Rabu, 06/07/2011 17:33 WIB
Teruslah bergerak, hingga kelelahan
itu lelah mengikutimu, teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu,
teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu, teruslah bertahan,
hingga kefuturan itu futur menyertaimu, tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu
lesu menyertaimu. (Ustadz Rahmat Abdullah, rahimahullah)
Hanya
kecintaan Arif Munandar yang begitu kuat kepada Allah Azza wa jalla yang
memberinya motivasi menyelesaikan Disertasinya. Arif Munandar berhasil
mempertahankan Disertasinya : “Antara Jemaah dan Partai Politik”, Dinamika
Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dalam Arena Politik Indonesia
Pasca Pemilu 2004. Selasa, 5 Juli di FISIP UI.
Arif
Munandar pun sempat didera sakit dan terbaring di rumah sakit, saat ingin
menyelesaikan Disertasinya itu. Ibunya, Tesmiyeti, juga begitu kuat, saat-saat
menghadapi penyakit kanker, dan tetap menaruh optimisme. Ayahnya Dasril yang
berdzikir tanpa putus. Isterinya Dr. Fitriany, dan putrinya semata wayangnya,
Fathimah Shafiyah, semuanya turut menjadi penguatnya.
Dr. Anies
Baswedan, Francisia Phd, Dr. Iwan Gardono Sujatmiko, Dr. Meuthia Gani Rochman,
Dr. Linda Damayanti, dan Lugina Setyawati Phd, yang semuanya telah memberikan
sumbangan berharga bagi Disertasinya itu.
Tak lupa
Disertasinya itu diperkaya oleh Ustadz Abu Ridho, yang sampai Arif Munandar
menitikkan air mata, saat mendengarkan penuturannya tentang PKS. Dan sejumlah
nara sumbernya lainnya.
Arif
Munandar berhasil mempertahankan Disertasinya di depan sidang guru besar, dan
kemudian dinyatakan lulus dengan “Cumloude”. Semua guru besar yang mengujinya
memberikan pujian yang tinggi kepada Arif Munandar atas karya ilmiahnya itu.
Sebuah
otokritik yang sangat mendalam terhadap PKS, dan bersifat ilmiah dan sangat
elegant, yang disampaikan oleh Arif Munandar melalui sebuah penelitian yang
panjang. Semoga ini menjadi diskursus dikalangan pergerakan yang ingin melihat
PKS dengan lebih utuh dari pandangan-pandangan Arif Munandar.
Berikut ini
petikan wawancara Eramuslim dengan Doktor kelahiran tahun 1970 ini.
Eramuslim : Secara sederhana, bisa Anda
jelaskan temuan Disertasi Anda tentang Habitus PKS?
Arif
Munandar : PKS ini
punya sejarah sebagai gerakan keagamaan yang cukup panjang. Bisa dikatakan
habitusnya sangat solid. Itu sebenarnya modal yang luar biasa saat PKS masuk ke
arena politik. Dia unik dan different secara internal.
Namun
sayangnya kemudian dinamika internal itu justru bergerak ke arah seperti
menafikan keunggulan itu. Sehingga ada upaya-upaya yang membuat kita ingin
meraih kemenangan cepat tapi dengan cara bermain orang lain. Itu yang
disampaikan salah satu narasumber (dalam penelitian ini) kepada saya.
Seandainya
PKS itu gak usah “ngapa-ngapain”. Dia fokus ngaji aja, dia tarbiyah, dia
daurah, dia baksos seperti dulu, mungkin menang dengan cara cepat tidak,
tapi pasti eksis dan pasti kokoh. Karena dalam sosiologi itu hukumnya
sederhana, ketika respon eksternal itu tidak kondusif, maka kekuatan internal
itu harus meningkat. Yang terjadi langkah-langkah elit PKS yang mendistorsi frame
itu, seperti memunculkan isu partai terbuka.
Eramuslim : PKS terbawa arus politik?
Arif
Munandar : Justru
saya melihatnya tarbiyah itu terkooptasi. Kader itu karena tarbiyah, dia
menjadi loyal, taat, dan tsiqoh. Tapi sebaliknya elit menjadi punya ruang bermain
dalam hal ini, yang sebenarnya bukan hal-hal yang agamis. Contoh ketika mulai
ada suara-suara apakah uang kita masih bersih atau tidak, itukan sebenarnya
pertanyaan yang profane dan tidak sakral, tapi dijawab dengan jawaban sakral,
bahwa kita harus khusnudzan. Ini menjadi persoalan. Kalau tidak
diperbaiki, PKS akan kehilangan keunikannya.
Saya tidak
ingin ada salah faham, sebenanrnya saya dan beberapa narasumber secara personal
tidak masalah dengan isu partai terbuka. Tapi persoalannya ada dua. Pertama,
gagasan itu tidak di-launch atau disampaikan secara layak, jadi ada elit
yang ngomong itu seakan Majelis Syura mendukung. Tapi ada elit lainnya yang
mengkonter itu. Ini kan tidak mengangkat gagasan secara layak. Kader menjadi
bingung. Seloyal-loyalnya kader, mereka itu manusia. Jadi kalau mau di-launching
kenapa tidak dimatangkan, definisnya sama, mari kita definisikan dulu.
Oleh karena
itu, kita kemudian bermain di area abu-abu. Ada seorang narasumber saya, beliau
ini ahli hadits, mengatakan kalau kita bicara Sisayah Syariyyah isu nya
dua, bagaimana menang, tapi tetap sesuai koridor syariat. Menang itu bisa
kuantitatif, bisa juga kualitatif. Contoh Nabi Nuh (as) itu kemenangan
kualitatif, tapi Rasulullah SAW selain menang secara kualitatif juga
kuantitatif, karena beliau mampu mendirikan Negara.
Nah definisi
taat pada Syariat itu pun ada tingkatannya. Ada aula, afdhol, ada hajar, dan daruriyat.
Anda bisa bayangkan, sebenarnya kader ini kan cerdas, kebetulan ada elit yang
mendefinisikan kemenangan itu dengan kuantitatif, kemenangan suara, juga
mendefiniskan fiqh daruriyat pun masih oke.
Ini akan
bentrok dengan kader-kader yang mendefiniskan menang itu harus dengan
kualitatif dulu, yakni kemenangan dakwah dan kemudian tidak mau memakai fiqh
daruriyat. Dua kubu ini pasti menjadi faksi yang berseberangan. Ini yang
jadi persoalan.
Sebenarnya
ini normal, faksi itu jangan dipandang negatif, hanya ia menjadi negatif kalau
kultur kita belum terlalu matang. Seharusnya setelah ada perdebatan, tidak ada
konsekuensi politik. Jangan karena tidak mainstream, kemudian
disingkirkan. Kultur kita masih begitu.
Eramuslim : Dalam sidang tadi, Anda
mengatakan ada beberapa kader terbaik yang tidak dikenal tapi kemudian
disingkirkan dari struktur?
Arif
Munandar : Ada dua.
Dia tidak dikenal atau dianggap tidak mainstream. Ada beberapa orang di
kepengurusan DPP, yang karena dianggap tidak mainstream, kemudian
ditaruh di MPP atau di DSP. Padahal pada level kebijakan yang mengeksekusi itu
DPP. Ada narasumber saya mengatakan itu kan sebenarnya pembuangan. Dan
orang-orang (yang tersingkir) itu saya interview, mereka memang orang-orang
independen.
Ditambah
lagi di PKS itu ada kultur murid dan guru. Bagaimana pun hal itu tidak bisa
dilepaskan, karena banyak positifnya. Tapi ketika menjadi organisasi publik
seperti PKS, kultur itu banyak negatifnya. Kalau Anda guru saya, Anda murabbi,
Anda ustadz saya, kita sama-sama pengurus DPP, saya gak setuju sama Anda, it’s
impossible saya bicara. Gak mungkin saya mendebat. Nah, kultur-kultur itu
harus segera dibereskan. Makanya dalam kultur paternalistik itu, gak mungkin
perubahan datang dari bawah. Muraqib Am, Ustadz Hilmi Aminuddin, harus
dengan tegas mengatakan saya harus berubah, dan itu harus dimulai dari beliau
dengan mengatakan saya menolak dipilih kembali. Atau beliau boleh dipilih
kembali tapi ada wakil pengurus harian.
Eramuslim : Publik bertanya-tanya apakah
jangan-jangan memang beliau ingin menjabat seumur hidup?
Arif
Munandar : Banyak
spekulasi. Tapi yang nama spekulasi susah dibuktikan. Bisa jadi memang tidak
ada calon lain.
Eramuslim : Kalau DR. Hidayat Nur Wahid
bagaimana?
Arif
Munandar : Nah
persoalannya, lagi-lagi adalah masalah gaya. Doktor Dayat adalah sosok yang
sangat independen. Istilahnya dengan atau tanpa partai dia tetap bisa eksis.
Ditambah lagi orang seperti Doktor Dayat itu tidak mencari “makan” di partai.
Dapat amanah dikerjakan, tidak dapat amanah ya beliau mengerjakan tugas yang
lain. Jadi memang agak lain dengan faksi lainnya yang memang ada yang “hidup”
dari partai.
Eramuslim : Dalam Disertasi, Anda belum
menjelaskan realita beberapa kalangan Astatidz yang pergi meninggalkan PKS.
Tanggapan Anda?
Arif
Munandar :
Persoalannya ada pada dua sisi. Ada orang yang tidak setuju tapi bersikap
seperti Ustadz HNW, Kang Harna, Ustadz Musholi, dan Ustadz Abu Ridho, yang
tetap berada di dalam untuk fight. Tapi ada orang yang memilih jalan
lain yang keluar atau membuat mereka dikeluarkan. Ada seorang narasumber saya
membuat analogi, ‘ini kan rumah kita, kalau Anda keukeuh ada orang jahat di rumah
kita, masak kita yang kabur. Orang jahatnya dong yang kita usir. Kalau kita
masih yakin ada orang baik di rumah kita, ya kita dukung jangan pergi.’
Eramuslim : Tapi kalau memang disuruh
pergi, bagaimana?
Arif
Munandar : Menurut
saya kurang taktis saja. Saya punya prinsip begini, rumah kita bagus, namun
kadang kadang yang salah orangnya. Jadi kalau mau ditembak ya orangnya. Ada
salah seorang narasumber berkata kepada saya, ‘saya tidak pernah mau
berbenturan dengan struktur, tapi jika ada kader yang ngaco, ya saya sikat’.
Saya pikir itu sikap yang baik.
Eramuslim : Anda sendiri di struktur?
Arif
Munandar : Saya belum
pernah sampai di struktur. Saya ini nobody di PKS. I am part of the
system, but i am no body.
Eramuslim : Dalam perkembangannya PKS
begesekan dengan beberapa ormas dalam kasus partai terbuka, karena merekrut
anggota non muslim. Tanggapan Anda?
Arif
Munandar : Menurut
hemat saya sebenarnya ceruk pemilih PKS cukup baik. Tapi di mana-mana jika kita
bingung dengan identitas kita sendiri, maka orang luar akan lebih bingung lagi.
Dan yang membingungkan itu tidak akan dipilih lagi. Akhirnya kita oleh orang
sekuler tidak dipilih, dan oleh orang Islam yang kuat juga tidak dipilih.
Ada seorang
narasumber saya memberikan pernyataan yang cukup baik, ‘Kita ini katanya partai
dakwah, harusnya milik umat. Tapi sudahkah kita menjadi partai umat? Dekat
nggak kita dengan NU, dekat nggak kita dengan Muhammadiyyah, Persis dan Hizbut
Tahrir?’
Partai
Dakwah itu yang pertama kali dirangkul harusnya adalah ukhuwah. Upaya
formal sudah ada, karena sekarang di ada bidang Pembinaan Umat di DPP PKS untuk
membangun relasi dengan ormas-ormas Islam. Tapi saya pikir itu belum cukup.
Karakter partai ini harus membuat dia nyaman buat kaum muslimin dari berbagai
kelompok.
Eramuslim : Beberapa kalangan meminta PKS
kembali ke khittah era 80-an, sebagian lain meminta tetap jalan dengan
Demokrasi seperti saat ini? Tanggapan Anda?
Arif
Munandar :
Dua-duanya tidak realistis. Sunnatullah kalau dunia berubah, kalau kita
tidak berubah, maka kita wafat. Tapi berubah pun jangan berubah jatidiri. Jadi
hemat saya, kalau mau mem-benchmark AKP monggo. Wacana yang
diusung wacana objektif, wacana kebenaran global, kesejahteraan, keadilan, dan
sebagainya. Saya pernah mengatakan secara ekstrem, kalau secara formal kita
tidak lagi mencantumkan kata Islam, selama tarbiyah masih jalan, itu no
problem. Jadi ke depan menurut saya, jalan tengah itu adalah jalan yang
terbaik.
Eramuslim : Dari analisa Anda, bagaimana
peluang PKS di 2014?
Arif
Munandar : Saya agak
worry sebenarnya. Demokrat harusnya bersykur, dia dioyok-oyok sekarang.
Tiga tahun sebelum pemilu, saya yakin orang sudah lupa di 2014.
Mari kita berdoa, supaya tidak ada trouble lagi dalam 6 bulan sebelum Pemilu. Kalau sampai ada trouble lagi wassalam. Peluang PKS sebenarnya masih ada. Tapi segeralah bereskan tiga hal. Yang pertama mesti dibereskan adalah soilidaritas internal. Bohong kita bisa menang tanpa solidaritas internal. Dia hanya bisa dibereskan kalau kita duduk satu meja kembali, sepakati lagi bagaimana nilai dan wajah kita.
Mari kita berdoa, supaya tidak ada trouble lagi dalam 6 bulan sebelum Pemilu. Kalau sampai ada trouble lagi wassalam. Peluang PKS sebenarnya masih ada. Tapi segeralah bereskan tiga hal. Yang pertama mesti dibereskan adalah soilidaritas internal. Bohong kita bisa menang tanpa solidaritas internal. Dia hanya bisa dibereskan kalau kita duduk satu meja kembali, sepakati lagi bagaimana nilai dan wajah kita.
Perbaiki tarbiyah,
karena kita tidak bisa menafikkan keunggulan kita selama ini ya itu. Saya punya
pengalaman menarik, saya sudah lama gak membina. Dulu saya membina cuma empat
orang, namun dalam waktu singkat bisa menjadi sampai 60 orang. Yang saya
kumpulkan orang-orang yang sebelumnya pernah lepas. Saya bertanya-tanya jika
kampus seperti UI kenapa banyak kader yang lepas? Usut punya usut karena astatidz
itu lebih sibuk dengan partainya. Tarbiyah harus ditingkatkan kualitasnya,
modul kita masih 80-an, yang ada materi politik, tapi tidak ada materi itiqadiyah.
Akhirnya kita berpolitik mengikuti cara orang lain, karena tidak diajari. Jadi muwashofat
tarbiyah itu harus in line dengan tuntutan public.
Kedua,
identitas koletifnya harus diperjelas. Ketiga kita harus segera menginisiasi
munculnya tokoh, yang kedalam bisa membangun soliditas, keluar bisa menjadi
representasi cultural PKS. Dan tokoh itu sekarang tidak ada. Sebenarnya sempat
ada, tapi tidak di-maintenance.
Saya menyayangkan,
dulu tahun 2004 starting point SBY dengan Hidayat Nur Wahid tidak ada
jauhnya. Tapi kenapa tahun 2009 gap diantara mereka sekarang terlalu
besar. Persoalannya yang satu di-maintenance, dan yang satu tidak. Itu
saja.
Eramuslim : Pesan buat kader PKS?
Arif Munandar : Be your self. Ikan itu
tidak akan bisa hidup di luar air. Kita harus bangga dengan siapa kita. Gak
perlu lah bermain dengan cara orang lain.
Eramuslim : Jadi kembali ke Asholah?
Arif
Munandar : Iya
kembali ke asholah tapi dengan cara yang cerdas. Yang berubah jangan
isinya, tapi bungkusnya. (mzs/m/pz)
ohn L.Esposito : Kemenangan Salafi Sangat Mengejutkan
Ezzat Ibarahim : Apa yang sedang Anda perhatikan dari hasil pemilihan parlemen Mesir?
John L. Esposito : Dalam beberapa hal, saya pikir, seperti yang diperkirakan banyak kalangan, Ikhwanul Muslimin tidak terlalu besar mendapat dukungan politik dari pemilih, dan ini mempunyai berbagai alasan. Anda tidak memiliki sistem multi-partai yang kuat, dan di Mesir sistem multi partai merupakan pertama dalam sejarah politik di negeri ini.
Saya menulis sebelumnya tentang Tunisia dan Mesir. Para Islamis diharapkan mendapatkan sekitar 40 persen suara. Namun, yang sangat mengejutkan banyak orang munculnya Salafi, yang sebelumnya relatif belum dikenal dalam panggung politik. Tetapi sekarang mendapat dukungan politik yang sangat besar dalam pemilihan parlemen, ini sesuatu yang sangat mengejutkan.
Saya berpikir dengan munculnya Salafi, kami telah melihat mereka berhasil secara politik. Di mana di Mesir kaum Islamis itu selalu dikaitkan dengan Ikhwanul Muslimin. Sekarang Salafi telah memasuki politik dan Partai Nour telah mendapatkan dukungan dalam pemilihan, dan ini menjadi saingan baru bagi Ikhwan.
Saya berpikir akan lebih banyak pertanyaan kepada Partai Nour dibandingkan Ikhwan. Karena kedua gerakan ini memiliki track record yang lebih lama. Bagaimana platform mereka? Terutama berkaitan dengan sejumlah isu. Misalnya, pandangan kaum Salafi yang menyerukan penerapan Hukum Syariah.
Partai Nour telah mencoba menyajikan platform yang lebih akomodatif. Beberapa pengamat mengatakan bahwa ada kontradiksi antara posisi baru yang diambil Partai Nour, yang menampung aspirasi berbagai kepentingan yang berbeda dengan tujuan Partai Nour. Seperti kalangan Koptik. Saya pikir peran Salafi di Mesir akan berbeda dengan Tunisia. Di mana Anda tidak memiliki fenomena ini sama sekali.
Ezzat Ibrahim : Gerakan Salafi adalah fenomena baru di panggung politik. Apakah ini menunjukkan bentuk keberhasilan pemikiran Wahabi yang sudah berakar dikalangan rakyat Mesir?
John L. Esposito : Berbicara tentang Salafi, merupakan ungkapan kata yang sulit, karena istilah salafi berarti banyak hal yang berbeda. Arti yang paling dasar selalu dikaitkan dengan para pengikut awal atau generasi sahabat Nabi. Kemudian, pada abad akhir ke-19 sampai abad ke-20, Anda melihat tokoh pembaharu besar dalam Islam Muhammad Abduh, yang juga disebut sebagai bagian tokoh gerakan Salafi.
Baru-baru ini, istilah Salafi cenderung diterapkan kepada orang-orang yang saya sebut ultra-konservatif, dan itu akan digunakan pada pengikut Wahabi. Saya berpikir bahwa ada sesuatu yang sama dengan Salafi Saudi dan Salafi di Teluk. Karena gerakan Salafi meluas di banyak dunia Muslim, termasuk negara-negara Teluk.
Gerakan Wahabi adalah berkaitan erat dengan fenomena di Saudi yang mendukung Salafi. Di manapun menemukan mereka. Namun, Salafi di negara Arab Saudi mencerminkan realitas yang berbeda dari negara-negara mereka. Hanya saja kebanyakan di Saudi mereka menjadi pendukung kerajaan dan raja.
Namun, ada dua perbedaan penting yang sering saya buat. Beberapa Salafi cenderung menolak berpolitik. Mereka sangat konservatif, sangat banyak pengikutnya menjadi Islam ortodoks (ushuliyyun). Mereka menolak berpolitik. Seperti Salafi di Mesir ketika di bawah Mubarak, karena penindasan politikk, mereka menolak ikut dalam berpolitik.
Lalu ada Salafi lain yang bersifat politis, dan ada jenis ketiga yang saya sebut Salafi militan, dan saya pikir semua kelompok-kelompok ini harus dibedakan satu sama lain. Para Salafi militan orang kadang-kadang menyebut sebagai Salafi jihadis, mereka terlibat dalam kekerasan (gerakan jihad). Kelompok ini, mereka menolak ikut dalam politik, dan memandang partai politik sebagai bid'ah.
Para Salafi politik percaya bahwa mereka memiliki visi yang benar yang bersumber dari ajaran Islam. Versi mereka agama adalah politik salah satu bagian dari ajaran agama, dan menjadi tempat mereka berlatih mengelola masyarakat dan negara. Mereka berusaha merealisasikan ajaran Islam dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Selain itu, mereka bekerja untuk melaksanakan visi ini dalam masyarakat secara keseluruhan.
Dalam pengalaman saya, sesungguhnya mereka masih sedang merumuskan, pandangan-pandagan mereka terkait dengan aplikasi ajaran Islam, dan nampaknya masih akan terus berubah. Banyak kalangan non-Muslim dalam beberapa tahun terakhir, yang banyak dibicarakan dan didiskusikan adalah istilah Wahabi, yang dipandang sebagai semacam ancaman. Karena terkait dengan meluas pengaruh gerakan Wahabi, yang selalu dianggap sebagai ancaman dari dunia Arab, Muslim dan Usamah Bin Laden.
Lalu Salafi datang. Salafi sangat berbeda dengan pemahaman yang kita memiliki, pemahaman masalah orang-orang yang mereka wakili.
Saya mempelajari sejumlah agama. Saya awalnya belajar agama Kristen, dan saya telah melakukan penilitian tentang Islam selama 40 tahun, tapi saya juga mempelajari agama-agama lain. Apa yang mengejutkan orang di Mesir dan di luar Mesir adalah Salafi yang sekarang menjadi pemain politik dan berhasil dengan baik dalam pemilu. Di beberapa daerah mereka tidak begitu berbeda dari ikhwan, tetapi di daerah lain mereka sangat berbeda dari mereka.
Ezzat Ibrahim : Bagaimana mengakomodasi tradisi agama untuk demokrasi modern ...
John L. Esposito : Di Barat banyak kebijakan elit, dan di dunia Arab dan Muslim, mengambil gagasan bahwa demokrasi adalah model, dan semua model pembangunan berasal dari Barat.
Ketika Mesir terjajah kemudian memperoleh kemerdekaan, pemikiran seperti mendiktekan bahwa model demokrais adalah sekuler dan institusi Barat, di antaranya lembaga-lembaga politik, lembaga sosial, lembaga pendidikan, dan lainnya. Apa yang kita lihat saat ini masih seperti itu. Pertama, jika Anda melihat pengalaman Barat terjadi perbedaan besar dalam cara, bagaimana demokrasi dikembangkan di Amerika dan di Eropa.
Di Amerika, terjadi pemisahan antara gereja dan negara. Kami memiliki campuran agama dan politik. Tetapi secara kelembagaan ada pemisahan antara gereja dan negara. Di Eropa, di sisi lain, di Jerman, Inggris, dan Skandinavia, Anda terjadi campur tangan antara institusi agama dan negara.
Ini berarti kepala negara harus dibawah pengaruhagama, dan berarti bahwa negara mendukung institusi agama. Gereja semuanya menurut definisi adalah bukan apa yang tampak seperti demokrasi Amerika.
Ada banyak interpretasi dan akomodasi dari apa yang kita sebut demokrasi Barat, tergantung pada negara Barat bersangkutan. Sesungguhnya yang terjadi di negara-negara hari ini, dan kita melihat modelnya telah berubah. Jika Anda melihat dunia Islam saat ini, Anda melihat berbagai bentuk demokrasi. Misalnya, jika Anda melihat Senegal dan Malaysia, di satu sisi, dan Turki di sisi lain.
Beberapa dekade, Amerika Serikat mengatakan bahwa yang perlu dipromosikan adalah demokrasi model Turki. Tapi apa yang sebenarnya dimaksudkan di sini adalah model sekularisme Turki, yang anti-agama.
Model pengalaman Turki. Di mana sebuah negara Islam dan pemerintah mengatakan bahwa kita menganut sistem sekularisme. Terjadi pemisahan agama dan negara. Berarti ada ruang bagi orang yang menolak kepercayaan agama.
Di Turki. Anda memiliki sebuah negara Muslim dengan bentuk sekularisme. Di mana ada rasa hormat dan sensitivitas untuk agama, dan sekarang tidak ada upaya untuk meminggirkan agama.
Sebelumnya di bawah sistem sekuler di Turki. Jika Anda dilihat sebagai orang yang taat beragama, atau pergi ke sekolah agama, Anda tidak bisa mendapatkan pekerjaan sebagai
Krisis Ruhiyah (Spritual)
Ruhiyah (spritual) bagi aktivis dakwah ibarat jantung bagi
manusia. Bila jatungnya sehat, maka sehat pula semua anggota tubuhnya. Namun,
bila jantungnya rusak dan sakit, maka rusak dan sakit pula seluruh tubuhnya.
Oleh sebab itu, krisi ruhiyyah tidak boleh dianggap spele, karena mengakibatkan
bencana besar bagi pengidapnya. Apalagi jika yang mengidap krisis ruhiyah
tersebut adalah para pemimpin dan tokoh dakwah, maka musibahnya akan lebih
besar lagi terhadap jama’ah yang dipimpinnya serta masyarakat luas.Tidak sedikit aktivis Gerakan Dakwah hari ini kehilangan ruhyah, kecuali yang mendapat rahmat dari Allah. Akibantnya, hatipun menjadi keras seperti, tidak mau menerima nasehat dan peringatan kendati dari sesama aktivis dakwah, berlebihan menggunakan akal dan tidak mau tunduk pada nushush syar’iyyah (dalil-dalin syar’i) dalam menghadapi berbagai persoalan dan realitas kehidupan dengan dalih ilmiyah, tafsir sosial, fiqhuddakwah dan sebagainya yang salah menggunakannya. Padahal tidak akan ada pertentangan antara ilmiyah, tafsir sosial dan fiqhuddakwah dengan fiqihusy-syari’ah. Sebab, fiqhuddakwah itu dirumuskan oleh para ulama sebagai metodologi untuk menegakkan syaria’ah. Ia harus tunduk pada nilai-nilai syar’i. Kalau metodologinya menyimpang, bagaimana mungkin syaria’h itu bisa tegak? Kalaupun tegak, pasti syari’ah yang compang camping seperti yang terjadi pada kaum Ahlul Kitab. Akhirnya, masyarakat tidak dapat melihat gambaran syaria’h yang orisinil.
Fenomena lain yang muncul dalam kehidupan berjama’ah sebagai akibat krisis ruhiyah adalah kegersangan jiwa, kekerasan hati dan kekeringan mu’amalah, sehingga ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan Islam) hanya sebatas lisan dan tidak mampu direalisasikan dalam kehidupan nyata secara baik dan maksimal. Padahal, Ukhuwwah Islamiyah tersebut salah santu kunci utama kekuatan jama’ah/organisasi. Contoh persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshor hanya ibarat nasyid (lagu) yang disenandungkan untuk dinikmati lirik dan suaranya. Pada hakekatnya, masing-masing sibuk memikirkan dan mengurusi dirinya.
Anhenya pula, para pemimpinnya tidur nyenyak di atas kasur empuk dalam kamar rumah megah mereka yang full AC atau di hotel-hotel mewah sambil makan dengan makanan yang lezat penuh gizi serta citra dan rasa yang tinggi. Siang dan malam mengenderai mobil-mobil mewah dengan dalih menjaga performance (jaga imej) sebagai tokoh dakwah. Asal usul harta tidaklah jadi perkara. Padahal, dakwah sebelumnya berkembang pesat, ketika kehidupan mereka miskin dan bersahaja. Contoh kehidupan keseharian Rasul sudah jarang dibaca. Kalaupun dibaca, hanya sepotong saja dan yang terkait dengan kuda dan onta Rasul yang mahal harganya. Lalu ditafsirkan seenak perutnya.
Pada saat yang sama, mayoritas atau kebanyakan anggota jama’ahnya hidup menderita di bawah garis kemiskinan yang mendapat gelar MA (mustahiq abadi) yang berhak menerima zakat seumur hidup mereka. Lucunya, para pemimpin dan jama’ah mereka tetap saja mewajibkan infaq atau berbagai iuran wajib (melebihi dari kewajiban yang Allah tentukan) pada mereka dengan dalih jihad maali (pengorbanan harta), padahal Allah saja tidak mewajibkan kepada mereka yang lemah harta (yang berada pada garis kemiskinan apalagi di bawah garisnya) agar mengeluarkan harta untuk kepentingan apapun, karena secara faktual mereka tidak punya, atau tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka dan merekalah yang harus menerimanya.
“Dan dalam sebagian harta mereka (yang kaya) ada hak orang yang meminta dan belum beruntung” (Q.S. Az-Zariyat / 51 : 19)
Fenomena krisis spritual ini juga dapat kita saksikan di kalangan aktivis Gerakan Dakwah di negeri ini secara nyata. Sebagai contoh, sekitar empat tahun yang lalu terjadi sebuah pertemuan para aktivis Gerakan Dakwah di salah satu kota di Indonesia dengan mengangkat tema yang sangat menyedihkan sekaligus menggembirkan yakni “Mencari Ruh Yang Hilang”.
Menyedihkan karena sudah sebegitu kritisnya spritualitas kalangan aktivis Gerakan Dakwah yang jika tidak berhasil disembuhkan bisa berakibat kemunduran dakwah. Menggembirakan karenan mereka berani mengangkat tema besar dan sensitif yang mungkin bagi sebagian aktivis lainnya masih dianggap tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Berarti ada kesadaran yang tinggi bagi para aktivis dakwah tersebut untuk mengakui adanya krisis spritual dan kemudian berupaya mengobati dan mencarikan terapinya dengan benar. Namun amat disayangkan, upaya tersebut seakan terhempas karang karena sudah tidak lagi menjadi perhatian Gerakan Dakwah dan para pemimpinnya saat ini. Gerakana dakwah lebih berasyik maksyuk sambil bermain-main dengan politik praktis yang amat menggiurkan dan menjanjikan keuntungan duniawi yang amat besar.
Adapun cirri-ciri krisis ruhiyah (spritual) dalah :
1. Rasa malas menunaikan ibadah fardhu, khususnya sholat fardhu berjamaah di masjid dengan alasan sibuk, capek berdakwah dan berbagai alasan lain yang dicipatakan.
2. Rasa berat menunaikan iabadah-ibadah nafilah (sunnah), khsusnya qiyamullail (sholat) tahajjud, dengan alasan capek berdakwah serta berat untuk berinfaq dengan berbagai alasan seperti sudah digunakan untuk kebutuhan dakwah yang lain.
3. Terasa berat membaca dan mentadabburkan Al-Qur-an, menelaah Sunnah Nabawiyyah serta kehidupan Salafus Sholeh.
4. Tidak bisa zikrullah (berzikir pada Allah) dengan banyak. Ingat, di antara cirri-ciri kaum munafik ialah malas sholat dan tidak bisa banyak melakukan dzikrullah.
5. Lesu berdakwah jika tidak menghasilkan keuntungan duniawi. Sebaliknya, sangat bersemangat berdakwah jika secara langsung atau tidak langsung menghasilkan keuntungan duniawi.
6. Menggunakan akal dalam menghadapi berbagai masalah yang pada akhirnya terlihat mengada-ada atau memaksakan nushush syar’yah (dalil-dalil syar’i) untuk menjawab berbagai ekses yang muncul dari sikap dan tingkah laku yang salah.
Adapun efek negatif krisis ruhiyah (spritual) adalah :
1. Hati keras, kendati tampilan wajah selembut salju.
2. Ukhuwwah (persaudaraan) kering, cuek (tidak sensitif dan solideritas / kesetiakawanan tipis) dan terkadang cenderung materialistik.
3. Tidak bisa khusyuk sholat dan beribadah lainnya, karena hati masyghul menghayalkan dunia, kendati dalam bungkusan dakwah atau agma.
4. Tidak bisa menerima kritik dan nasehat, khususnya terkait dengan kesalahan pribadinya.
5. Bila berselisih pendapat bisa menimbulkan dendam kesumat yang berkepanjangan, sambil berupaya membangkrutkan semua yang dianggap berlawanan / berseberangan pendapat.
6. Bersikap nifaq (tidak berani berterus terang) dan tidak bisa mengakui kesalahan.
7. Ujub (bangga) dengan diri dan pendapatnya, termasuk dengan kelompok dan jama’ahnya.
8. Sombong alias tidak mau menerima kebenaran dan pendapat orang lain atau jama’ah lain selain elite jama’ah kelompoknya.
9. Hatinya cenderung dan mudah silau terhadap kehidupan duniawi.
10. Obrolan dan cita-cita menumpuk kesenangan dunia cendrung meningkat frekuensinya, padahal mereka bukanlah para pengusaha.
11. Memanfaatkan jama’ah dan dakwah untuk meraih keuntungan duniawi.
12. Mencampur adukkan antara Al-Haq dengan Al-Bathil (split personality), seperti rajin beribadah dan berzikir, tapi rajin juga memanfaatkan dakwah untuk kepentingan duniawi, memakan harta yang diperoleh bukan dengan jalan yang halal, atau dimulutnya keluar kata-kata keharusan zuhud dan warak terhadap dunia, namun kenyataan hidupnya penuh galamor dan berfoya-foya.
Kondisi Objektif Gerakan Dakwah Saat Ini
Tuesday, 20/10/2009 14:23 WIB | Arsip | CetakPendahuluan
Besarnya jasa Gerakan-Gerakan Dakwah di berbagai belahan dunia Islam- sebagai gerakan penyadaran umat – dalam mengembalikan umat kepada Islam pascakeruntuhan Khilafah Utsmaniyah 1924 - adalah suatu hal yang tidak bisa dipungkiri. Di samping itu, terbukanya peluang yang sangat besar dalam mengembangkan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat Muslim, termasuk di Indonesia hari ini, baik informal maupun formal juga suatu kenyataan yang bisa dirasakan oleh semua aktivis Gerakan Dakwah Islam. Klaim sebagian Gerakan Dakwah bahwa gerakannyalah yang paling berjasa dalam menciptkaan situasi dan kondisi seperti sekarang ini juga kita lihat indikasinya, baik diucapkan ataupun melalui sikap yang dimunculkan.
Namun, terlepas dari itu semua, berbagai Gerakan Dakwah sedang berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan alias sedang dilanda krisi multi dimensi. Itulah yang mengakibatkan Gerakan Dakwah dalam kondisi meprihatinkan. Jika krisis-krisis tersebut tidak segera dicarikan solusinya, tidak mustahil Gerakan Dakwah, khsusnya di negeri ini, dan juga di berbagai negeri Islam lainnya akan berjalan di tempat atau bahkan setback (mundur ke belakang) dan tidak akan mampu memainkan perannya lebih baik dan maksimal di masa mendatang. Di antara krisis tersebut adalah :
1. Krisis Keyakinan Pada Petolongan Allah
Salah satu sisi perbedaan yang paling menyolok antara generasi Islam pertama yang dipimpin langsung Rasulullah Saw. dengan kita yang hidup di akhir zaman ini ialah keyakinan akan pertolongan Allah. Sahabat Rasul Saw. sangat yakin pada janji pertolongan Allah. Saking yakinnya, mereka nyaris tidak pernah membicarakan pertolongan itu. Untuk apa dibahas dan didiskusikan lagi? Saat menghadapi konisi yang amat sulit, sebagai manusia, sebagian sahabat juga atergoda menayakan pada Rasul saw. kapan kemenangan dunia ini dapat tercapai. Namun setiap kalu menyakannhya pada Rasul saw.
Jawaban Beliau ataupun jawaban wahyu dari Allah tetap menggambarkan suatu kepastian asalakan para sahabat mau mengikuti proses yang telah ditentukan Allah dalam keadaan sabar dan istiqomah.
Sautu ketiaka, Rasul saw. sedang berada di dekat Ka’bah. Tiba-tiba datang sahabat bernama Khbbab ibn Irts. Saat itu suasana kehdiupan umat Islam generasi pertam itu sangat sulit dan menderita sebagai akibat tekanan dan boikot kaum Musyrikin Mekkah. Lalu sahabat tersebut datang menghampiri Rasus Saw. sambil menjelasakan keluh kesahnya seperti yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya :
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا بَيَانٌ وَإِسْمَاعِيلُ قَالَا سَمِعْنَا قَيْسًا يَقُولُ سَمِعْتُ خَبَّابًا يَقُولُ
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً وَهُوَ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ وَقَدْ لَقِينَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ شِدَّةً فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلا تَدْعُو اللَّهَ فَقَعَدَ وَهُوَ مُحْمَرٌّ وَجْهُهُ فَقَالَ لَقَدْ كَانَ مَنْ قَبْلَكُمْ لَيُمْشَطُ بِمِشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ عِظَامِهِ مِنْ لَحْمٍ أَوْ عَصَبٍ مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَيُوضَعُ الْمِنْشَارُ عَلَى مَفْرِقِ رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَيْنِ مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَلَيُتِمَّنَّ اللَّهُ هَذَا الأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ مَا يَخَافُ إِلا اللَّهَ زَادَ بَيَانٌ وَالذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ (رواه الإمام البخاري)
Berbagai cobaan dan intimidasi yang dihadapi para Sahabat, tidak menjadikan mereka berfikir untuk menempuh jalan pintas, apalagi berpaling dari Islam. Karena berbagai ujian dan tantangan itu sudah menjadi ketetapan Allah. Sebab itu, mereka hanya berkonsentrasi belajar Islam serta menerapkannya semaksimal mungkin. Mreka amat sangat yankin dengan janji Allah seperti yang dijelaskan-Nya :
إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا
وَالَّذِينَ آَمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الأَشْهَادُ
Sesungguhnya Kami pasti menolong rasul-rasul Kami dan
orang-orang yang beriman pada kehidupan dunia dan pada hari berdirinya
saksi-saksi (hari kiamat), (QS. Ghafir / 40 :51))
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ
رُسُلا إِلَى قَوْمِهِمْ فَجَاءُوهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَانْتَقَمْنَا مِنَ
الَّذِينَ أَجْرَمُوا وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan sesungguhnya kami telah mengutus sebelum kamu beberapa
orang rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan
(yang cukup), lalu kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang
berdosa.Dan kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman. (QS.
Arrum / 30:47)
وَاذْكُرُوا إِذْ أَنْتُمْ قَلِيلٌ
مُسْتَضْعَفُونَ فِي الأَرْضِ تَخَافُونَ أَنْ يَتَخَطَّفَكُمُ النَّاسُ
فَآَوَاكُمْ وَأَيَّدَكُمْ بِنَصْرِهِ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (26)
Dan ingatlah (hai para Muhajirin), ketika kamu masih berjumlah
sedikit, lagi tertindas di bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan
menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Medinah) dan
dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolonganNya dan diberi-Nya kamu rezki dari
yang baik-baik agar kamu bersyukur. (QS. Al-Anfal/8 : 26)Generari Sahabat sebagai generasi terbaik selalu mendahulukan Allah dan Rasul-Nya ketimbang akal mereka sendiri, apalagi mendahulukan kepentingan pribadi mereka dari kepentingan umat atau kepentingan duniawi dari kepentingan negeri akhirat. Karena mereka paham betul bahwa pertolongan Allah itu datang pada saat yang dikehendaki-Nya, yakni saat mereka berkomitment sekuat tenaga dengan ketentuan apa saja yang mereka terima dari Allah dan Rasul-Nya.
Komitment yang kuat terhadap arahan dan aturan Allah dan Rasul-Nya merupakan syarat utama yang ditetapkan-Nya dalam memberikan kemenangan pada hamba-Nya. Para Sahabat Rasul Saw. paham betul masalah ini, sehingga mereka yakin betul akan pertolongan Allah, kendati perlengkapan dan fasilitas duniawi mereka jauh di bawah apa yang dimiliki musuh-musuh mereka. Perang Badar adalah salah satu fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri. Saat itu, baik dari segi jumalah personil maupun perlengakapan perang yang mereka meiliki jauh di bawah apa yang dimiki kaum musyrikin. Merekapun meraih pertollongan Allah.
Di samping itu, ada hal yang sangat menarik untuk dipelajari dari tipologi para Sahabat Rasul Saw yaitu, mereka tidak pernah mendefinisikan kemenangan itu identik dengan kemenangan duniawi dengan segala bentuknya, seperti harta, pangkat, kedudukan, penaklukan, kekuasaan dan sebagainya. Mereka sadar betul hal-hal tersebut hanya akan menyebabkan amal ibadah, dakwah dan jihad mereka menjadi sia-sia dimata Allah. Orientasi mereka terfokus pada mencari karunia dan keridhaan Allah semata.
Apapun bentuk perolehan yang bersifat dunia, sebesar apapun ia, seperti ghaniamah (harta hasil rampasan perang) yang melimpah, penaklukkan demi penaklukan , Makkah, Palestina, kerajaan Persia dan seterusnya, mereka anggap tidak lebih dari karunia atau bonus Allah semata yang nilainya tidak seberapa dibanding dengan kenikmatan yang Allah sediakan untuk mereka di Syurga. Semua itu bukanlah tujuan dakwah dan jihad yang mereka laksanakan, kendati harus mengorbankan apa saja yang mereka miliki berupa harta dan nyawa. Tujuan utama mereka tetap kehidupan akhirat yang abadi. Di sanalah mereka akan menikmati semua bentuk kenikmatan dan kesenangan abadi yang tidak akan pernah dapat dibandingkan dengan apa yang mereka nikmati di dunia. Karena negeri akhirat dan syurga hanya diberikan kepada orang tidak berorientasi kehidupan dunia sebagaimana janji Allah berikut :
تِلْكَ الدَّارُ الآَخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الأَرْضِ وَلا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
Di sisi lain, mereka paham betul bahwa janji pertolongan Allah di dunia hanya datang dengan syarat komitement yang kuat akan arahan, aturan Allah dan Rasul Saw. Besarnya jumlah personil, kuatnya pasukan yang dimiliki, banyaknya harta dan fasilitas dunia yang didapat tidak akan menjamin turunya pertolongan Allah selama mereka tidak bertaqwa pada Allah (komitment pada taujih robbani dan taujih nabawi). Rumusan ini telah menjadi suatu sunnatullah (sitem Allah) yang berlaku seperti yang terjadi dalam perang Hunain.
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ (25) ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَنْزَلَ جُنُودًا لَمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ (26)
Lain halnya dengan kita sekarang. Kita selalu berdalih bahwa pertolongan Allah terkait sekali dengan besarnya jumlah pasukan dan perlengkapan senjata yang kita miliki. Atau dengan kata lain, kemenangan itu terkait sekali dengan fasilitas duniawi yang kita miliki, termasuk pangkat dan jabatan yang biasa disebut dengan kekuasaan. Konsepsi tersebut disebabkan beberapa hal mendasar :
1. Kurang memahami sunnatullah dalam percaturan antara al-haq dengan al-bathil, demikian juga tentang sunnatullah dalam kemenagan dan kekalahan.
2. Mendahulukan akal dari taujih Robbani dan taujih Nabawi.
3. Terjangkit penyakit al-wahn (cinta dunia dan takut mati), atau apa yang disebut dengan materialisme.
4. Kecongkakakan dalam diri (‘ujub binnafs) dan dalam jama’ah/kelompok.
- Kondisi Objektif Gerakan Dakwah Saat Ini (2)
2. Krisis Wawasan Keislaman
- Sungguh aneh tapi nyata, kebanyakan para aktivis Gerakan Dakwah mengalami kerisis wawasan keislaman. Bahkan amat memprihatinkan, sebagain para pemimpinnya mengalami nasib yanga sama. Kondisi ini telah memprihatinkan penulis sejak awal tahun 1990an. Kondisinya semakin parah sejak era reformasi yang membuka peluang kehidupan dakwah agak lebih longgar dibanding zaman Orde Baru yang diktator dan militeristik. Keterlibatkan mereka pada aktivitas politik praktis telah pula membuat wawasan keinlsaman mereka semakin dangkal dan menyempit, bahkan terkadang kacau, karena seluruh perhatian, waktu, pikiran dan bahkan mimpipun terfokus pada masalah politik praktis. Mereka dilalaikan oleh mimpi-mipmi kekuasaan dan kesenangan duniawi dan tidak tertarik membangun para pemmimpin dan kader dengan kekuatan ilmu. Anehnya lagi, tujuannya hanya satu, yakni melipatgandakan perolehan suara dalam pilkada-pilkada dan Pilpres. Atau dengan bahasa lain adalah “mengejar kekuasaan”. Dalihnya beragam, sejak dari kekuasaan murini sampai strategi memenangkan Isalm lewat balantika politik dan kekuasaan dalam rimba kehidupan jahiliyah.
- Tidak sedikit di antara mereka yang bicara dan bekerja keras hanya masalah politik praktis alias kekuasaan, sampai-sampai sholat fardhu berjamaah di Masjid, khususnya shalat subuh terabaikan. Baca Qur’an yang menjadi wirid harian para kader dakwah juga tidak lagi menjadi kebiasaan. Lupa bahwa untuk membangun sebuah kekuasaan atau pemerintahan memerlukan keimanan pada Allah yang yang kuat, akhlak kookoh, dan keilmuan yang komprehensif dan mendalam. Kalau tidak, hanya merupakan angan-angan kososng dan fatamorgana, atau ibarat orang yang sedang mengigau di siang bolong.
- Fakta membuktikan bahwa keterlibatan ribuan kader dakwah di parlemen (legislatif) sejak sepuluh tahun belakangan, belum mampu memberikan pengaruh yang berarti dalam sistem pemerintahan “jahiliyah”, apalagi melakukan perubahan yang signifikan, kendati beberapa kader dakwah yang sudah menjabat di eksekutif sebagai menteri, wali kota, bupati dan sebagainya. Sebaliknya, yang terpengaruhi sistim atau prilaku yang kontra dengan nilai-nilai dakwah Nampak pula bermunculan. Kalau kita tanyakan, mereka hanya berapologi sambil berkata dengan enteng : untuk melakukan perubahan atau perbaikan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, atau dengan dalil lain : Kitakan masih minoritas di parlemen dan eksekutif? Jawaban yang amat klise. Anehnyam syahwat harta dan kekuasaan mereka Nampak lebih dominan ketimbang strategi, ikhtiyar dan kerativitas dakwah yang mereka lakukan. Di samping itu, mereka tidak mau membuka pintu diskusi dan dialog secara ilmiah. Pintu dialog dengan mereka seakan tertutup mati. Sebaliknya, kritik dan kajian ilmiyahpun dianggap sebagai dosa yang bernama “najwa’ (berbisi-bisik) dan berbagai label negative lainnya.
- Yang lebih ironis lagi ialah jika para pemimpin, penanggung jawab atau elite Gerakan Dakwah sebagai menjadi lokomotif dakwah yang mengalami krisis wawsan keislaman tersebut. Apa jadinya Gerakan Dakwah yang tidak dibangun di atas wawsan keisalaman yang benar dan luas? Apa yang menjadi standar Gerakan Dakwah dalam segala tindak tanduknya, baik yang terkait dengan mabadik (prinsip), khuthuwat (strategi), asalib (metode) dan wasa-il (sarana)?
- Prinsip-prinsip Dakwah dan Tarbiyahpun kelihatannya juga belum dipahami dengan baik. Islam macam apa yang mereka mau perjuangakan? Apakah Islam yang dipahami dengan baik dengan berbagai teori dan metode keislaman yang mapan yang menjadi landasan pergerakan Dakwah? Atau Islam yang hanya berdasarkan presepsi mereka sendiri seperti yang dilakukan oleh kaum Ahlul Kitab yang tidak mengerti isi dan esensi Al-Kitab kecuali hanya sesuai presepsi dan dugaan mereke belaka?
- Dan di antara mereka (Ahlul Kitab) adalah kaum ummiyuun, mereka tidak mengerti isi Al-kitab kecuali angan-angan (presepsi-presepsi) dan tidaklah (pengetahuan mereke) kecuali menduga-duga. (Q.S. Albaqarah / 2 : 78)
- Sebab itu, tidak heran jika tingkah laku sebagian pemimpin dan aktivis dakwah dalam kehidupan sehari-hari; dalam berdakwah, apalagi dalam berpolitik praktis terlihat aneh, kontradiktif dan sekaligus menggelikan. Banyak dari mereka yang tidak memahami antara keharusan berpegang teguh pada prinsip dan keharusan menggunakan metode atau cara yang tidak boleh bertentangan dengan prinsip irtu sendiri ketika menghadapi sbebuah kenyataan dalam lapangan kehidupan politik.
- Contoh sederhana ialah : Prinsip Dakwah mengajarkan bahwa setiap amal perbuatan harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata. Namun, ketika melakukan suatu kegiatan sosial, kususnya saat kampanye Pilkada, Pemilu atau Pilpres, mereka lakukan untuk mendapatkan imbalan dari masyarakat seperti, pujian, dunkungan suara atau motif lainnya. Contoh lain ialah, dakwah yang begitu luas lapangan dan sarananya, mereka sempitkan dengan kegiatan-kegiatan politik praktis dengan alasan mengejar kekuasaan. Menurut mereka, memperoleh kekuasaan adalah suatu keniscayaan untuk menegakkan nilai-nilai Islam kendati dengan melanggar nilai-nilai dakwah yang suci, seperi keikhlasan, kejujuran (tidak berbohong), al-walak (loyalitas pada Allah, Rasul dan orang-orang beriman), al-barok (berlepas diri segala bentuk thaghut dan jahiliyah), kebersihan harta yang dijadikan modal berdakwah dan berpolitik, gaya hidup sederhana dan sebagainya. Semua itu mereka bungkus dengan bungkusan sedrhana nan lucu “ untuk Kemenangan Dakawah”.
- Gambaran seperti di atas sangat banyak kita temukan di lapangan dengan berbagai bentuk dan warna. Yang amat meyedihkan lagi ialah, sebagian aktivis dakwah, bahakan yang berpendidikan tinggi dalam bidang ilmu syari’apun akan melihat semua apa yang digariskan, diputuskan dan diperintahkan para pemimpin mereka adalah final dan pasti kebenarannya, tanpa ada upaya menelaahnya dengan baik dan teliti apakah semua itu sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dakwah itu sendiri. Kalaupun mereka melihat adanya kejanggalan, keanehan, paradoks dan nyeleneh sekalipun, mereka akan jawab secara instan dengan menggunakan salah satu atau beberapa istilah syar’i dari enam istilah syar’I (terminology Islam) yang lazim mereka pakai yakni, ta’at, tsiqoh (percaya), husnuzh-zhan, fiqhuddakwah, ijtihad atau syura qiyadah (musyawarah pemimpin).
- Sudah sekitar 20 tahun penulis merasakan dan mengamati kondisi seperti itu berjalan terus. Di era reformasi (keterbukaan) yang sduah berjalan 10 tahun, krisis wawasan keislaman ini malah semakin parah dan berkembang dengan amat sangat subur. Kalau demikian kondisinya, enak benar menjadi aktivis dakwah? Apa lagi menjadi pemimpin dakwah masa kini? Kenapa tidak? Semua masalah yang dihadapi dalam hidup yang amat kompleks ini cukup diselesaikan dengan hanya enam istilah (ta’at, tsiqoh (percaya), husnuzh-zhan, fiqhuddakawah, ijtihad atau syura qiyadah) yang seringkali dipahami secara salah dan keliru.
- Selintas mereka terlihat lebih hebat dari Rasulullah dan para Sahabat yang harus belajar wahyu selama 23 tahun secara benar dan konsisten serta bersusah payah menjaga orisinilitas ajaran Islam sehingga mengharuskan mereka menghadapi berbagai kesulitan hidup dan bahkan dalam banyak situasi harus ditempuh dengan air mata dan darah. Kendati demikian, mereka, termasuk baginda Muhammad Saw. seringkali dikritik, dluruskan dan bahkan diancam Allah saat melakukan kesalahan berpendapat, bersikap maupun berijtihad. Para Rasulullah dan para Sahabat segera kembali ke jalan yang benar dengan penuh kesadaran dan kebahagiaan saat menerima kritikan, saran, nasehat baik oleh Wahyu maupun oleh Sahabat sendiri.
- Kritik mengkritik tersebut banyak terlukis indah dalam Sirah seperti kasus Abdullah Bin Ummu Maktum, perkara tawanan Badar, Shulhul Hudaibiyah dan sebagainya. Kisah-kisah tersebut secara gamblang kita temukan dalam Al-Qur’an dan Sirah Rasul Saw. Sebaliknya, tidak sedikit dari pemimpin Gerakan Dakwah dan para aktivisnya yang alergi dinasehati, dikritik dan diluruskan saat mereka keliru berucap, berpendapat, bertindak dan berijtihad. Seakan menempatkan nasehat dan sejenisnya adalah musuh laten ajaran Islam yang diharamkan. Mungkin mereka lupa bahwa salah satu metode terbaik dalam menjaga kemurnian penerapan ajaran Islam sesama para pemimpin dan aktivis dakwah, demikian juga dengan pemimpim Negara dan masyarakat umum adalah nasehat, seperti yang dijelaskan junjungan kita Nabi Muhammad Saw. dalam sebiuah Haduts Beliau :
- Dari Jabir Bin Abdullah dia berkata : Saya membai’ah (mengucapkan sumpah setia) Rasul Saw untuk menegakkan salat, membayar zakat dan memberi nasehat pada setiap Muslim (Riwayat Imam Al-Bukhari)
- Dalam kesempatan lain Rasul Saw. bersabada lagi dengan lebih rinci :
- Dari Tamim Ad-Dariy, bahwa Nabi Saw. berkata : Agama ini (Islam) adalah nasehat. Kami berkata : Untuk siapa saja? Beliah menjawah : Untuk Allah (dengan meyakini dan menta’ati-Nya) dan untuk Kitab-Nya (dengan meyakini dan membaca, memahami dan mengamalkannya), dan untuk Rasul-Nya (dengan meyakini dan mengikuti sunnah -jalan hidup-nya), untuk para imam (pemimpin tertinggi kaum Muslimin seperti Kahlifgatul Muslimin atau Amirul Mukminin, dengan mentaati mereka selama dalam hal ma’ruf) dan untuk semua kaum Muslimin (Riwayat Imam Muslim)
- Kalau boleh kita jujur, ajaran Islam yang amat komplit dan rinci itu, belum menjadi fokus pelajaran dalam pembentukan kader-kader dan pemimpin dakwah masa kini. Penyajian materi-materi dakwah dan tarbiyah sangatlah sederhana dan tidak tertata secara baik dan maksimal, apalagi rinci dan mendalam, paling tidak untuk para pemimpin dan calon-calon pemimpin masa depan. Tak jarang pula silabus, atau manhaj tarbawi yang dibuat tidak pula mampu dipahami, apalagi diimplementasikan.
- Doktrin-dokrin kejamaahan/keorganisasian jauh lebih dominan ketimbang mempelajari ajaran Islam secara baik, sistimatik dan akedimis dan ilmiyah. Tidak heran jika masih banyak pemimpin dan kader inti dakwah yang wawasan keislaman mereka masih dangkal yang mengakibatkan pola fikir dan prilaku mereka amat sangat sederhana dan bahkan dengan menggunakan cara pandang kaca mata kuda, kendati sudah terlibat dalam dakwah puluhan atau belasan tahun. Yang belum lancar membaca Al-Qur’an saja masih banyak, apalagi membacanya setiap hari satu juz, memahami dan mengamalkan kandungan dan ajarannya secara baik dan sungguh-sungguh.
- Pada kenyataannya, yang banyak mempengaruhi dan mewarnai prilaku dan pola fikir sebagian besar pimpinan dan aktivis dakwah adalah pengaruh-pegraruh ilmu sekular yang dipelajari di rumah, di sekolah, di media dan di masyarakat yang sudah berjalan paralel dengan umur mereka. Masalah tersebut bertambah runyam saat style dan perjalanan dakwah ini diwarnai dan didominasi oleh background dan gaya para pemimpinnya yang beridiologi pragmatism dan materilistik (intifak dakwah). Dengan dalih demi kepentingan dakwah semuanya bisa menjadi halal. Allahul must’aan.
- Salah seorang sahabat dakwah pernah berkata pada penulis: Kita ini masih orang Indonesia, yakni pengaruh-pengaruh jahiliyah lokal dan import dalam diri kita yang kita peroleh selama hidup di negeri ini masih mendominasi kehidupan kita. Pengaruh nilai-nilai Islam yang orisinil hanya terbatas pada wacana, ucapan, ibadah mahdhah dan semangat berdakwah. Itupun sudah mulai direcoki oleh bid’ah-bid’ah baru yang di masa 10 tahun pertama dakwah dapat dihindarkan dengan baik. Sebab itu, tidak heran jika sudah masuk ke dalam kehidupan nyata, khususnya rimba politik praktis yang penuh tipu muslihat, tidak sedikit yang melakukan kekeliruan.
- Timbul beberapa pertanyaan mendasar : Apa yang salah dengan Gerakan Dakwah hari ini? Apa mungkin mampu menegakkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat dan pemerintahan negeri ini, sedangkan nilai-nilai tersebut belum tegak secara baik dan kuat dalam diri para pemimpin dan para kativis dakwah itu sendiri? Mau kemana arah Gerakan Dakwah ini? Apa yang menjadi target atau agenda besarnya? Apa hambatan terbesar yang dihadapi saat ini? Sudahkah memiliki hardware (SDM) dan software (konsep) yang lahir dari hasil shibgatullah (celupan Allah) dalam hal keimanan dan proses pemahaman Islam (keilmuan) dalam mencapai pemahaman yang bik dan benar? Dan banyak lagi pertanyaan mendasar yang menggelayut dalam kepala kita seputar fenomena kurangnya wawasan keislaman para aktivis dan pemimpin Gerakan Dakwah hari ini.
- Perlu kiranya disadari bahwa semua ajaran Islam itu adalah ilmu yang sudah pasti, bukan presepsi-presepri atau hipotesa-hipotesa sosial seperti yang dikira banyak orang sehingga mudah sekali berubah atau berkembang disebabkan perubahan atau perkemabngan sosial yang terjadi. Kepastian ilmu Islam itu mencakup semua ajarannya, sejak dari ‘akidah, syari’a, mu’amalh sampai akhlak.
Kalau kita pelajari apa yang ditulis oleh para ulama
besar Islam sepanjang sejarahnya yang lebih dari 14 abad itu amatlah
mengagumkan . Hampir tidak ada masalah kecuali mereka bahas secara tuntas.
Kalaupun kita mencoba berijtihad, niscaya sedikit sekali peluangnya. Itupun
hanya sebatas asalib dan wasa-il yang belum ditemukan contoh praktisnya dalam
karya-karya ulama besar Islam sepanjang masa. Atau mumgkin memerlukan revisi
disebabkan sistuasi dan kindisi zaman. Itupun harus dilakukan dengan sangat
hati-hati dan pembahasan mendalam yang ditinjau dari semua asepeknya agar tidak
menyimpang dari tujuan asalnya. Atau dengan kata lain, syaratnyapun harus
mengacu kepada kaedah-kaedah dasar Islam yang menjadi bingkainya agar tidak
bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Sekal-kali tida boleh dilakukan
secara sembrono atau dengan tujuan kepentiangan duniawi semata.
Masalah bai’at, taat pada pemimpin, tsiqah, husnuzh-zhan, fiqhuddakwah, ijtihad dan syura misalnya, merupakan masalah yang sudah tuntas dan final dibahaas sejak zaman Nabi Muhammda Saw. Beliau merumuskan taat kepada pemimpin itu dengan syarat, yakni selama dalam batas-batas otoritasnya yang tidak mengakibatkan maksiat pada Allah.
Masalah bai’at, taat pada pemimpin, tsiqah, husnuzh-zhan, fiqhuddakwah, ijtihad dan syura misalnya, merupakan masalah yang sudah tuntas dan final dibahaas sejak zaman Nabi Muhammda Saw. Beliau merumuskan taat kepada pemimpin itu dengan syarat, yakni selama dalam batas-batas otoritasnya yang tidak mengakibatkan maksiat pada Allah.
“Tidak ada ketaatan dalam maksiat (durhaka) pada Allah. Ketaatan itu hanya pada yang ma’ruf (dibenarkan Allah). (R. Muslim)
Di samping itu, taat pada pemimpin itu dengan sayarat jika mereka telah menunaikan kewajiban-kwajiban mereka terhadap rakyat atau anngota jamaah. Demiakian juga dengan masalah husnuzh-zhon dan tsiqoh juga sudah final dan ada tempatnya. Ia tidak bertentangan dengan sikap kritis dan kewajiban salinng menasehati. Kedua sifat tersebut harus digandengkan. Kalau tidak, hanya akan melahirkan aktivis-aktivis berkacamata kuda. Yang diuntungkan sudah pasti para pemimpin yang meletakkan diri mereka melebihi posisi Rasulullah di tengah para Shabatnya. Akhirnya lahirlah generasi ummiyyun, yakni seperti generasi Ahlul Kitab yang tidak memahami Al-Kitab kecuali hanya berdasarkan presepsi semata, bukan didasari ilmu yang matang dan mendalam. Perlu dicatat, Kondisi ummiyyun tersebut akan semakin memperkokoh posisi para pemimpin yang haus kekuasaan dan kehidupan dunia. Demikianlah sejarah manusia mengajarkan kepada kita.- Untuk lebih jelas bagaimana proses terbentukanya wawasan dan pemikiran keisalaman seseorang yang baik sehingga menjadi keyakinan, konsep dan prilaku, dapat dilihat dalam gambar berikut ini.
1 komentar:
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu
Posting Komentar