K.H EMAN SAR’AN
PEJUANG PERSIS SEPANJANG HAYAT
Pertama kali saya mengenal K.H Eman Sar’an pada tahun 1988, ketika itu
usianya telah menginjak 72 tahun. Dalam pandangan saya sosoknya begitu
berwibawa, semangatnya begitu tinggi, dan ketajaman ingatan, kemampuan berfikir
dan intelektualitasnya masih kentara. Saya mulai tertarik dengan penampilan
Ustadz Eman Sar’an ketika pertemuan pertama saya dengan beliau dalam kegiatan
Tazwiidu Fityanil Qur’an yang diselenggarakan oleh PP. Pemuda Persis di
Pesantren Pajagalan Bandung.
Ketika itu, Ustadz Eman Sar’an membawakan makalah berjudul Sirah Jihad Persatuan Islam yang
memaparkan tentang sejarah perjuangan Persis dari masa ke masa. Sebagai
mahasiswa di Jurusan Sejarah, ketika itu, saya tertarik dengan makalahnya, sebab
sejauh yang saya ketahui tidak pernah ada orang yang menulis atau menceritakan
secara kronologis tentang organisasi Peris. Sejarah Pesis begitu gelap. Dengan
sajian yang khas sebagai pelaku sejarah, Ustadz Eman Sar’an menuturkan
perjalanan sejarah Persis dengan panjang lebar, meskipun makalahnya sendiri
hanya beberapa halaman, tetapi urainnya mengajak saya untuk menyelami lebih
jauh tentang sejarah Persis. Secara jujur makalah Ustadz Eman itulah yang
mengusik saya untuk mencoba menulis sejarah Persis.
Setelah itu, saya mulai mengenal lebih dekat dalam berbagai pertemuan
yang sering dilaksanakan oleh PP. Pemuda Persis. Dalam setiap pembicaraannya
Ustadz Eman senantiasa menggambarkan beratnya perjuangan Persis di masa silam
untuk mengibarkan panji Al – Qur’an dan Sunnah, memberantas bid’ah, khurafat,
takhayul, syrik, musyrik, dan tradisi yang membelenggu umat Islam.
Ketertarikan Pada Persis
Menurut penuturan putranya, Drs. H.M. Nurrasyid, yang mengirimkan
faximili kepada saya, K.H. Eman Sar’an lahir di Bandung pada tanggal 23 Juli
1916. Ayahnya bernama Mas’an dan Ibunya Ratu Astaniyah. Ia menikah pertama kali
dengan Siti Hasanah yang wafat pada tahun 1945, kemudian menikah lagi dengan
Hj. Siti Julaeha kelahiran Garut 27 Maret 1927 yang dinikahinya di Garut pada
bulan Februari 1946. Beliau dikaruniai 13 orang putra – putri masing – masing
adalah : (1) Hj. Siti Aida, (2) Hj. Siti Nurbaya, (3) Arifin Noor, (4) Drs. H.
M. Nuh Nurrasyid, (5) H.M Fadil, (7) Hj. Siti Nuraliyah, (8) H.M Fuad Nurdin,
S.km, (9) Ir. H.M Abduh Nurhidayat, M.Sc, (10) Drs. H.M. Fauzi Nurwahid, (11)
Ir. H.M Faizal Nursyamsi, MM. MBA, (12) Ely Rohliyah, dan (13) Iim Rohimah yang
kesumuanya telah menikah. Dari putra – putrinya itu Ustadz Eman Sar’an
dikaruniai 52 orang cucu dan 15 cicit.
Masa kecilnya dihabiskan di Bandung. Di jaman Belanda ia menempuh
pendidikan formal mulai dari HIS kemudian melanjutkannya ke MULO. Dengan latar
belakang yang tidak pernah megenyam pendidikan pesantren ini, Ustadz Eman
Sar’an justru tertarik untuk mengikuti berbagai pengajian yang diselenggarakan
oleh Persis di jalan Pangeran Soemedang bersama – sama tokoh muda Persis
lainnya seperti Rusyad Nurdin.
Ketertarikan ini, menurut Ustadz Eman Sar’an disebabkan oleh karena
Persis satu – satunya organisasi yang mencetuskan ide kembali kepada Al –
Qur’an dan Sunnah. Dengan sendirinya organisasi inilah yang memulai jihad
memberantas khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, dan musyrik dikalangan umat
Islam serta pembelaan aqidah Islamiyah dan berbagai macam kepercayaan yang akan
merusak Islam.
Ustadz Eman Sar’an seringkali menyaksikan dan mengikuti berbagai
aktivitas Persis. Sebagai tokoh muda ia seringkali hadir dalam berbagai
perdebatan terbuka antara Persis dengan para ulama tradisional mengenai masalah
– masalah ushalli (talafudz binniyah), talqin, pemindahan pahala kepada orang
yan telah meninggal dunia, tahlilan setelah kematian, dan berbagai materi
perdebatan lainnya. Menurut Ustadz Eman Sar’an tradisi berdebat inilah yang
mengasah ketajaman berfikirnya dalam menganalisis ilmu agama yang diperolehnya.
Dalam mempraktikan dalil – dalil Sunnah, Ustadz Eman Sar’an bersama
Pemuda Persis memepelopori berbagai aktivitas yang pada waktu itu masih
dianggap baru. Umpamanya shalat Ied, para pemuda diwajibkan untuk membawa golok
dan pentungan untuk membela diri jika terjadi hal – hal yang tidak diinginkan.
Sebab, ketika tersiar kabar bahwa shalat Ied di lapangan Tegallega akan
dibubarkan oleh kaum muslimin tradisional, karena tidak lazim dan mengganggu
tradisi yang sudah ada. Ustadz Eman Sar’an berupaya untuk mendekati polisi
Belanda agar shalat Ied dilapangan bisa dijaga oleh aparat keamanan. Pagi –
pagi, sebelum shalat Ied berlangsung, aparat polisi Belanda telah berjaga di
setiap sudut lapangan Tegallega, para pemuda bersiap – siap di lapangan Ied
dengan berbekal golok dan pentungan, sementara itu ibu – ibu merapatkan barisan
di belakang shaf. Di luar itu , segerombolan orang menyaksikan orang – orang
yang dianggapnya “penganut agama baru” yang melaksanakan shalat Ied di
lapangan. Shalat Ied yang pertama kali di lapangan itu memang penuh ketegangan.
Selain shalat Ied dilapangan, menurut penurutan Ustadz Eman Sar’an, tradisi
yang dirombak total oleh Persis adalah pernyajian khutbah Jum’at dengan bahasa
daerah atau Melayu. Pada waktu itu, khutbah Jum’at disampaikan dengan bahasa
Arab, dengan logika sederhana bahwa Nabi pun menyampaikan khutbah jum’at dengan
bahasa Arab. Jadi, tidak menggunakan bahasa Arab, tidak syah. Persis menolak
tradisi itu, karena berdasarkan logika sederhana pula bahwa Nabi menyampaikan
khutbah jum’at dengan bahasa Arab karena jamaahnya orang Arab, maka jika jamaah
bukan orang Arab, khutbah Jum’at harus disajikan dalam bahasa yang difahami
oleh jamaahnya, salah satunya dengan bahasa daerah atau bahasa Melayu. Hal ini pun
menimbulkan reaksi keras dari kaum muslimin pada umumnya.
Sesungguhnya ketertarikan Ustadz Eman Sar’an terhadap Persis adalah pada
hal – hal yang rasional. Ia yang berpendidikan Belanda menganggap Persis
sebagai wadah yang tepat untuk menyalurkan ide – ide rasional yang didasarkan
pada Al – Qur’an dan Sunnah. Karenanya, dimana pun diselenggarakan pengajian.
Rapat dan tabligh akbar, atau bahkan debat terbuka, Ustadz Eman Sar’an selalu
menyempatkan dirinya untuk hadir. Kegiatan – kegiatan inilah yang menambah
wawasan keislamannya, hingga ia dikenal sebagai muballigh yang tangguh bahkan
membawanya sebagai Ketua Dewan Hisbah PP. Persis, meskipun tidak pernah
mengalami pendidikan di pesantren Persis secara formal.
Aktifitas Persis Sepanjang Hayat
Sebagai aktivitas Persis dimasa muda, Ustadz Eman memulainya dari
organisasi Pemuda Persis generasi awal. Ketika Pemuda Persis didirikan di
Bandung tanggal 22 Maret 1936, berdasarkan musyawarah diantara kaum muda Persis
itu, diangkatlah Djoedjoe Danuwikarta sebagai ketuanya dan dibantu oleh Eman
Sar’an, Rusyad Nurdin, E. Bahrudin, dan lain – lain.
Aktivitas Pemuda Persis generasi awal tidak hanya bergelut dalam masalah
– masalah pemikiran, dakwah bil lisan, akan tetapi lebih ditekankan dalam
aktivitas dakwah bil hal. Menurut penuturan Ustadz Eman Sar’an, kami para
pemuda tidak bisa tinggal diam melihat berbagai kemunkaran di depan mata kami.
Kami pernah memimpin sebuah aksi melarang praktik dansa – dansi di kalangan
muda – mudi kota Bandung di tahun empat puluhan.
Ketika itu tanggal 17 Januari 1940. Murid – murid MOSVIA, sekolah pamong
praja, merayakan ulang tahun sekolahnya yang ke 61 di Gedung Concordia (Gedung
Merdeka sekarang). Dalam acara ini ternyata diisi dengan acara melantai (dansa)
semalam suntuk. Acara ini dipandang oleh kami sebagai perbuatan oleh kami
sebagai perbuatan tidak bermoral yang akan merusak generasi muda saat itu.
Sebagai aktivis Pemuda Persis, Ustadz Eman Sar’an bersama Pak Rusyad Nurdin
membentuk “Komite Pembela Kesopanan” dengan tugas utama mengadakan rapat umum
membahas persoalan dansa dilihat dari agama dan perjuangan bangsa. Rapat itu berlangsung tanggal 4 Februari 1940
di Gedung “Himpunan Soedara” di Jalan Dalem Kaum, yang diikuti oleh 44
organisasi dan dipimpin lasngsung oleh Ustadz Eman Sar’an dan Pak Rusyad. Rapat
Umum tersebut berhasil melarang praktik dansa – dansa di kota Bandung.
Sejak itu ia tertarik dalam dunia dakwah Islam. Di usia 20 tahunan Ustadz
Eman Sar’an mulai memberanikan diri tampil dalam khotbah – khotbah jum’at
berbagai pengajian dan kegiatan dakwah lainnya. Meskipun saya tidak pernah
berpendidikan pesatren, dan pekerjaan saya sebagai pegawai negeri, tapi tidak
menghalangi niat saya untuk berdakwah. Sebagi seorang da’i muda, ia dikenal
keras dalam menyampaikan pandangannya, menyuarakan Islam tanpa tedeng aling –
aling.
Sebagai aktivis Persis, Ustadz Eman Sar’an aktif di tingkat Pimpinan
Pusat Persis. Pada Muktamar kedelapan yang diselenggarakan di Bandung tanggal
25 – 27 Nopember 1967 di Bandung, Ustadz Eman diminta oleh Ustadz Abdurrahman
yang terpilih sebagai Ketua Umum Pusat Pimpinan Persis untuk menduduki jabatan
Ketua II (1967 – 1981). Jabatan ini tetap dipercayakan kepadanya pada Muakhot
Persis tanggal 16 – 18 Januari 1981 (1981 – 1987). Pada masa kepemimpinan
Ustadz Latief Mukhtar, melalui Muktamar X di Garut tanggal 6 – 8 Mei 1990
Ustadz Eman Sar’an dipercaya menduduki jabatan yang sangat strategis untuk
fatwa dan hukum Islam yakni sebagai Ketua Dewan Hisbah (1995 – 2000). Pada masa
Ustadz Eman Sar’an sebagai Ketua Dewan Hisbah inilah dimuculkan masalah –
masalah fiqih kontemporer, tidak hanya masalah – masalah ibadah semata. Jabatan
terakhir di Persis yang ia jabat hingga akhir hayatnya adalah sebagai Ketua
Majelis Penasihat PP. Persis yang dipilih langsung oleh Muktamar pada Muktamar
Persis ke XII di Jakarta tanggal 9 – 11 September 2000 hingga akhir hayatnya.
Tokoh Persis di Jakarta
Pada masa pemerintahan Orde Lama bersama – sama Pak Rusyad, Ustadz Eman
Sar’an selain aktif sebagai aktivis dakwah, juga aktif dalam berbagai kegiatan
politik. Di masa orde lama inilah aktivitas Ustadz Eman Sar’an lebih banyak di
Jakarta, Karena tuntutan pekerjaannya sebagai karyawan Departemen Kesehatan RI
hingga ia pension. Meskipun demikian, ternyata Jakarta merupakan medan baru
yang menurutnya lebih menantang. Di Ibu kota inilah Ustadz Eman Sar’an memulai
aktivitas dakwahnya menyebarkan Al – Qur’an dan Sunnah. Sebuah keberanian yang
tiada taranya untuk mengibarkan Persis di belantara ibu kota pada masa itu.
Setiap hari, selepas pekerjaan dinasnya, ia berkeliling di sudut – sudut kota
Jakarta untuk berdakwah, tiada hari tanpa dakwah. Atas usahanya inilah lambat
laun terbentuklah cabang – cabang Persis di Jakarta bahkan beridiri Pesantren
Persatuan Islam di Kramat Asem kini dipimpin oleh Putranya Drs. H.M Fauzi
Nurwahid.
Meskipun demikian, ketegasannya dalam bersikap untuk kepentingan
jam’iyyah telah memaksa orang – orang yang tidak sependapat dengan pemikirannya
--- yang senantiasa mengedepankan kepentingan jam’iyyah – untuk memisahkan diri
dari Persis Prinsip Ustadz Eman Sar’an bergitu tegas, tidak ada kesempatan bagi
orang – orang yang berniat untuk memanfaatkan Persis untuk peribadinya. Ia
dengan tegas mengingatkannya, bila perlu memecatnya.
Di usianya yang lebih dari 80 tahun dengan semangat yang tak kenal tua
itu Ustadz Eman Sar’an senantiasa hadir memenuhi undangan PP. Persis dalam
berbagai kegiatan. Meski dilarang oleh putra – putrinya, mengingat usianya yang
sudah lanjut, beliau tetap memaksakan diri untuk hadir memberikan tausiyah kepada
pimpinan Persis. Ketika terbaring sakit pun menjelang wafatnya, beliau masih
mengingatkan pentingnya perjuangan Persis.
Siapapun yang mengenal Ustadz Eman Sar’an, akan tertarik oleh tuturan
perjuangannya di jam’iyyah Persis, tanpa kenal lelah, tanpa mengenal usia,
curahan perhatian dan pemikirannya dicurahkan untuk kemajuan jam’iyyah. Teladan
kepribadian yang sederhana, keteguhan sikap memperjuangkan Qur’an Sunnah,
konsistensi sikap istiqomah dijalur jam’iyyah, ketawadhuan, kejernihan
berfikir, keulamaan, dan kemampuan intelektualnya, serta perjuangan yang tak
kenal lelah sampai akhir hayatnya patut ditiru oleh generasi muda Persis,
sebagai suri teladan yang sangat baik dalam diri Ustadz Eman Sar’an, pejuang
Qur’an Sunnah hingga akhir hayatnya. Beliau wafat di Jakarta pada tanggal 23
Juni 2002 dalam usia 86 tahun dan dimakamkan di Garut. Seluruh kehidupannya
dicurahkan untuk perjuangan Qur’an Sunnah melalui jami’yyah Persis.
In
memoriam Ustadz Entang Mukhhtar ZA
Berjalan di antara Dua Karang
Malam Jam 01.15 tanggal 21 April 2009 M,
Ustadz Entang Moechtar, ZA di panggil oleh Allah swt. Dari sejak dini hari
orang – orang sudah banyak yang menjenguk dan menshalatkannya.
Hamparan orang – orang yang mengantarkannya
ke peristirahatan terakhir pun begitu panjang. Ketua Jam’iyyah PP. Persis yang
menjadi Ketua Pertama Himmatul ‘Alimin (cikal bakal Hima Persis) dan Ketua PP.
Pemuda Persis 1990 – 1995 itu pergi dengan tenang meningalkan istri; Hj. Euis
Nurlela, S.Pd (51) dan empat orang putra; Barikli Mubaroka, S.Sos.I (26),
Syafikli Musyafako (23), Millati Mustaqima (19), fsm Rofiqly Taifiq (17).
Di medio 1970-an jamaah Persatuan Islam (Persis) mempunyai dua orientasi.
Orientasi pertama, pada dunia pergerakan, khususnya dunia politik, yang
dimotori oleh (almarhum) Ustadz Rudyad Nurdin. Orientasi kedua, pada dunia
pendidikan, yang diimotori oleh (almarhum) Ustadz Abdurrahman. Keduanya
berjalin dan berkelindan, bersatu dalam keterpisahan, bak air dan minyak.
Tak sedikit kader muda Persis, yang harus mengambil opsi, satu diantara
keduanya. Namun, Ustadz Entang tidak terjebak dalam opsi pilihan satu
diantaranya. Ustadz Entang memilih keduanya, menyatukan keterpisahan, berusaha
menjadi perekat diantara sekat – sekat. Pilihan Ustad Entang, bukan opsi yang
mudah. Represi dan devide at impera
menjadi bagian program rezim Orde Baru, untuk menguasai kekuatan politik Islam.
Implikasi program ini, maka banyak fitnah beredar di kalangan umat. Di tengah
pilihan yang sulit, Ustadz Entang selamat dari berbagai fitnah. Di Persis sangat
diakui, di dunia pergerakan tak dicuriga. Berjalan diantara dua karang,
memerlukan kepiawaian tersendiri. Ustadz Entang mempu melakukan komunikasi
dengan piawai dan juga bergaul yang luwes, sehingga mampu berjalan di antara
dua karang.
Sang Pencari Ilmu
Shalat shubuh berjama’ah beru saja usai, tak lama kemudian tampak seorang
bocah telihat tengah mengayuh sepeda di tengah kegelapan shubuh. Beceknya
jalan, gelapnya shubuh serta dinginnya udara pegunungan, tak menyurutkan
tekadnya untuk mengayuh sepeda menelusuri jalan bebatuan sepanjang dua
kilometer.
Sesampainya di Warung Peuteuy, rumah sahabatnya, bocah kelahiran 20 April
1953 berganti sepeda, kini di bonceng sahabatnya Endut Saefudin sepanjang tujuh
kilometer menuju Pesantren Persis Rancabogo, Garut, yang pada saat itu di bawah
Pimpinan Ustadz Zaenudin. Pesantren Persis pada pertengahan 1965 hanya ada
satu, yaitu Pesantren Rancabogo yang letaknya tidak jauh dari Pesantren Persis
Rancabogo sekarang.
Saat itu, tutur Ustadz Endut, sahabat karib Ustadz Entang, system belajar
tidak seperti sekarang, waktu yang hanya belajar hanya satu angkatan. Tak lama
kemudian, tempat belajar kami dipindahkan oleh Ustadz Zaenudin ke Bentar, yang
berarti menambah jarak tempuh sepanjang 2,5 kilometer. Hal ini tak menyurutkan
semangat belajar kami. “Ku ana unggal poe Ustadz Entang dibonceng kana sapeda
ontel”, kenang Ustadz Endut.
Saat Entang kecil kelas 2 Tsanwiyyah, tahun 1969, pindah ke Bandung melanjutkan
belajar di Pesantren Persis Pajagalan, di bawah pimpinan Ustadz Abdurrahman.
Entang kecil, waktu itu di Situaksan, tinggal bersama pamannya Mang Dadang.
Situaksan
jugalah yang mempunyai andil besar membawa Ustadz Entang dalam dunia pergerakan
Islam. Saat itu sesepuh PC. Persis di sana
adalah Abah Emen, kakak almarhum Ustadz Latief Muchtar, dan masih terbilang
Paman (Uwa) dari Ustadz Entang. Abah Emen mempunyai hubungan emosional yang
sangat dekat dengan Ustadz Rusyad Nurdin.
Demikian juga dengan lingkungan tetanga, Danu Muhammad Hasan, orang tua
Hilmi Aminudin (Ketua Dewan Syura PKS) adalah teman diskusi Entang Muda. Hingga
suatu hari pak Danu pernah mengatakan, “Entang merupakan kader potensi masa
depan”, ungkapan Ustadz Makmur Hasanudin, mengenangkan.
Aktifis Pergerakan Islam
Lingkungan Situaksan yang begitu beragam membawa Entang remaja pada
brebagai aktifitas gerakan Islam. Tahun 1973, “dimana Entang baru menginjak
kelas satu mu’allimin sudah ikut demonstrasi ke Jakarta, bersama Mursalin Dahlan”, kenang
Ustadz Makmur.
Di situaksan,
tepatnya di masjid Al – Furqon Entang remaja berkenalan dengan organisasi
Pelajar Islam Indonesia (PII). Di kelas dua mu’allimin (1974), Entang remaja
menjadi Ketua Komisariat Pelajar Islam Indonesia (PII), bahkan Ciparay. Di
Bandung Barat, Komisariat inilah yang paling aktif mengadakan berbagai kegiatan
mulai traning, pengajian dll. “Sebab suasananya kondusif, banyak para tokoh,
ghirah keislaman yang relatif sama”, ungkap Makmur.
Lebih jauh,
keterlibatan Entang muda dalam dunia pergerakan semakin mendalam. Hal ini
terjadi setelah Entang mudamengikuti pembinaan muballigh yang diadakan PC
Persis di Situaksan. Di situlah Entang muda mulai berinteraksi dengan Bang
Imad, Muchtar Adam, Endang Saefudin Anshari, dll. Sejak saat itu pula, mulai
ada ketertarikan Entang muda dengan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
Terinspirasi oleh Pembinaan muballigh, Entang muda bersama Ayat Hidayat,
Dedi Rahman serta Obar Sobarna mengadakan acara Pesantren Kilat di Pajagalan.
Pesantren Kilat saat itu, masih terbilang langka, maka acara tersebut cukup
menimbulkan kehebohan. Tak selesai sampai di sini Entang muda dkk. Mengumpulkan
alumni senior Persis diantaranya Endang Saefudin Anshari, Yusuf Amir Faisal
dll, di Pajagalan. Hal ini mengundang teguran orang tua.
Tiga sekawan (Entang Muchtar, Obar Sobarna dan Ayat Hidayat). Dipanggil
Ustadz Abdurrahman. Namun untuk menjaga komunikasi yang baik, maka disepakati
Ayat Hidayat untuk menghadap Ustadz Abdurrahman. Ditunjuknya Ayat sebagai
perwakilan, sebab Ayat sering tidur dirumah Ustadz Abdurrahman dan sangat akrab
dengan Dedi Rahman, “Ana mah sabantal jeung Dedi”, aku Ustadz Ayat.
Pergaulan Entang
muda dengan berbagai kalangan, membawa dampak positif bagi Entang muda. Entang
muda mempunyai bacaan yang sangat luas, “pertama kali ana dengar nama Hasan al
– Banna, tokoh pergerakan Ikhwanul Muslimin, dari Ustadz Entang”, kenang
Makmur. Bacaan yang luas inilah yang membawa Entang muda menjadi tokoh HMI di
IAIN Sunan Gunung Djati.
Dunia Mahasiswa dan HMI
Posisi dilema
dihadapi Entang muda. Tahun 1975 selesai Mu’alimin, Ustadz Abdurrahman
berwasiat, “Kalau mau mencari ilmu di masyarakat juga banyak”, kenang Ayat.
Dengan kata lain, kalau tidak perlu masuk perguruan tinggi, untuk apa masuk
perguruan tinggi. Untuk mendapatkan ilmu, dengan membina masyarakat ilmu akan
didapat.
Namun pada saat
itu Ustadz Latief Muchtar sudah menjadi orang penting di IAIN. “Jeung ana wae”,
ka Ustadz Latief, mengajak Entang muda, seperti ditirukan Ustadz Ayat. Dengan
diantar Ayat, Entang muda mendaftarkan diri ke IAIN, dengan menggunakan Ijazah
Pesantren. Hal ini dapat dilakukan sebab waktu itu IAIN memerlukan banyak
mahasiswa.
Entang muda saat
itu masuk Fakultas Ushuludin, jurusan dakwah Tahun 1975. Dengan berbekal
pengalaman di PII dan pembinaan muballigh, Entang muda bersama Zaenal Abidin,
Supriadi Sambas, Abdul Muis dan (almarhum) Syamsudin memprakarsai membuat
komisariat HMI di IAIN.
Jiwa aktifis
dalam diri Entang muda membawanya tidak hanya pada satu pergerakan, namun aktif
di berbagai gerakan. Di kampus Entang muda tidak hanya aktif di HMI, namun juga
di Dewan Mahasiswa. “Di HMI jabatan yang dipegang Entang sebagai ketua
kaderisasi, sedangkan di Dewan Mahasiswa sebagai ketua Pengembangan
Intelektual”, kenang Muis. Entang muda pada saat itu paling dikenal sebagai
orang yang paling mempunyai dalam pengetahuan agama, oleh sebab itu, dalam
setiap pengkaderan Ustadz Entang adalah pengisi materi Tauhid.
Sadar akan
luasnya ilmu pengetahuan, Entang muda tidak hanya aktif memberikan training,
namun aktif juga sebagai peserta training. “Training di Salman ITB di bawah
bimbingan Imanuddin Abdurahim dan Endang Saefudin Anshari sempat diikuti Entang
muda. Demikian juga dengan Basic dan Intermediate Training HMI di Citaliktik,
tahun 1978”, kenang Muis.
Sikap Entang
muda sebagai aktivis, saat itu sangat tegas. Persaingan antar mahasiswa ketika
itu sangat keras, terutama di Dewan Mahasiswa. Dewan mahasiswa yang dengan
susah payah dipertahankan dari pembubaran oleh Daud Yusuf, diambil alih oleh
mahasiswa PMII. Karuan saja ini menimbulkan konflik hingga bentrok fisik. Kami
(Zaenal Abidin, Supriadi Sambas, Abdul Muis dan [almarhum] Syamsudin) saat itu,
tak berani bentrok fisik dengan mahasiswa lain. Saat itulah Entang muda pasang
badan, “Halik jeung aing gelut mah”, kata Entang muda penuh berapi, seperti
ditirukan Muis.
Ketegasan dan
keberanian Entang muda saat itu menonjol, sehingga ketika peristiwa NKK/BKK
Entang muda merupakan target operasi laksus. “Namun beruntung, Nanat (sekarang
rektor UIN Bandung) sebagai ketua Dewan Mahasiswa lebih dulu kena tangkap,
sehingga pengurus lain tidak dicari lagi”, kenang Abdul Muis.
Selain sebagai
orang tegas, Entang muda hingga akhir hayat adalah orang yang setia pada
persahabatan ‘friendship’ meski
berbeda pandangan kritiknya selalu dikemas dengan humor. “Saat itu, saya sudah
memperoleh gelar BA dan masuk pegawai negeri. Entang muda waktu itu tidak
setuju dengan saya masuk jadi PNS. Maka setiap ketemu, “Is, kumaha beas Dolog
teh, ngenah?” sapanya sambil tertawa.
Kiprah Pemuda Persis
Pada Muktamar
1990, Ustadz Entang terpilih sebagai Ketua Umum Pemuda Persatuan Islam
(Persis). Dalam berbagai rapat internal Pemuda, Ustadz Entang mengemukakan
bahwa kualitas keilmuan Pemuda Persis meski ditingkatkan, karena itu perlu
dirumuskan program kaderisasi, sebab memang program kaderisasi ini belum ada
sebelumnya. Maka lahirlah program kaderisasi Tafiq (Tazwidu Fityanil Qur’an), yang kemudian di sempurnakan oleh Tasykil
PP. Pemuda 2005 – 2010.
Selain peningkatan yang bersifat kualitatif, Ustadz
Entang juga memikirkan peningkatan kuantitas angota Pemuda Persis. Untuk
peningkatan mobiltas Pemuda Persis secara kuantitatif, maka Ustadz Entang
merekrut hamper semua angkatan, mulai dari senior sampai dengan yang palin
mudsa.
Perekrutan besar
– besaran yang dilakukan Ustadz Entang dalam rangka menggalang potensi anak –
anak muda. “Ini merupkan kejelian beliau dalam melihat semua potensi”, ujar
Taufiq Ridho. Pada kepemimpinannya oraganisasi diperlakukan secara modern.
Meski sebagian pengurus adalah muridnya, namun manajemen oraganisasi dilakukan
secara professional. Dengan kata lain, Ustadz Entang tidak menggunakan
manajemen feudal yaitu mengandalkan kedekatan Ustadz terhadap santri. Tak hanya
itu, yang paling berkesan dari Ustadz Entang selalu memebri kepercayaan yang
penuh kepada pengurus yang lain.
Selain aktif di
Persis secara structural, Ustadz Entang juga tetap menjaga silaturahmi dengan
Ustadz Rusyad Nurdin. Hal ini diartikulasikan Ustadz Entang dengan aktif di
Perwakilan Dewan Dakwah Jawa Barat. Keterlibatannya dengan Dewan Dakwah
dilakukan sejak 1978, ketika masih mahasiswa. Disamping itu, Ustadz Entang juga
aktif sebagai redaktur majalah Bina Da’wah (majalah berbahasa sunda) yang
diterbitkan Dewan Dakwah.
Kiprah Dalam Dunia Pendidikan
Setinggi –
tinggi bangau terbang pasti akan kembali kesarangnya. Peribahasa ini sangat
tepat untuk menggambarkan perantauan Ustadz Entang. Setelah malang melintang di berbagai pergerakan,
akhirnya Ustadz Entang kembali ke Pesantren Bentar untuk mengajar, tepatnya 7
Juli 1982.
Satu dekade
kemudian, tahun ajaran 1994 – 1995, Ustadz Entang diamanahi untuk menjadi Mudir
Pesantren Bentar. Selama kepemimpinannya sebagai Mudir, banyak terobosan
dilakukan Ustadz Entang. Di antaranya yang paling mendasar adalah menjadikan
Pesantren Persis Bentar milik jami’yyah, meski dari sisi kemandirian masih
dalam proses panjang. Ustadz Entang selalu menegaskan bahwa “Pesantren harus
mandiri secara kurikulum dan keuangan dari pemerintah”, uncap Yudi, mengulang
perkataan Ustadz Entang.
Seperti ketika
memimppin Pemuda Persis, Ustadz Entang memimpin Pesantren dengan manajemen
modern. Ustadz Entang lebih membangun otoritas system dengan mengoptimalkan
fungsi mudir satuan, disbanding otoritas simbolik dirinya. Selain itu, Ustadz
Entang membuka program bimbingan khsusu qiroatul
kitab dan tahsin tilawah. Para asatidz diberikan kebebesan untuk membuka kitab
secara leluasa.
Terobosan
program yang dilakukan Ustadz Entang akibatnya dapat langsung dirasakan. Santri
Pesantren Bentar dapat menjuarai Olimpiade Nahwu se-Garut, juara pertama Lomba
Karya Tulis LKSPPI se-Jabar dan DKI, Juara I Pidato Bahasa Arab JPRMI Kab.
Garut, 2005.
Namun sejak 2004
Ustadz Entang sudah mulai sakit – sakitan. Pada Muktamar Persis 2005 Ustadz
Entang diangkat menjadi Ketua Penitia Muktamar. Meski keadaannya sudah sakit –
sakitan namun Muktamar berjalan sukses. Sejak 2007, sakit Ustadz Entang semakin parah, dokter memvonis
Ustadz Entang mengalami gangguan ginjal dan harus cuci darah dua kali seminggu.
Pada 11 April
2009, setelah PP. Pemuda Persis mengadakan temu dialaog dengan para kader
alumni Timur Tengah di STAIPI Garut, penulis berkesempatan menjenguk Ustadz
Entang yang berbaring dirumah sakit, Garut.”Ay hampura Ana, mana si Bapa?
Bejakeun hampura ti Ana”, sapa Ustadz Entang. Dengan memberanikan diri penulis
ke telinga Ustadz Entang, penulis katakan, “Ustadz sing tenang, sekarang Ustadz
sudah banyak kader yang siap meneruskan perjuangan Ustadz, untuk menegakkan
syri’at Islam sesuai dengan tuntunan Qur’an dan Sunnah. Kita baru selesai
melaksanakan kaderisasi Tafiq II di Lembang”, “ Kitu, syukur” jawab Ustadz
Entang sambil menatap wajah penulis dengan mencucurkan air mata.
Itulah tatapan
terakhir dari sang guru pada muridnya, air mata yang berlinang adalah air mata
kebahagiaan , berita yang dinantinya akhirnya sampai juga. Proses kaderisasi
dapat dilanjutkan oleh para muridnya. Selamat jalan ustadz, semoga tidur
panjangmu bersama berita terakhir yang membahagiakan. Do’a kami tak pernah
putus menyertaimu. Kami muridmu siap melanjutkan perjuanganmu.
Oleh: Hadi Nur Ramadhan
0 komentar:
Posting Komentar