>

Tausiyah untuk Buku “Kawasan Dan Wawasan Studi Islam”
Karya: Prof.Dr. Muhaimin, MA., Dr. Abdul Mujib, M.Ag. dan Dr. Jusuf Mudzakir, Msi.


Islam versi W.C Smith
Dalam buku The meaning and End of Religion , smith meletakkan pembahasan tentang konsepsi dan makna Islam ke dalam bab khusus “The Special Case of Islam”. Menurutnya, Islam adalah satu-satunya agama yang “built-in name”. Kata Islam terdapat dalam al-Qur’an itu sendiri, dan kaum Muslimin tetap bertahan untuk menggunakan istilah itu untuk menjelaskan sistem keagamaan mereka. Namun, meskipun demikian, Smith memberikan penjelasan yang bersifat reduktif terhadap makna Islam itu sendiri.
Istilah Islam, menurutnya, jika ditelaah secara cermat dalam Al-Quran, kurang begitu banyak digunakan. Contohnya, istilah ‘Tuhan’ muncul 2.697 kali, sedangkan Islam hanya muncul 8 kali dalam Al-Quran. Dan jika istilah islam digunakan, maka bisa jadi bermakna dan dalam banyak kasus pasti bermakna, bukan nama suatu sistem sosial, tetapi merupakan tanda aktivitas personal. Smith menulis, “Islam adalah kata kerja, muncul sekitar sepertiga kali jumlah kemunculan kata kerja asalnya ‘Aslama’(Tunduk, berserah diri secara keseluruhan, memberikan diri kepada komitmen total). Ia merupakan kata kerja, nama sebuah bentuk tindakan, bukan sekedar intitusi, sebuah keputusan pribadi, bukan sebuah sistem sosial”.
Dalam beberapa hal, katanya, bentuk verbal dari Islam jelas terlihat (At-Taubah:74, Al-Hujurat:17). Smith mengartikan Ali Imran:85 sebagai berikut, “jika seseorang memilih selain dari penyerahan diri sebagai sebuah Norma, itu tidak akan diterima daripadanya.”
Bisa disimak, bahwa gagasan Smith adalah mengartikkan islam sebagai aktivitas penyerahan diri kepada tuhan  dan bukannya nama suatu institusi. Istilah Islam, dengan makna satu sistem keagamaan, baru muncul dalam proses sejarah. Adalah hal menggelikan, kata Smith, jika istilah islam diartikan dengan makna satu sistem keagamaan (a religious system). Padahal makna seperti itu adalah hasil dari perkembangan sejarah berikutnya. Tentang makna ayat “Inna al-dina ‘indallahi al-islam”,  Smith menulis sebagai berikut, “What in modern times has become ‘Verily the Religion in the eyes of God is Islam, originally meant.....rather that to conduct oneself duly is to obey Him—or simply, true Religion (not ‘the true Religion’) is obeisance”.
jadi, menurut Smith, agama yang benar, bukan menunjuk pada satu nama agama tertentu, tetapi adalah satu bentuk aktivitas, yakni satu bentuk kepasrahan atau ketundukan (obeisance). Ia menekankan bahwa istilah islam dalam al-quran tidak menunjuk pada agama tertentu,, tetapi lebih merupakan tantangan (Challenge). Smith sama sekali tidak meyebut kriteria submission of God  yang benar menurut islam, sebagaimana banyak disebutkan dalam Ayat Al-Quran dan Hadits Nabi yang mewajibkan kaum Muslimin mengikuti Sunnah Rasulullah saw..
Pendapat Smith ini berbeda dengan James Robson, yang menulis artikel berjudul ‘Islam’ as A Term, di Jurnal (misi Kristen) Muslim World edisi April 1954. Ia menulis, “ketika kata islam digunakan ia memiliki makna yang berbeda. Terkadang jelas ia merupakan nama agama. Robson menunjuk ayat “Inna al-diina ‘inda Allahi al-islam sebagai contohnya. Juga ayat “Al yawma akmaltu lakum.....ayat-ayat ini menunjukan Islam bukan hanya bermakna “submission to God” tetapi sudah berkembang menjadi satu nama agama (proper name). Robson mengutip sejumlah rujukan klasik seperti tafsir al-Baidhawi dan beberapa kamus bahasa Arab yang menjelaskan bahwa makna islam, disamping submission to God adalah nama satu agama.[1]
Sebenarya, tidaklah benar, hadits sejak awal tidak dicatat oleh para sahabat. Prof. Mustafa Azhami, dalam disertasinya di Cambridge, berjudul “Studies in Early hadits Literature” membuktikan proses pencatatan hadits, disamping  proses penghafalannya. Banyak ilmuan Muslim lainnya telah membuktikan keraguan-keraguan para orientalis terhadap otentitas hadits Nabi. Memang, ada dua tokoh orientalis yang aktif menyebarkan keraguan ini, yakni Ignaz Goldzhier dan Joseph Schacht. Mereka berpendapat bahwa hadits adalah fabrikasi, atau buatan kaum Muslimin abad kedua dan ketiga hijriah. Teori sanad adalah suatu rekayasa atau ‘back projection’ para ulama untuk membuat teori otentisitas hadits. Intinya, hadits Nabi perlu diragukan otentisitasnya.[2]
Untuk menentukan shahih tidaknya sebuah hadits, para ahli hadits umumnya mensyaratkan bahwa hadits dinilai sahih (otentik) apabila diriwayatkan dengan sanad yang bersambung kepada Nabi oleh rawi-rawi yang adil (jujur dan taqwa) dan dhabit (kuat ingatannya), tidak ada illah (cacat) dan syadzh (kejanggalan).dalam menetukan “sanad yang bersambung kepada Nabi” para ahli hadits mensyratkan bahwa antara rawi pertama dengan rawi kedua-dan begitulah seterusnya-ada kemungkinan bertemu meeka ahli hadits menilai sanad itu bersambung meskipun keduanya tidak pernah bertemu sama sekali. Dalam ilmu hadit dikenal ada elapan metode penyebaran hadits (tahammul al-‘ilm), yaitu: 1. Sama’ (mendengarkan), 2. Qiraah (membacakan), 3. Ijazah (mengizinkan), 4. Munawalah (memberikan), 5. Kitabah (menuliskan), 6. I’lam (membeitahukan), 7. Wasiyah (pesan, wasiat), 8. Wijadah (menemukan).[3]
Dari delapan metode ini, dua diantarannya ditolak dalam ilmu hadits, yaitu metode washiyah dan “wijadah”. Artinyaa hadits diriwayatkan dengan kedua metode ini tidak shahih karena sanadnya tidak bersambung (munqathi’). Tiga metode yang lain yaitu “sama” “ardh” dan “munaawalah” dinilai kuat dalam periwayatan hadits sebab murid dan guru benar-benar bertemu. Sedang tiga metode yaitu “ijazah”, “kitabah”, dan “i’lam” diterima juga oleh ahli-ahli hadits sehingga hadits yang diriwayatkan dengan ketiga metode ini dinilai shahih, karena sanadnya dianggap bersambung. Padahal ketiga metode yang akhir ini memungkinkan seorang murid (rawi kedua) tidak pernah bertemu dengan gurunya (rawi pertama)[4]
Hampir tidak ada orang yang tidak mengetahui hadits “Perbedaan (pendapat) dikalangan umatku adalah rahmat”. Ia memang begitu populer. Bukan hanya mereka yang selalu bergumul dengan kitab-kitab kuning saja, melainkan orang-orng yang m terbilang awam pun mengetahui hadits itu. Namun apa yang mereka ketahui itu baraang kali hanya sebatas bahwa ungkapan itu adalah hadits. Tidak dikenal dikalangan muhadditsin dan kai tidak mnendapatkannya bersandarkan yang shahih, atau dhaif maupun maudhu’. Menurut al-Alamah ibnu Hazm: “Hadits ini, termasuk sejelek-jeleknya ucaopan, sebab kalaulah ikhtilaf itu rahmat, berarti persatuan itu laknat”. Dan berkata pada kesempatan lain: Haditsnya batal dan dusta.[5]


[1]. Adian husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Jakarta: Gema Insani Press, 2005, hlm 359- 361.
[2] . Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat: Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi, Jakarta: Gema Insani Press, hlm95. Mustafa M A’zhami, Studies in Early Hadith Literature, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005.
[3] . al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, ed. Abd al-Wahhab ‘Abd al-Latif, Madinah: Maktabah al-‘Ilmiyah, 1392, I:91.
[4] . Ali Mustafa Yakub, Imam Bukhari dan Metodologi Kritik Dalam Ilmu hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm 25 
[5] . Aceng Zakaria, Al-Hidayah Fi Masaila Fiqhiyah Muta’aridhah, Ibnu Azka Press: Garut. 2007, hlm 76.
                                                                                               
                                                                                                  Oleh: Hadi Nur Ramadhan

Penulis : RG-UG112 ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel ini dipublish oleh RG-UG112 pada hari Selasa, 06 Maret 2012. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan
 

0 komentar: