Tentang Muhammad bin Maslamah
Muhammad bin Maslamah adalah sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Ansar, ia berasal
dari suku Aus di Madinah.
Ia berperawakan tinggi dan besar selain
itu Maslamah merupakan seorang pendiam, pemikir, amanah, dan selalu taat
menjalankan ajaran agamanya. Ia juga dikenal sebagai orang pemberani.
Dalam medan pertempuran, ia bahkan selalu berada di barisan terdepan.
Meski bernama Muhamad bin Maslamah, ia
tidak terlahir sebagai Muslim. Namun ia merupakan generasi pertama di
Yatsrib atau Madinah yang memeluk Islam. Ia masuk Islam di bawah
bimbingan Mush’ab bin Umair yang merupakan utusan pertama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah.
Muhamad bin Maslamah memeluk Islam
sebelum orang-orang yang berpengaruh di Madinah memeluk Islam, seperti
Usaid bin Hudair dan Sa’ad bin Mu’adz.
Tak heran jika ia selalu bergabung dalam
setiap pertempuran untuk mempertahankan kemuliaan Islam. Pernah sekali
ia tak bergabung dalam sebuah pertempuran yaitu Perang Tabuk. Sebab saat
itu ia mendapatkan tugas bersama sahabat Ali bin Abi Thalib agar tetap
di Madinah untuk menjaga kota tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat pula kesetiaan dan kegigihannya dalam membela Islam. Beliau tak
jarang mempercayakan pasukan Islam kepada Maslamah. Pada Perang Uhud,
ia dipercaya untuk membawahi 50 prajurit dan memberinya tugas untuk
melakukan patroli sepanjang malam di perkemahan pasukan Islam.
Dalam peperangan tersebut, pasukan Islam
sedikit kewalahan dalam menghadapi musuhnya. Saat itu, sekitar tujuh
puluh prajurit Muslim gugur dan lainnya kocar-kacir menyelematkan diri.
Sedangkan prajurit lainnya, termasuk Maslamah, membentuk pasukan kecil
untuk melindungi keselamatan Nabi Muhammad.
Di saat lain, tepatnya tahun keempat
hijrah, Nabi Muhammad menemui sebuah suku Yahudi yaitu Bani Nadir untuk
meminta bantuan atas sebuah masalah. Namun ternyata suku tersebut sedang
merencanakan upaya pembunuhan terhadap Nabi. Segera Nabi kembali ke
pusat kota Madinah. Ia memanggil Muhammad bin Maslamah dan mengirimnya
ke suku tersebut.
Maslamah membawa perintah dari Nabi
bahwa Bani Nadir harus meninggalkan Madinah dalam jangka waktu sepuluh
hari. Ini dilakukan karena keculasan mereka. Beragam kepercayaan ini
merupakan bukti bahwa Muhamad bin Maslamah merupakan sahabat yang setia,
pemberani, dan jujur.
Kepercayaan yang ia dapatkan tak hanya
selama masa hidup Nabi. Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
wafat, Maslamah juga mendapatkan kepercayaan yang berlimpah dari para
khalifah. Contohnya, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab,
ia dipilih menjadi salah satu menteri. Tak hanya itu, ia juga dianggap
sebagai teman dan penasihat terpercaya sang khalifah.
Sebelum dia diangkat menjadi menteri, ia
dikirim ke Fustat, Mesir, untuk menopang pasukan Amr bin Ash. Karena
saat itu Amr memang meminta Khalifah Umar untuk mengirimkan bala bantuan
untuk memperkuat ekspedisinya. Umar mengirimkan empat detasemen yang
setiap detasemen terdiri dari seribu prajurit.
Salah satu detasemen tersebut dipimpin
oleh Muhamad bin Maslamah. Kepada Amr, Umar menyampaikan sebuah pesan
bahwa ia mengirimkan Muhamad bin Maslamah untuk membantu meraih kejayaan
dalam menjalankan misinya. Maka Amr harus menerima Maslamah dan
memaafkannya jika Maslamah melakukan sebuah kesalahan.
Nyatanya, Maslamah memberikan kontribusi
yang berharga bagi kesuksesan misi yang dijalankan Amr di Fustat
tersebut. Setelah kepemimpinan Umar digantikan oleh Usman bin Affan,
Maslamah juga tetap mendapatkan kedudukan yang terhormat di mata
khalifah ketiga tersebut.
Sang Pencetus Siasat Ightiyal Bagi Penghina Islam
Di antara prestasi gemilang beliau di saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup adalah menjadi inisiator siasat ightiyal
(eksekusi secara diam-diam dan mendadak) terhadap tokoh Yahudi Ka’ab
bin Asyraf yang menghasut suku Quraisy untuk memerangi Nabi. Selain itu
Ka’ab juga menghina Nabi Muhammad dan para sahabat lewat syair-syairnya.
Saking masyhurnya operasi ightiyal tersebut, para ulama mujahid seperti Syaikh Abu Jandal Al Azdi dalam kitabnya tahridhil mujahidin al abthal ‘ala ihyai sunnatil ightiyal menjadikan kisah operasi ightiyal Muhammad bin Maslamah sebagai hujjah masyru’iyatul ightiyal (disyari’atkannya ightiyal) bagi para aimmatul kufr (para pemimpin kekafiran).
Berikut ini adalah kutipan dari kitab yang ditulis Abu Jandal Al Azdi mengenai kisah operasi ightiyal yang dilakukan Muhammad bin Maslamah bersama anggota timnya terhadap Yahudi penghina Islam Ka’ab Al Asyraf.
Dari Jabir bin Abdillah, bahwa Rasulullah SAW berkata,
مَنْ لِكَعْبٍ بْنِ اْلأَشْرَف فَإِنَّهُ آذَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ
“Siapa yang mau membereskan Ka‘ab bin Al-Asyrof? Sesungguhnya dia menyakiti Alloh dan Rosul-Nya.”
Maka berdirilah Muhammad bin Maslamah,
ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau suka aku membunuhnya?”
Beliau menjawab, “Ya,” “Kalau begitu izinkan aku (nanti) mengucapkan
sesuatu…” pintanya. “Katakan saja,” kata Rosul.
Maka Muhammad bin Maslamah datang kepada
Ka’ab bin Al Asyrafdan berkata, “Siapa sebenarnya lelaki itu (maksud
dia adalah Nabi SAW), dia memungut zakat dari kita dan membebani kita,
sesungguhnya aku datang kepadamu untuk bersekutu denganmu.”
Ka‘ab berkata, “Demi Alloh, tuliskan surat saksi untuknya.”
“Sesungguhnya kita telah mengikutinya,
lalu kami tidak ingin meninggalkannya sampai kita lihat, bagaimana akhir
dari ajarannya. Dan kami menginginkan engkau meminjami kami satu wasaq
atau dua wasaq (makanan).”
Ka‘ab berkata, “Kalau begitu, berikan kepadaku barang sebagai gadai.”
“Barang apa yang kau mau?” tanya mereka.
“Gadaikan wanita-wanita kalian.” Kata Ka‘ab.
“Bagaimana kami akan menggadaikan wanita-wanita kami, sementara engkau adalah orang Arab paling tampan.”
“Kalau begitu, gadaikan anak-anak kalian.”
“Bagaimana kami akan menggadaikan
putera-putera kami kepadamu, sementara mereka akan dicela karenanya, dan
akan dikatakan: hanya demi menggadai satu atau dua wasaq (kalian rela
menggadaikan anak-anak kalian)? Sungguh, ini aib bagi kalian.”
Mereka berkata, “Kami akan menjadikan senjata kami sebagai gadaimu.”
“Baiklah,” jawab Ka‘ab.
Lalu ia menjanjikan kepada mereka untuk
bertemu di malam hari dengan membawa geriba, bersama Abu Na’ilah
–saudara sesusuan Ka‘ab—. Maka Ka‘ab mengundang mereka untuk datang ke
bentengnya, kemudian ia turun untuk menemui mereka. Isterinya berkata,
“Mau ke mana engkau malam-malam begini?”
Ka‘ab menjawab, “Itu tak lain adalah Muhammad bin Maslamah dan saudaraku, Abu Na’ilah.”
Perawi selain Amru mengatakan, “Kemudian
isterinya berkata lagi, “Aku mendengar suaranya seperti tetetas air.”
–dalam lain riwayat: Aku mendengar suara seperti suara darah—.
Ka‘ab berkata lagi, “Itu tak lain adalah
saudaraku, Muhammad bin Maslamah dan saudara sesusuanku, Abu Nailah.
Orang yang mulia itu, kalau dipanggil untuk berjalan di malam hari pasti
menyanggupi.”
Kemudian Muhammad bin Maslamah masuk
bersama dua orang, menurut Amru kedua orang itu bernama Abu ‘Abs bin
Hibr dan ‘Abbad bin Bisyr.
Amru melanjutkan kisahnya:
“Muhammad bin Maslamah berkata, “Jika
dia datang, aku akan memegang kepalanya, maka jika kalian telah
melihatku berhasil melumpuhkannya, penggallah lehernya.”
(Inilah cara untuk membunun orang seperti dia, sebab dia berbadan besar dan kuat)
Ketika ia turun dari benteng sembari
menyandang pedangnya, mereka berkata, “Kami mencium aroma harum dari
tubuhmu.” “Ya,” jawab Ka‘ab, “…istriku adalah wanita Arab paling harum.”
Muhammad bin Maslamah berkata, “Bolehkan aku mencium baunya?”
“Silahkan,” kata Ka‘ab. Ia pun pura-pura menciumnya. Ia berkata,
“Bolehkah kuulangi lagi?”
Maka ketika itulah, Muhammad bin
Maslamah berhasil melumpuhkannya, kemudian ia berkata, “Giliran kalian,
bunuhlah dia.” Mereka akhirnya berhasil membunuhnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Kemudian, orang-orang yahudi datang
kepada Nabi SAW setelah terbunuhnya Ka‘ab bin Al-Asyrof. Mereka berkata,
“Wahai Muhammad, teman kami terbunuh tadi malam, padahal dia adalah
salah satu tokoh pemuka kami. Ia dibunuh secara diam-diam (ightiyal) tanpa dosa dan kesalahan apa pun sejauh yang kami tahu.” Rasulullah SAW bersabda,
إِنَّهُ
لَوْ فَرَّ كَمَا فَرَّ غَيْرُهُ مِمَّنْ هُوَ عَلَى مِثْلِ رَأْيِهِ مَا
اغْتِيْلَ ، وَلَكِنَّهُ آذَانَا وَهَجَانَا بِالشِّعْرِ وَلَمْ يَفْعَلْ
هَذَا أَحَدٌ مِنْكُمْ إِلاَّ كَانَ لِلسَّيْفِ
“Sungguh, kalau dia melarikan diri
sebagaimana orang seperti yang sepemikiran dengannya melarikan diri,
tentu ia tidak akan dibunuh dengan cara ightiyal, akan tetapi dia
menyakiti kami dan mencemooh kami dengan syair, dan tidak ada satu pun
dari kalian yang melakukan perbuatan seperti ini kecuali pedang lah
pilihannya.” (HR. Bukhori no. 3031 dan Muslim no. 1801).
Ka’ab bin Al Asyraf memang biasa
memprovokasi orang-orang musyrik untuk memusuhi kaum muslimin. Ia juga
mencela Nabi SAW dengan syairnya dan menggoda isteri-isteri kaum
muslimin.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “di
dalam Mursal Ikrimah dikisahkan, pagi harinya kaum yahudi ketakutan,
lalu mereka datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Pemuka kami terbunuh
secara diam-diam,” akhirnya Nabi SAW menceritakan kelakuan Ka‘ab kepada
mereka, di mana ia suka memprovokasi orang untuk menyakiti beliau dan
kaum muslimin.
Sa‘ad menambahkan, “Maka mereka menjadi
takut dan tidak menjawab sedikit pun.” –hingga Ibnu Hajar berkata—:
“…hadits ini berisi kebolehan membunuh orang musyrik tanpa harus
mendakwahi terlebih dahulu, jika dakwah secara umum telah sampai
kepadanya. Juga berisi bolehnya mengucapkan kata-kata yang diperlukan di
dalam perang, meski pengucapnya tidak bermaksud makna sebenarnya.
Bukhori mengeluarkan hadits ini dalam Kitabul jihad bab Berbohong dalam
perang dan Bab Menyergap orang kafir harbi.”
Muhammad bin Maslamah wafat
Muhammad bin Maslamah meninggal di
Madinah pada tahun 43 hijriah. Beliau tidak mengikuti perang Jamal dan
Shiffin karena menghindari terjadinya fitnah. Ia meninggal dalam usia 77
tahun. /voa-islam.com]
AZHAR.M.F
0 komentar:
Posting Komentar