Sebahagian di
kalangan aktivis Jalan Kramat Raya No 45 Jakarta Pusat sudah tidak asing lagi,
karena dahulu merupakan pusat berkumpulnya para tokoh-tokoh Masyumi, seperti; M Natsir, Prawoto
Mangkusasmito, Hamka, Rusyad Nurdin, Moh Roem, Syafruddin Prawiranegara, H.M
Rasjidi, Kasman Singodimedjo, dan sebagainya. Tepatnya sekitar lima tahun yang lalu, dalam suatu obrolan
santai, tiba-tiba seorang teman nyeletuk: “Mau tahu nggak cara gampang
menjadi tokoh tenar?” “apa?’’ Tanya beberapa dari kami. “gampang, jualan
umat saja”, katanya sambil tertawa. Kami pun lantas ikut tergelak mendengar
‘guyonan’ tersebut.
Namun, benarkah ungkapan
diatas sekedar guyonan belaka? Bila kita mencermati berbagai peristiwa mutakhir
yang terjadi sambung menyambung, nampaknya tidak. Meski diucapkan sambil
tertawa, pernyataan tersebut sesungguhnya mencerminkan dua hal sekaligus. Pertama,
fenomena “Jualan umat” itu memang sedang dan bahkan sudah lama terjadi. Kedua,
fenomena itu adalah sesuatu yang amat pahit, karena itu lebih enak tampil
berupa guyonan. Dengan cara itu, kepahitan itu dirasakan sedikit berkurang.
Persis seperti orang Betawi yang menjadikan gurau sebagai canda dan perlawanan
terhadap penggusuran habis-habisan yang mereka alami.
Jualan umat,
tentu tidak dapat dilepaskan dari simbol-simbol Islam. Sebab, hanya Islamlah
identitas yang mampu mengikat umat dari beragam suku dan budaya menjadi satu.
Karena itu, tak heran bila para ‘pedagang’ umat selalu menjadikan simbol-simbol
Islam sebagai merek dagang unggulan. Dari simbol-simbol fisik seperti bendera
dan papan nama, sampai retorika dan isu. Apalagi eksploitasi simbol dan isu
yang berbau Islam itu terbukti ampuh membangkitkan sentimen umat Islam.
Tujuannya satu: meraih kedudukan, pangkat, ketenaran, dan umumnya kekayaan.
Maka Islam dan umat Islam tak lebih sekedar dijadikan alat untuk mencapai
tujuan.
Celakanya, tak
mudah mengenali jati diri para pedagang umat itu. Sebab, dalam hampir semua
peristiwa, mereka tampil bak pejuang sejati. Pidato dan retorikanya penuh
ungkapan pembelaan terhadap Islam dan Muslimin. Bahkan ditumbuhkan kesan
merekalah orang yang paling peduli dengan Islam dan umat. Untuk lebih
meyakinkan khalayak, merekapun bergabung dalam lembaga-lembaga sosial atau
politik bernuansa Islam atau rajin menyebut-nyebut kedekatannya dengan ‘ulama
dan tokoh tertentu yang dikenal luas sebagai pemimpin umat.
Identifikasi
menjadi kian sulit lantaran tak sedikit dari mereka yang sewaktu muda memang
dikenal sebagai aktivis Islam atau keturunan maupun kerabat dekat para ‘ulama
dan pemimpin Islam. Pendeknya, mereka punya modal cukup untuk tampil sebagai
‘pejuang’ Islam sejati, dan karenanya mendapat kepercayaan dari umat. Dan
dengan kepercayaan yang berhasil diraihnya itu, ia mempunyai bargaining position
(posisi tawar) yang cukup kuat untuk meraih kursi, kedudukan atau kekayaan.
Lantas, bisakah kita mengenali mereka? “Bisa”, begitu pandangan Ustadz
Shiddiq Amien Allahuyarham ketika menyampaikan pesan pada peserta daurah du’at beberapa
waktu sebelum kewafatanya. Untuk mengenali apakah seseorang itu benar-benar
pejuang Islam sejati atau sekedar Islam slogan, ustadz yang sosoknya seperti KH.
E Abdurrahman Allahuyarham itu memberikan beberapa resep.
Pertama, lihat
sholatnya. Seorang pejuang Islam sejati pasti akan senantiasa memelihara
shalatnya. Ia akan selalu berusaha menyempatkan diri sholat tepat pada waktunya.
Seperti pesan Ustadz Hasan Al-Banna “Berdirilah sholat ketika engkau
mendengar panggilan, apapun situasinya”. Setidak-tidaknya, ia berusaha keras
untuk memenuhi pesan itu. Jadi, sambung ustadz itu, kalau ada orang yang
mengesankan pejuang Islam, tapi bermalas-malasan menunaikan shalat, apalagi
sholatnya sering bolong bolong, maka patut diragukan kesejatiannya. Karena,
bukankah sholat itu amalan pertama yang kelak akan dihisab Allah Swt dihari
kiamat?
Kedua, periksa
kedekatannya dengan Al-Qur’an. Apakah ia dapat membaca Al-Qur’an atau tidak,
dan seberapa kerap ia membaca kitab suci itu. Pejuang Islam sejati pasti dapat
membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar, sekurang-kurangnya selalu berupaya
keras kearah itu. Disisi lain, seorang pejuang Islam sejati tentu akan berusaha
sesering kali membaca Al-Qur’an (termasuk
maknanya), karena Al-Qur’an itulah sumber petunjuk dan inspirasinya. Jadi kalau
seseorang islam mengaku pejuang islam, tapi tak berusaha keras dapat membaca
Al-Qur’an dengan baik, atau malas membacanya, patut dipertanyakan
kesejatiannya. Sebab, bagaimana mungkin ia memperjuangkan islam sedangkan
dirinya sendiri jauh dari rujukan utama islam itu sendiri. Padahal Allah SWT
telah menegaskan “Dan sungguh telah kami mudahkan Al-Qur’an itu untuk
pelajaran”. Penegasan Allah Swt itu dinyatakan empat kali berturut-turut
dalam Q.S Al-Qamar; 17, 22, 32, dan 40.
Ketiga, periksa apakah
bisnis dan sumber ekonominya berkaitan dengan riba dan sesuatu yang diharamkan
Islam. Seorang pejuang Islam sejati tak ingin hartanya bercampur dengan sesuatu
yang haram, baik menyangkut esensi maupun cara. Ia sadar benar, sesuatu yang
haram atau didapat dengan cara haram-seperti riba, suap, korupsi—itu semua
hanya membuat do’anya terhalang sampai kepada Allah Swt. Dan kalau do’anya tak
sampai kepada Allah, bagaimana mungkin ia mendapat pertolongan Allah? Padahal,
usaha memperjuangkan Islam bakal berhadapan dengan sederet kendala, ujian, dan
cobaan. Dan hanya Allah Swt saja yang dapat menolong mengatasi segala kesulitan
dan rintangan tersebut. Sedangkan pertolongan Allah akan datang melalui do’a
yang dilantunkan hamba-Nya.
Keempat, lihat kehidupan
keluarganya. Apakah sudah sesuai dengan tuntunan Islam atau tidak. Setidaknya berusaha
mewujudkan nilai-nilai Islam. Kehidupan keluarga ini bisa dilihat dari cara
mendidik anak, cara berpakaian, serta gaya hidup. Seorang pejuang Islam sejati
tak akan hidup bermewah-mewahan, karena ia tahu bahwa itu prilaku setan.
Apalagi, ia tahu persis jutaan saudaranya hidup miskin dan nestapa. Jadi kalau
ada seseorang yang mengaku pejuang Islam, tetapi bergaya hidup boros dan mewah,
patut diragukan kesejatiannya.
Kelima, periksa Track
Recordnya (catatan prestasi dan aktivitasnya). Adakah ia seorang yang sejak
awal tak pernah putus dari barisan Islam, atau sosok yang ujug-ujug nongol
ke permukaan. Kalau ia seorang pendatang baru, teliti dengan seksama apakah ia
sudah benar-benar bertaubat dari kesalahan. Caranya, periksa lima kriteria
diatas, orang yang benar-benar bertaubat pasi akan berusaha keras meninggalkan
segala prilaku buruknya. Bahkan dalam banyak hal, amal dan kesengguhan seorang
“Muallaf” jauh lebih ketimbang orang lama. Maka, kalau ada pendatang baru,
sementara kelakuannya tak berubah dari lagu lama, patut diwaspadai.
Meski belum
lengkap, kelima tolak ukur diatas agaknya cukup valid untuk memeriksa apakah
seseorang itu pejuang umat atau pedagang umat. Lalu pertanyaannya: Termasuk
yang manakah kita? Wallahu a’lam bishshawab.
sumber: Hadi Nur Ramdhan
0 komentar:
Posting Komentar