blair, David Cameroon, saat berada di Jakarta juga menyebut kelompok ekstrimis yang membahayakan adalah mereka yang anti demokrasi.
Jadi
yang diserang nyata-nyata adalah ajaran Islam yang bersumber dari
Alquran dan as Sunnah. Pertanyaannya, bukankah kita wajib berpegang
teguh pada akidah Islam? Bukankah kita diperintahkan oleh Allah SWT
untuk memperjuangkan syariah Islam dan menegakkan negara Khilafah? Sudah
seharusnya berdasarkan syariah Islam, kita menolak
keluarga kita pindah keluar dari Islam (murtad). Bukankah syariah Islam
memang mengharamkan dengan tegas bagi wanita muslimah yang menikah
dengan laki-laki kafir? Dan bukankah perintah jihad fi sabilillah,
berperang membebaskan negeri-negeri Islam dari penjajahan adalah
perintah Allah SWT?
Perlu
kita jelaskan, wajib hukumnya bagi umat Islam menolak demokrasi, karena
sistem ini telah menempatkan kedaulatan di tangan manusia atas nama
suara terbanyak (mayoritas rakyat) untuk menentukan benar dan salah.
Padahal dalam Islam kedaulatan ada di tangan Allah SWT, yang menjadi
sumber hukum hanyalah Alquran dan As Sunnah yang bersumber dari Allah
SWT. Hukum Allah tidak bisa digantikan dengan voting yang hanya menghitung jumlah kepala tapi tidak mempedulikan isi kepala.
Namun
antidemokrasi, bukan berarti Islam tidak memberikan ruang bagi rakyat.
Dalam Islam adalah jelas kepala negara (khalifah) dipilih oleh rakyat,
rakyat juga berhak bahkan wajib mengoreksi penguasa yang menyimpang dari
syariah Islam. Khilafah juga merupakan negara hukum, di mana semua
pihak sama di depan hukum, dan semua keputusan hukum harus melewati
proses pengadilan yang adil dan transparan.
Kita sangat mengecam dan menyayangkan Beodiono yang ikut-ikutan menyerang umat Islam dengan menggunakan istilah radikal dan fanatik, yang menurutnya akan berujung pada teror. Padahal
istilah itu adalah propaganda Barat yang justru meneror umat Islam.
Sudahlah cukup kejahatan Boediono terhadap rakyat di bidang ekonomi yang sangat menyengsarakan rakyat, jangan ditambah lagi dengan kejahatan politik terhadap umat Islam!
HIZBUT TAHRIR INDONESIA
Azhar.M.F
0 komentar:
Posting Komentar