Hati-Hati
“Virus Inferiority Complex”
Pernahkah
suatu saat ketika menulis, berdiskusi, atau berbicara merasa kurang afdhal
jika kita tak mengutip pendapat cendikiawan Barat? Jika ya, barang kali kita
perlu berhati-hati. Jangan-jangan, secara tidak sadar kita telah terjangkiti
gejala inferiority complex, alias rasa minder nan takut. Buah serangan
Ghazwul Fikri yang canggih dan halus?
Bisa ya, bisa juga tidak. Tapi bukan klaim berlebihan, jika dikatakan bahwa
perasaan minder (inferior) yang mendera elit umat, adalah salah satu
penyebab berlarut-larutnya depolitisasi dan deideologisasi Islam
di negeri ini.
Jika elit
umat sendiri minder dengan penetapan syariat Islam, bagaimana mungkin kita
mengharapkan respon umat lapis bawah? Dalih yang terus dipakai adalah faktor
kesiapan umat. Padahal, hukum penjajah kafir Belanda yang kita terus pakai
hingga saat ini, toh tak pernah mempertanyakan kesiapan kita terlebih
dulu. Gejala apa ini? Boleh dikata,
debat kalangan simbolis versus subtansialis soal syariat sudah berakhir.
Tinggal menanti kejujuran para elit umat, bahwa menjalankan syariat Islam adalah
qath’i, pasti dan wajib hukumnya. Selanjutnya, silakan, saja berdebat
habis-habisan soal penerapan yang paling sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia.
Sebab, yang terakhir ini sifatnya furu’ dan bukan ushul, masalah
ijtihad dan bukan prinsip.
Bila ini
berlanjut, yang bertepuk tangan pastilah musuh-musuh Islam. Bukanlah salah satu
upaya musuh Islam adalah melancarkan serangan pemikiran dengan
muslihat-muslihat yang machievelistik, menghalalkan segala cara. tak
terbantahkan bahwa amat sulit menundukkan militansi umat Islam dalam sebuah
perang fisik. Tindakkan konyol ini akan membangkitkan seluruh kesadaran
ideologis umat Islam untuk bangkit bersatu dan melawan. Sebuah kesadaran yang
mengundang datangnya nashrullah, pertolongan Allah. Dirancanglah makar
pemikiran itu, yang tampaknya cukup jitu melumpuhkan rasa percaya diri umat ini
untuk kembali ke jati diri Islam. Salah satu implikasi ketakberdayaan itu,
menurut Cendikiawan Islam Ziauddin Sardar,
membuat sebahagian elit umat terjebak memahami diri dan masyarakatnya dengan
kacamata paham Barat. Lantas, mungkinkah membedah hakikat Islam dan umatnya
secara tepat, jika kacamata dan seluruh pisau analisanya adalah made ini
Barat?
Kita bukan
anti Barat, kita punya sebuah spirit dialogis, “Al-hikmatu dhaallatul
mukmin, anna wajadaha fahuwa ahaqqu biha”. Hikmah yang berati ilmu,
kebijaksanaan, pengetahuan dan nilai, adalah harta karun umat Islam yang
tercecer, dan harus direbut. Tapi dalam pencarian hikmah ini, kitalah yang jadi
penentu, bukan pengekor. Tragisnya, banyak elit pemikir dan pemimpin umat yang
justru ber-“tafaqquh fiddien” dengan para “syekh” yang orientalis. Padahal,
sehebat apapun mempelajari Islam, mereka takkan sanggup memahami hakikatnya. Sebab, mereka “mengaji” dengan otak
mereka, dan kita mengaji dengan akal, nurani dan hati kita. Lalu, kenapa
harus minder? Wallahu
A’lam bish-Shawwab
Oleh: Hadi Nur Ramadhan
0 komentar:
Posting Komentar