BEKASI_DAKTACOM: Bejalar di Eropa, hanya melahirkan
muslim liberal.Karena otaknya sudah dicecokin dengan fikiran hukum
liberalisme, kapitalisme. Serta mereka diajari Islam dari para
orientalisi yang memandanag Islam dari sisi negetivnya. Hasilnya, lahir
sajarna muslim yang berfikir liberalis, kapitalis. Mereka ini yang
paling banyak menolak penegakan syariat Islam.
Itu antara lain kesimpulan yang bisa diambail dari kuliah umum dengan thema Menista dan Menolak Syariat Islam Siap menuai Bencana” di Masjid Muhammad Ramadhan, Jl. Pulau Ribung, Pekayon Bekasi Selatan, belum lama ini, yang menampilkan pemateri Ustadz Abu Jibril Abdurahman dengan Munarman, SH.
Kolonialisme telah menyebabkan kebangkrutan secara ekonomi bagi dunia Islam dan membawa kemakmuran luar biasa bagi negara barat. Hal itu dikatakan Munarman, SH dalam sebuah kuliah umum dengan thema Menista dan Menolak Syariat Islam Siap menuai Bencana” di Masjid Muhammad Ramadhan, Jl. Pulau Ribung, Pekayon Bekasi Selatan, belum lama ini.
Dikatakan, dari data emperis historical kebanyakan negara di Eropa pada abad ke 7 sampai 18, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari seperti rempah-rempah, kopi, gula, lada, dan teh, harus mengimpor daari negeri negeri muslim.
“Secara militer, kekaisaran Romawi dan Persia berhasil diruntuhkan kekuatan militer Islam, dan daerah daerah jajahan dua kekaisaran ini berhasil dibebaskan oleh pasukan Islam. Akan tetapi melalui politik pecah belah dan adu domba, keadaan berbalik. Nagara-negara muslim menjadi sasaran dan objek penjajahan oleh negara-negara Eropa masa lalu. Akibat eksploitasi ekonomi besar-besaran pada masa kolonial tersebut yang berlanjut hingga saat ini dengan sistem ekonomi ribawi, akibatnya meninggalkan kemiskinan yang kronis bagi negeri negeri muslim saat ini. Dengan kekayaan yang diperoleh dari negara-negara jajahan inilah barat membangun “peradaban” mereka seperti sekarang” jelas Munarman.
Kemajuan dibidang ekonomi telah membawa barat berhasil membangun dan memenuhi kebutuhan fisik kaumnya. Inilah yang oleh anak anak bangsa jajahan disebut dengan peradaban. Sehingga mereka terkagum-kagum dan merasa heran dengan keberhasilan barat mengeksploitasi alam dan ekonomi ribawi, imbuhnya.
Lebih lanjut dipaparkan, perasaan kagum akan fisik yang ada di negara barat dan kemiskinan ekonomi inilah yang membuat mereka-mereka yang belajar di barat menjadi katrok alias ndeso. Betapa tidak, selalu saja yang mereka banggakan ketika pulang dari belajar di barat adalah klaim bahwa masyarakat barat lebih islami dari orang islam karena disana kebersihan terjaga, keteraturan dan budaya antri di tempat-tempat umum dan sebaginya. Dari kekaguman akan masalah-masalah muamalah tersebut mereka menelan mentah-mentah segala yang berasal dari barat termasuk masalah aqidah dan syariat. Dalam kepala mereka seluruh masalah kehidupan haruslah diukur dengan standar barat dan diselesaikan dengan methode barat. Inilah intlektual katrok alias ndeso yang sekarang banyak bertebaran dengan menggunakan merk “Cendikiawan Muslim” papar Munarman.
Padahal kata Munarman lebih lanjut, jika diperiksa lebih lanjut –kalau saja para intelektual kantrok tersebut menggunakan akal fikiran yang mereka agung-agungkan itu sedikit saja, maka peradaban barat yang ingin mereka tiru itu adalah justru merupakan peradaban pra Islam, yaitu peradaban yang lahir sebelum diturunkan ajaran Islam oleh Rasulullah SAW. Kesenangan duniawi seperti, minum minuman keras, pesta-pesta dan dansa dansi, perbudakan dalam dunia kerja, materialisme, dalam segala bentuk, mmemuja-muja tokoh dan pengkultusan individu, pergaulan bebas, korupsi dan masih banyak daftar lain yang bisa disebut adalah merupakan cara hidup dan perilaku manusia yang ingkar terhadap keberadaan Allah.
Munarman mencontohkan dalam dibang politik, yang dijadikan dasar filosofi dalam kehidupan politik kaum sekuler ini adalah merupakan kehidupan politik zaman Yunani yang berdasarkan pada mitos dan dewa-dewa. Sistem administrasi yang melandasi adalah administrasi masa Romawi, sistem hukum yang dijadikan model bermula dari sistem hukum zaman Hamurabbi. Dalam bidang ekonomi, sistem ekonomi riba yang ditarapkan sekarang ini bersumber dari praktek-praktek ekonomi sebelum Islam. Apalagi sistem perbankkan yang dalam sejarahnya adalah sistem yang dipelopori oleh kaum Yahudi Eropa.
“Apa yang disebut modern oleh kaum sekuler sesungguhnya adalah zaman jahiliyah sebelum Islam yang penuh dengan kehidupan syirik dan kafir. Inilah yang disebut peradaban modern oleh mereka. Sebab peradaban haruslah mengacu kepada sistem ilmun pengetahuan dan teknologi, sistem ekonomi, sistem pemerintahan, sistem sosial. Jadi tidak didasarkan pada bentuk fisik semata” kritik Munarman.
Menurutnya, dari kekaguman akan kemajuan fisik barat, para pelajar katrok tersebut serta merta berfikir bahwa kamjuan ilmu pengetahuan dan filsafat baratlah yang membuat mereka maju (kaya raya). Mulailah mereka belajar di universitas-universitas yang membuka studi tentang islam dan orientalismen. Disinilah mereka mulai “dibimbing” untuk melihat kelemahan islam dan dunia timur dan “keunggulan” barat.
Dalam banyak kasus gaya studi yang dilakukan di dunia barat adalah methode cuci otak bagi para murid untuk menerima peradaban kapitalisme. Dalam peradaban kapitalisme sekuler, ilmu pengetahuan dan hukum hukum yang diperbolehkan berlaku hanyalah ilmu pengetahuan dan hukum hukum yang menguntungkan bagi berkembanganya atmosfer eksploitasi ekonomi dan penghambaan manusia atas manusia. Diluar hal-hal tersebut, atau pemberlakuan hukum Tuhan dengan domain manusia adalah dua hal yang berbeda. Dunia adalah semata-mata urusan manusia bicara Tuhan tempatnya ada dalam ruang privat. “Inilah hukum dasar liberalisme kapitalisme yang dicekokkan terus menerus kepada pelajar katrok alias ndeso” tegas Munarman.
“Sangat jarang kita temukan pelajar katrok dari Indonesia, yang tesis S2 atau desertasi S3-nya mengupas tentang barat. Kebanyakan dari pelajar katrok tadi diarahkan untuk belajar tentang diri mereka sendiri. Sehingga mentalitas miderwaardegh terus tumbuh dari kalangan pelajar katrok.“Inilah yang menyebabkan mereka selalu membebek pada perkataan “guru-guru” mereka” ungkapnya.
Faktor lain yang mempengaruhi para “cendiawan muslim” untuk menentang penarapan syariat Islam kata Munarman adalah balas jasa atas “kebaikan” hati negara barat yang telah memberi mereka kesempatan ‘bersekolah’ atau mengambil ‘short course’ di luar negeri. Balas jasa tersebut dilakukan dengan cara menjadi barisan penentang Islam ketika mereka pulang dari belajar dari luar negeri. Bahkan setelah para pelajar katrok ini pulang ke negara masing masing pembinaan terus dilakukan dengan melakukan pertemuan rutin alumni, yang biasanya dikoordinir oleh kedutaan tempat masing masing pelajar katrok belajar.
Pembinaan tersebut juga melibatkan pihak media massa. Ini bisa terjadi karena banyak program bea siswa tersebut memberi kuota kepada wartawan untuk ikut dalam program bea siswa. Itulah sebabnya para ‘intlektual’ katrok sering mendapat tempat di media massa seakan mereka adalah orang-orang pintar yang layak mendapat tempat di media massa. Inilah yang disebut dengan promosi bagi intlektual katrok.
Selain memberi bea siswa, senjata utama dari negara-negara barat ini adalah uang. Melalui kedutaan masing masing negara barat dan funding agencynya, negara negara barat tersebut tak segan segan untuk mengucurkan dana hingga puluhan bahkan ratusan juta dolar untuk membiayai program kader-kader mereka dan pelajar katrok. Mereka inilah yang ditempatkan dalam jabatan strategis di ormas-ormas Islam yang ada di Indonesia.
Tak cukup menempatkan kadernya di ormas Islam yang sudah ada, mereka juga mendorong para kadernya yang berasal dari para pelajar katrok untuk membentuk lembaga-lembaga baru atau LSM yang jelas jelas misinya untuk membingungkan umat Islam. Dari sinilah para kader katrok tersebut mendapat biaya hidup mereka, sebab pembiayaan program dan kelembagaan institusi yang digerakkan oleh kader katrok tersebut melibatkan uang jutaan dolar.
Munarman mengungkapkan ada banyak founding internasional yang membiayai LSM, Ormas, Lembaga dan gerakan di Indonesia yang betujuan untuk meliberalkan islam termasuk menolak penegakan syariat Islam. Diantara founding yang bergerak di Indonesia adalah The Asia Foundastion, membiayai kegiatan Islam and society, dan Islam Devolepment, sebesar 60 dolar/tahun. Penerima adalah BKSPPI, Indonesia Centre for Civic Education UIN dalam bentuk beasiswa S3 untuk Achmad Ubaidillah di University of Hawaii.
Founding lain adalah The Foundation supports 30 muslim NGOs in their efforts to make Islam a catalyst for democratization dengan program intensive English training to senior NGO activist Ahmad Suaedy, at Deakin University, Autralia; Publication of a series of articles on Islam and democracy in Gatra, One of Indonesia’s best-selling news magazines, human rights and conflict management. Sedang lembaga penerimananya antaralian adalah LkIS, Laboratorium Dakwah Shalaahudin, JIL, PP. Muhammadiyah, PUSHAM UII, Fahmina Institute, LPP Aisiyah, Ikatan Remaja Muhammadiyah, PPSDM UIN, Pecik, LK3, LKPMP. Sedang buntuk program Law and Justice, lembaga penerimanya adalah MDM DKTI, LABDA, LPBTN Muhammadiyah. Untuk program Election and Legislative Development penerimanya adalah IMM, Pemuda Muhaammadiyah, LKK NU, Media, Lakpesdam NU, Radio 68H, PW Nasyiatul Aisiyah, Jawa Timur, UIN Alaudin Makassar, Balqis Women Crisis Centre, Nasyiatul Aisyiyah Aceh, ICIP, P3M, LPPA, PSAP, Pusat Studi Wanita UIN, Malikusaleh University Lhokseumawe, CTLD UIN, LP3 UMY, LKPMP, Universitas Paaramadina, Majallah Syir’ah, JPMI,
Sedang founding dari Australia Aid mengeluarkan dana sebesar A$ 458,8 juta dari tahun 2007-2008, dengan program mendukung transisi ke era demokrasi. Sedang tahun sebelumnya founding Australia Aid, telah mengucurkan danaa sebesar A$ 344,3 juta untuk membiayai 253 beasiswa tambahan melalui program Australia Patnetship (APS) itu diluar 300 beasiswa program Australia Development Scholarships (ADS) yang menawarkan kesempatan belajar pasca saarjana di Australia, dll.
Dari founding USAID, telah mengeluarkan dana untuk program education (termasuk pembiayaan Madrasah Ibtidaiyah sebesar U$ 157 juta. Sedang untuk program promoting Demokratic Governance and political stability, USAID mengeeluarkan dana sebesar U$ 22,105 juta.
Hasil dari bantuan itu sudah terasa. Betapa umat Islam Indonesia menjadi Islam yang sangat liberal dan yang paling menyedihkan ramai-ramai menolak penegakan syariat Islam. “Ini aneh, mengaku muslim tapi menolak syariat Isma”
AZHAR.M.F
Itu antara lain kesimpulan yang bisa diambail dari kuliah umum dengan thema Menista dan Menolak Syariat Islam Siap menuai Bencana” di Masjid Muhammad Ramadhan, Jl. Pulau Ribung, Pekayon Bekasi Selatan, belum lama ini, yang menampilkan pemateri Ustadz Abu Jibril Abdurahman dengan Munarman, SH.
Kolonialisme telah menyebabkan kebangkrutan secara ekonomi bagi dunia Islam dan membawa kemakmuran luar biasa bagi negara barat. Hal itu dikatakan Munarman, SH dalam sebuah kuliah umum dengan thema Menista dan Menolak Syariat Islam Siap menuai Bencana” di Masjid Muhammad Ramadhan, Jl. Pulau Ribung, Pekayon Bekasi Selatan, belum lama ini.
Dikatakan, dari data emperis historical kebanyakan negara di Eropa pada abad ke 7 sampai 18, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari seperti rempah-rempah, kopi, gula, lada, dan teh, harus mengimpor daari negeri negeri muslim.
“Secara militer, kekaisaran Romawi dan Persia berhasil diruntuhkan kekuatan militer Islam, dan daerah daerah jajahan dua kekaisaran ini berhasil dibebaskan oleh pasukan Islam. Akan tetapi melalui politik pecah belah dan adu domba, keadaan berbalik. Nagara-negara muslim menjadi sasaran dan objek penjajahan oleh negara-negara Eropa masa lalu. Akibat eksploitasi ekonomi besar-besaran pada masa kolonial tersebut yang berlanjut hingga saat ini dengan sistem ekonomi ribawi, akibatnya meninggalkan kemiskinan yang kronis bagi negeri negeri muslim saat ini. Dengan kekayaan yang diperoleh dari negara-negara jajahan inilah barat membangun “peradaban” mereka seperti sekarang” jelas Munarman.
Kemajuan dibidang ekonomi telah membawa barat berhasil membangun dan memenuhi kebutuhan fisik kaumnya. Inilah yang oleh anak anak bangsa jajahan disebut dengan peradaban. Sehingga mereka terkagum-kagum dan merasa heran dengan keberhasilan barat mengeksploitasi alam dan ekonomi ribawi, imbuhnya.
Lebih lanjut dipaparkan, perasaan kagum akan fisik yang ada di negara barat dan kemiskinan ekonomi inilah yang membuat mereka-mereka yang belajar di barat menjadi katrok alias ndeso. Betapa tidak, selalu saja yang mereka banggakan ketika pulang dari belajar di barat adalah klaim bahwa masyarakat barat lebih islami dari orang islam karena disana kebersihan terjaga, keteraturan dan budaya antri di tempat-tempat umum dan sebaginya. Dari kekaguman akan masalah-masalah muamalah tersebut mereka menelan mentah-mentah segala yang berasal dari barat termasuk masalah aqidah dan syariat. Dalam kepala mereka seluruh masalah kehidupan haruslah diukur dengan standar barat dan diselesaikan dengan methode barat. Inilah intlektual katrok alias ndeso yang sekarang banyak bertebaran dengan menggunakan merk “Cendikiawan Muslim” papar Munarman.
Padahal kata Munarman lebih lanjut, jika diperiksa lebih lanjut –kalau saja para intelektual kantrok tersebut menggunakan akal fikiran yang mereka agung-agungkan itu sedikit saja, maka peradaban barat yang ingin mereka tiru itu adalah justru merupakan peradaban pra Islam, yaitu peradaban yang lahir sebelum diturunkan ajaran Islam oleh Rasulullah SAW. Kesenangan duniawi seperti, minum minuman keras, pesta-pesta dan dansa dansi, perbudakan dalam dunia kerja, materialisme, dalam segala bentuk, mmemuja-muja tokoh dan pengkultusan individu, pergaulan bebas, korupsi dan masih banyak daftar lain yang bisa disebut adalah merupakan cara hidup dan perilaku manusia yang ingkar terhadap keberadaan Allah.
Munarman mencontohkan dalam dibang politik, yang dijadikan dasar filosofi dalam kehidupan politik kaum sekuler ini adalah merupakan kehidupan politik zaman Yunani yang berdasarkan pada mitos dan dewa-dewa. Sistem administrasi yang melandasi adalah administrasi masa Romawi, sistem hukum yang dijadikan model bermula dari sistem hukum zaman Hamurabbi. Dalam bidang ekonomi, sistem ekonomi riba yang ditarapkan sekarang ini bersumber dari praktek-praktek ekonomi sebelum Islam. Apalagi sistem perbankkan yang dalam sejarahnya adalah sistem yang dipelopori oleh kaum Yahudi Eropa.
“Apa yang disebut modern oleh kaum sekuler sesungguhnya adalah zaman jahiliyah sebelum Islam yang penuh dengan kehidupan syirik dan kafir. Inilah yang disebut peradaban modern oleh mereka. Sebab peradaban haruslah mengacu kepada sistem ilmun pengetahuan dan teknologi, sistem ekonomi, sistem pemerintahan, sistem sosial. Jadi tidak didasarkan pada bentuk fisik semata” kritik Munarman.
Menurutnya, dari kekaguman akan kemajuan fisik barat, para pelajar katrok tersebut serta merta berfikir bahwa kamjuan ilmu pengetahuan dan filsafat baratlah yang membuat mereka maju (kaya raya). Mulailah mereka belajar di universitas-universitas yang membuka studi tentang islam dan orientalismen. Disinilah mereka mulai “dibimbing” untuk melihat kelemahan islam dan dunia timur dan “keunggulan” barat.
Dalam banyak kasus gaya studi yang dilakukan di dunia barat adalah methode cuci otak bagi para murid untuk menerima peradaban kapitalisme. Dalam peradaban kapitalisme sekuler, ilmu pengetahuan dan hukum hukum yang diperbolehkan berlaku hanyalah ilmu pengetahuan dan hukum hukum yang menguntungkan bagi berkembanganya atmosfer eksploitasi ekonomi dan penghambaan manusia atas manusia. Diluar hal-hal tersebut, atau pemberlakuan hukum Tuhan dengan domain manusia adalah dua hal yang berbeda. Dunia adalah semata-mata urusan manusia bicara Tuhan tempatnya ada dalam ruang privat. “Inilah hukum dasar liberalisme kapitalisme yang dicekokkan terus menerus kepada pelajar katrok alias ndeso” tegas Munarman.
“Sangat jarang kita temukan pelajar katrok dari Indonesia, yang tesis S2 atau desertasi S3-nya mengupas tentang barat. Kebanyakan dari pelajar katrok tadi diarahkan untuk belajar tentang diri mereka sendiri. Sehingga mentalitas miderwaardegh terus tumbuh dari kalangan pelajar katrok.“Inilah yang menyebabkan mereka selalu membebek pada perkataan “guru-guru” mereka” ungkapnya.
Faktor lain yang mempengaruhi para “cendiawan muslim” untuk menentang penarapan syariat Islam kata Munarman adalah balas jasa atas “kebaikan” hati negara barat yang telah memberi mereka kesempatan ‘bersekolah’ atau mengambil ‘short course’ di luar negeri. Balas jasa tersebut dilakukan dengan cara menjadi barisan penentang Islam ketika mereka pulang dari belajar dari luar negeri. Bahkan setelah para pelajar katrok ini pulang ke negara masing masing pembinaan terus dilakukan dengan melakukan pertemuan rutin alumni, yang biasanya dikoordinir oleh kedutaan tempat masing masing pelajar katrok belajar.
Pembinaan tersebut juga melibatkan pihak media massa. Ini bisa terjadi karena banyak program bea siswa tersebut memberi kuota kepada wartawan untuk ikut dalam program bea siswa. Itulah sebabnya para ‘intlektual’ katrok sering mendapat tempat di media massa seakan mereka adalah orang-orang pintar yang layak mendapat tempat di media massa. Inilah yang disebut dengan promosi bagi intlektual katrok.
Selain memberi bea siswa, senjata utama dari negara-negara barat ini adalah uang. Melalui kedutaan masing masing negara barat dan funding agencynya, negara negara barat tersebut tak segan segan untuk mengucurkan dana hingga puluhan bahkan ratusan juta dolar untuk membiayai program kader-kader mereka dan pelajar katrok. Mereka inilah yang ditempatkan dalam jabatan strategis di ormas-ormas Islam yang ada di Indonesia.
Tak cukup menempatkan kadernya di ormas Islam yang sudah ada, mereka juga mendorong para kadernya yang berasal dari para pelajar katrok untuk membentuk lembaga-lembaga baru atau LSM yang jelas jelas misinya untuk membingungkan umat Islam. Dari sinilah para kader katrok tersebut mendapat biaya hidup mereka, sebab pembiayaan program dan kelembagaan institusi yang digerakkan oleh kader katrok tersebut melibatkan uang jutaan dolar.
Munarman mengungkapkan ada banyak founding internasional yang membiayai LSM, Ormas, Lembaga dan gerakan di Indonesia yang betujuan untuk meliberalkan islam termasuk menolak penegakan syariat Islam. Diantara founding yang bergerak di Indonesia adalah The Asia Foundastion, membiayai kegiatan Islam and society, dan Islam Devolepment, sebesar 60 dolar/tahun. Penerima adalah BKSPPI, Indonesia Centre for Civic Education UIN dalam bentuk beasiswa S3 untuk Achmad Ubaidillah di University of Hawaii.
Founding lain adalah The Foundation supports 30 muslim NGOs in their efforts to make Islam a catalyst for democratization dengan program intensive English training to senior NGO activist Ahmad Suaedy, at Deakin University, Autralia; Publication of a series of articles on Islam and democracy in Gatra, One of Indonesia’s best-selling news magazines, human rights and conflict management. Sedang lembaga penerimananya antaralian adalah LkIS, Laboratorium Dakwah Shalaahudin, JIL, PP. Muhammadiyah, PUSHAM UII, Fahmina Institute, LPP Aisiyah, Ikatan Remaja Muhammadiyah, PPSDM UIN, Pecik, LK3, LKPMP. Sedang buntuk program Law and Justice, lembaga penerimanya adalah MDM DKTI, LABDA, LPBTN Muhammadiyah. Untuk program Election and Legislative Development penerimanya adalah IMM, Pemuda Muhaammadiyah, LKK NU, Media, Lakpesdam NU, Radio 68H, PW Nasyiatul Aisiyah, Jawa Timur, UIN Alaudin Makassar, Balqis Women Crisis Centre, Nasyiatul Aisyiyah Aceh, ICIP, P3M, LPPA, PSAP, Pusat Studi Wanita UIN, Malikusaleh University Lhokseumawe, CTLD UIN, LP3 UMY, LKPMP, Universitas Paaramadina, Majallah Syir’ah, JPMI,
Sedang founding dari Australia Aid mengeluarkan dana sebesar A$ 458,8 juta dari tahun 2007-2008, dengan program mendukung transisi ke era demokrasi. Sedang tahun sebelumnya founding Australia Aid, telah mengucurkan danaa sebesar A$ 344,3 juta untuk membiayai 253 beasiswa tambahan melalui program Australia Patnetship (APS) itu diluar 300 beasiswa program Australia Development Scholarships (ADS) yang menawarkan kesempatan belajar pasca saarjana di Australia, dll.
Dari founding USAID, telah mengeluarkan dana untuk program education (termasuk pembiayaan Madrasah Ibtidaiyah sebesar U$ 157 juta. Sedang untuk program promoting Demokratic Governance and political stability, USAID mengeeluarkan dana sebesar U$ 22,105 juta.
Hasil dari bantuan itu sudah terasa. Betapa umat Islam Indonesia menjadi Islam yang sangat liberal dan yang paling menyedihkan ramai-ramai menolak penegakan syariat Islam. “Ini aneh, mengaku muslim tapi menolak syariat Isma”
AZHAR.M.F
0 komentar:
Posting Komentar