SEJARAH & SYARIAH ZAKAT FITRAH
Selama 13 tahun hidup di Mekah sebelum hijrah, Nabi Muhamad telah 13 kali mengalami Ramadhan, yaitu dimulai dari Ramadhan tahun ke-41 kelahiran Nabi yang bertepatan bulan Agustus 610 M, hingga Ramadhan tahun ke-53 dari kelahirannya yang bertepatan dengan bulan April tahun 622 M. Namun selama waktu itu belum disyariatkan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah bagi kaum muslimin, dan Iedul fitrinya juga belum ada/belum disyariatkan.
|
Selama 13 tahun hidup di Mekah sebelum hijrah, Nabi Muhamad telah 13 kali mengalami Ramadhan, yaitu dimulai dari Ramadhan tahun ke-41 kelahiran Nabi yang bertepatan bulan Agustus 610 M, hingga Ramadhan tahun ke-53 dari kelahirannya yang bertepatan dengan bulan April tahun 622 M. Namun selama waktu itu belum disyariatkan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah bagi kaum muslimin, dan Iedul fitrinya juga belum ada/belum disyariatkan.
Setelah Nabi hijrah ke
Madinah, dan menetap selama 17 bulan di sana, maka turunlah ayat 183-184
al-Baqarah pada bulan Sya’ban tahun ke-2 H, sebagai dasar disyariatkannya shaum
bulan Ramadhan. Tak lama setelah itu, dalam bulan Ramadhan tahun itu pula mulai
diwajibkan zakat kepada kaum muslimin, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Umar
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ
زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا
مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ
الْمُسْلِمِينَ – رواه مسلم -
Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah saw.
telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan atas orang-orang sebesar 1
sha’ kurma, atau 1 sha’ gandum, wajib atas orang merdeka, hamba sahaya,
laki-laki dan perempuan, dari kaum muslimin” H.r. Muslim
Zakat ini
kemudian populer dengan sebutan zakat fitrah.
Pengertian
Zakat
Zakat berasal dari kata zaka yang berarti
suci, baik, berkah, tumbuh, atau berkembang. Menurut terminologi syariat
(istilah), zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah
swt. untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan
persyaratan tertentu pula. Firman Allah
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَسَكَنٌ
لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu
itu(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. Q.s. At-Taubah:103
Maksud zakat membersihkan itu adalah
membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta
benda. Sedangkan maksud zakat menyucikan itu adalah menyuburkan
sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan mengembangkan harta benda mereka.
Pengertian
Fitrah
Dalam Alquran kata fitrah dalam berbagai
bentuknya disebut sebanyak 28 kali, 14 di antaranya berhubungan dengan
bumi dan langit. Sisanya berhubungan dengan penciptaan manusia, baik dari sisi
pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang
fitrah manusia.Sehubungan dengan itu Allah berfirman pada surat Ar rum ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِحَنِيفًا
فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَلِخَلْقِ
اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَايَعْلَمُونَ
"Maka
hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada agama itu, yakni fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia atas fitrah itu.Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya."
Pada ayat lain diterangkan kronologis
peristiwanya:
وَإِذْأَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ
ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىأَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ
بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَالْقِيَامَةِ إِنَّا
كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" Q.s. Al-A'raf:172
Peristiwa ini memberikan gambaran bahwa sejak
diciptakan manusia itu telah membawa potensi beragama yang lurus, yaitu
bertauhid (mengesakan Allah). Keadaan inilah yang disebut al-fitrah. Sehubungan
dengan itu Nabi saw. bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلىَ
الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُيُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ -
رواه البخاري -
Setiap
manusia dilahirkan atas fitrahnya, maka kedua orang tuanya yang menjadikan dia
Yahudi, Nashrani, atau Majusi.
H.R. Al-Bukhari.
Selain
menyebut istilah, Nabi pun menetapkan beberapa aturan zakat yang amat penting
diperhatikan oleh kaum muslimin, sebagai berikut:
Pertama; Muzakki Zakat Fitrah/yang terkena
kewajiban
Zakat
fitrah wajib dikeluarkan oleh setiap orang muslim. Bagi mereka yang berada
dibawah tanggungan orang lain, maka zakatnya menjadi kewajiban penanggungnya,
baik ia seorang pembantu rumah tangga, seorang dewasa, ataupun seorang
kanak-kanak, bahkan bayi yang telah bernyawa, yang masih didalam rahim,
semuanya wajib mengeluarkan zakat fitrahnya, baik dari hartanya sendiri,
ataupun oleh penanggung yang bertanggung jawab atasnya.
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari diterangkan
قَالَ ابْنُ عُمَرَ : فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ
شَعِيْرٍ عَلَى اْلعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَىْ وَالصَّغِيْرِ
وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَاَمَرَ اَنْ تُؤَدَّي قَبْلَ خُرُوْجِ
النَّاسِ اِلَى الصَّلاَةِ- رواه البخاري -
Ibnu
Umar mengatakan, "Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu sha' dari
kurma, atau satu sha dari syair (gandum) atas hamba sahaya, orang yang merdeka,
laki-laki, perempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan muslimin. Dan beliau
memerintahkan untuk ditunaikan sebelum
orang-orang keluar melaksanakan shalat ied. H.R. Al-Bukhari
Sesungguhnya Usman bin Afan
memberikan zakat fitrah dari bayi yang dikandung. Mushannaf Ibnu Abu Syaibah,
II:432
Demikian pula diterangkan
oleh Abu Qilabah
عَنْ
أَبِيْ قِلاَبَةَ قَالَ كَانَ يُعْجِبُهُمْ أَنْ يُعْطُوْا زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنِ
الصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ حَتَّى عَلَى الْحَبْلِ فِي بَطْنِ أُمِّهِ
Dari Abu Qilabah, ia berkata, “Adalah menjadi
perhatian mereka (para sahabat) untuk mengeluarkan/memberikan zakat fitrah dari
anak kecil, dewasa, bahkan yang masih dalam kandungan. H.r.Abdurrazaq,
al-Mushannaf, III:319
Kedua; Mustahiq/Masharif (Sasaran) Zakat
Menurut
Alquran, sasaran zakat atau yang lebih populer dengan sebutan mustahik (yang
berhak menerima zakat) ada 8 ashnaf (golongan). Firman Allah:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ
وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي
الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً
مِنْ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Q.s. At-Taubah:60
Bila ayat di atas kita perhatikan secara
seksama, setidaknya ada dua hal yang perlu digaris bawahi; Pertama,
kriteria ashnaf itu sendiri. Kedua, ushlub (gaya bahasa) Alquran
dalam mengungkap sasaran zakat.
A. Kriteria Ashnaf
1. Fuqara (Fakir)
orang
yang tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
(primer).
2. Masakin (Miskin)
orang
yang mempunyai harta dan tenaga, tapi tidak mencukupi keperluan hidupnya
(primer).
3. Amilin
orang
yang bertugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
4. Mu'allaf
a. orang kafir yang ada harapan masuk Islam
b. orang yang baru masuk Islam yang imannya masih
lemah
5. Riqab
orang
yang memerdekakan hamba sahaya.
6. Gharimin
orang
yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan ma'siatan dan tidak sanggup
membayarnya.
7. Sabilillah
orang
yang bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Islam (memelihara berlakunya
kebenaran, kebaikan, dan keutamaan akhlak)
8. Ibnu Sabil
orang
yang kehabisan bekal di tengah perjalanan, walaupun ia orang kaya di negerinya.
B. Ushlub (Gaya Bahasa) Alquran
Dalam
mengungkap sasaran zakat di atas Alquran menggunakan ushlub (gaya
bahasa) sastra yang tinggi nilainya, yaitu pada ayat di atas terdapat dua huruf
yang masing-masing mengiringi empat ashnaf pertama dan empat ashnaf
kedua, yakni laam/li dan fie.
Huruf laam mengiringi kata
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ
وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
al-fuqara, al- masakin,
al-’amilin, dan al-muallaf qulubuhum (empat ashnaf pertama). Sedangkan huruf fie
mengiringi kata
وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي
سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ
ar-riqab, al-gharimin, sabilillah,
dan ibnus sabil (empat ashnaf kedua).
Penempatan kedua huruf tersebut tentunya bukan suatu kebetulan,
tetapi pasti mengandung nuktah (rahasia halus) yang harus dikaji secara
mendalam. Dan menurut hemat kami, penempatan kedua huruf tersebut mengandung
arti bahwa empat ashnaf yang pertama adalah para pemilik dari zakat
tersebut, dalam arti mereka berhak mendapat bagian untuk dirinya sendiri.
Sementara empat ashnaf yang kedua mereka berhak menerima
zakat untuk kemaslahatan yang berkaitan erat dengan “acara” mereka. Seperti al-gharimun
(orang yang berhutang), mereka mendapat bagian dari zakat bukan untuk dimiliki
secara pribadi, tetapi untuk diserahkan kepada orang yang menghutangkannya,
sehingga mereka terbebas dari hutang itu. Demikian pula dengan fie sabilillah,
mereka mendapat bagian dari zakat bukan semata-mata kepentingan pribadinya
melainkan tugas dan tanggung jawab dalam mengemban amanah Islam, yaitu untuk
memelihara berlakunya kebenaran (al-haq), kebaikan, dan kesempurnaan akhlak.
Dengan perkataan lain, untuk menegakkan agama Islam.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
secara garis besar sasaran zakat itu ada dua bagian:
Bagian pertama ialah ashnaf yang terdiri dari mereka yang boleh
menerima zakat untuk dirinya sendiri, yaitu al-fuqara, al-masakin,
al-amilin, dan al-muallaf qulubuhum. Sedangkan bagian kedua ialah ashnaf
yang terdiri dari orang-orang yang berhak menerima zakat bukan semata-mata
kepentingan pribadi melainkan untuk kemaslahatan “acara” mereka, yaitu ar-riqab,
al-gharimin, sabilillah, dan ibnus sabil.
Lebih jauh Imam az Zamakhsyari berpandangan bahwa perpindahan
dari “li” pada empat ashnaf pertama kepada “fie” pada
empat ashnaf kedua mengandung rahasia, yaitu untuk memberitahukan bahwa
empat golongan kedua ini lebih layak untuk diprioritaskan daripada empat
golongan pertama, sebab “fie” merupakan wadah untuk menampung, yang
dengan itu Allah mengingatkan bahwa mereka lebih berhak atasnya dan
menjadikannya sebagai tempat harapan untuk mewujudkan kemaslahatan kaum
muslimin secara umum.
Masalah sasaran zakat telah selesai kita bahas. Masih ada
masalah yang mesti kita kaji, yaitu wajibkah amil mendistribusikan zakat atau muzakki (wajib zakat) menyerahkan zakat
kepada semua ashnaf yang delapan, dan menyamaratakan prosentase zakat
yang dibagikan di antara mereka?
Hemat kami, semua harta zakat boleh
diberikan kepada sebagian sasaran tertentu saja untuk mewujudkan kemaslahatan
yang sesuai dengan syara. Disamping itu tidak ada kewajiban untuk
menyamaratakan pemberian tersebut kepada individu yang diberinya, tapi boleh
melebihkan prosentase bagian yang satu dengan yang lainya sesuai dengan
kebutuhan, karena kebutuhan itu berbeda antara yang satu dan yang lainya.
Adapun landasan syariatnya adalah sebagai berikut :
1. Dari
Hudzaifah, ia
berkata, “Apabila engkau memberikan zakat pada satu sasaran saja, maka hal
itu cukup bagimu.” (Tafsir Ath-Thabari VI : 404).
2. Ibnu Abas berkata, “Apabila engkau memberikan zakat pada
satu sasaran dari sasaran zakat, maka hal itu cukup bagimu. sedangkan Firman
Allah : “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk para fakir......”,
maksudnya agar zakat itu jangan diberikan kepada yang selain sasaran tersebut.”
3. Pendapat di atas juga menjadi pegangan Umar bin Khatab, Sa’id
bin jabir, ‘Atha, Abul ‘Aliyyah, dan Ibrahim an-Nakha’i (Tafsir Ath-Thabrani,
Ibid.,)
4. Abu Tsaur berkata, “menurut pendapat kami,
permasalahan pembagian zakat, tidaklah ada, kecuali berdasarkan ijtihad
penguasa, maka mana diantara sasaran itu yang menurut penguasa lebih banyak
jumlahnya dan lebih membutuhkan, itulah yang harus diutamakan. Dan
mudah-mudahan dari tahun ke tahun zakat itu berpindah dari satu sasaran kepada
sasaran lain. Sasaran yang lebih membutuhkan dan lebih banyak jumlahnya,
senantiasa harus didahulukan dimanapun mereka berada.” (Fiqh al-Zakah, Dr.
Yusuf Al-Qardhawi, hal. 667).
5. Kebolehan memberikan zakat pada seorang mustahiq dari satu
sasaran tidak ada bantahan dan tidak pula termasuk syubhat. Adapun kalimat tu’matan
lil masakin yang berkaitan dengan
zakat fitrah, atau turadduna ila fuqaraihim yang berkaitan dengan zakat
mal, sebagaimana yang diungkapkan oleh hadis Rasul, maka hal itu bukanlah takhshish
(pengkhususan), melainkan tanshish (penekanan/prioritas) yang bersifat
kondisional.
6. Adapun tentang prosentase Ibnu
Qudamah menjelaskan:
وَإِنْ اجْتَمَعَ فِي وَاحِدٍ
أَسْبَابٌ تَقْتَضِي الْأَخْذَ بِهَا ، جَازَ أَنْ يُعْطَى بِهَا ، فَالْعَامِلُ الْفَقِيرُ
لَهُ أَنْ يَأْخُذَ عِمَالَتَهُ ، فَإِنْ لَمْ تُغْنِهِ فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَ مَا يَتِمُّ
بِهِ غِنَاهُ ، فَإِنْ كَانَ غَازِيًا فَلَهُ أَخْذُ مَا يَكْفِيه لِغَزْوِهِ ، وَإِنْ
كَانَ غَارِمًا أَخَذَ مَا يَقْضِي بِهِ غُرْمَهُ ؛ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ
الْأَسْبَابِ يَثْبُتُ حُكْمُهُ بِانْفِرَادِهِ ، فَوُجُودِ غَيْرِهِ لَا يَمْنَعُ
ثُبُوتَ حُكْمِهِ
Dan jika pada salah satu terkumpul beberapa sebab yang
menghendaki (melegitimasi) pengambilan zakat berdasarkan sebab itu, maka ia
boleh diberi berdasarkan sebab itu. Misalkan amil yang faqir, ia punya hak
mengambil bagian zakatnya. Jika tidak dapat menutupi kefakirannya, ia berhak
mengambil pula untuk dapat memenuhi keperluannya itu (sebagai hak faqir). Maka
jika dia sebagai prajurit (fi sabilillah), ia punya hak mengambil bagian zakat
untuk keperluan perangnya. Dan jika dia seorang gharim ia punya hak mengambil
bagian zakat untuk melunasi hutangnya. Karena tiap-tiap sebab itu ditetapkan
hukumnya berdasarkan sebab masing-masing (bukan karena sama orangnya, tapi
karena beda sebabnya). Adanya satu sebab tidak menghalangi tetapnya hukum atas
sebab yang lain. Lihat, al-Mughni, V:223
Ketiga; Besaran minimal yang diwajibkan
Didalam
hadis diterangkan sha’an (1 sha’). Perlu diketahui bahwa Sha itu adalah istilah dalam
ukuran isi/volume, bukan ukuran berat, seperti liter bukan kilogram. Dan ukuran isi
tidak mengalami perubahan walaupun yang ditakarnya berbeda jenis. 1 liter beras
Karawang sama isinya dengan 1 liter beras Cianjur. Tapi lain halnya ketika hendak
ditetapkan berdasarkan Kg, karena akan mengalami perbedaan tergantung jenis
benda yang ditakarnya. 1 sha = 4 mud = 2770,47 cc = + 3,1
liter lebih = 2,5 Kg ini berat jenis beras yang rata-rata dikonsumsi oleh
mayoritas. Apabila dikonversi berdasarkan qimah atau harga maka setiap tahun
besaran zakat fitrah itu bisa jadi berubah sesuai dengan perubahan harga yang
berlaku saat itu.
Keempat; Apakah
makanan pokok menjadi syarat sah zakat fitrah?
كُناَّ نُخْرِجُ فِي عَهْدِ
رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الفِطْرِ صَاعًا مِنَ
الطَّعَامِ. رواه البخاري
Kami (para sahabat)
mengeluarkan zakat fitrah di zaman Rasulullah saw. pada (waktu) hari raya fitri
(berupa) satu sho' dari makanan.
H.r. Al-Bukhari
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ
شَعِيرٍ – رواه البخاري –
Dari Ibnu
Umar, ia mengatakan, "Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu sha'
dari kurma, atau satu sha dari syair (gandum)” H.r.
al-Bukhari
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ
تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ
أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ – رواه البخاري –
Dari Ibnu Umar, ia
mengatakan, "Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah Ramadhan atas
orang-orang, sebesar satu sha' dari kurma, atau satu sha dari syair (gandum)
atas orang yang merdeka, hamba sahaya, laki-laki, atau perempuan dari kalangan
muslimin. H.r.Al-Bukhari
Catatan:
Dalam makalah yang dicopi terjemahannya terbalik, dan ada ziyadah terjemah:
dewasa dan anak-anak
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ
اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ – رواه أبو داود –
Dari Ibnu Abas, ia berkata, “Rasulullah saw. mewajibkan
zakat fitrah sebagai pensuci bagi yang saum dari ucapan sia-sia dan kotor/cabul
dan sebagai makanan bagi orang miskin” H.r. Abu Daud
Dari hadis di atas
kita dapat memahami bahwa Rasul menetapkan zakat fitrah dengan dua jenis
makanan (kurma & gandum) karena dua sebab:
Pertama, dilihat
dari sisi mustahiq, kedua jenis makanan itu lebih bermanfaat untuk orang miskin
waktu itu sebagai thu’matan (makanan mudah saji).
Kedua, dilihat dari sisi muzakki, kedua jenis
makanan itu lebih mudah didapat atau biasa dimiliki secara umum waktu itu.
Hal ini tampak semakin jelas didukung oleh data
faktual yang menunjukkan bahwa para sahabat memperluas jenis makanan dari yang
disebut oleh Rasul. Abu Said menjelaskan:
عن أَبي سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِي اللَّه عَنْه قال
كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ – رواه
البخاري –
Dari
Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, “Kami mengeluarkan zakat fitrah 1 sha makanan atau 1 sha min sya’ir (gandum),
atau tamr (kurma), atau aqith (susu beku/keju), atau Zabib (kismis/anggur
kering)” H.r. Al-Bukhari
Mengapa jenis makanannya diperluas? Kata Abu Sa’id:
كَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالْأَقِطُ
وَالتَّمْرُ – رواه البخاري -
“sya’ir
(gandum), Zabib (kismis/anggur kering), aqith (susu beku/keju), dan tamr
(kurma) adalah makanan kami” H.r. Al-Bukhari
Keterangan Abu Said di atas menunjukkan bahwa (1)
para sahabat memahami hadis Nabi tentang zakat fitrah itu tidak secara mantuq
(makna tersurat), namun secara mafhum (makna tersirat), (2) yakni para sahabat memahami hadis itu
bukan sebagai takhsis (pengkhususan), hal
itu terbukti dengan diperluas jenis makanannya, (3) Secara ekonomi, jenis pangan yang dimiliki
oleh publik zaman sahabat sudah lebih berkembang daripada zaman Nabi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang menjadi
pokok kewajiban zakat fitrah itu bukan “barangnya” melainkan “nilainya”, yaitu 1
sha’ atau yang senilai sha’ dalam ukuran isi (liter), berat (Kg), dan harga.
Konversi nilai itu pernah dilakukakan oleh Mu’awiyah sebagaimana diterangkan
dalam riwayat Muslim
قَالَ إِنِّي أَرَى أَنَّ مُدَّيْنِ مِنْ سَمْرَاءِ
الشَّامِ تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ فَأَخَذَ النَّاسُ بِذَلِكَ
Ia
berkata, “Saya memandang bahwa 2 mud gandum Syam senilai dengan 1 sha kurma.”
Maka orang-orang mengambil konversi itu.
Karena itu, Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan al-Bishri,
Atha telah menetapkan zakat fitrah oleh harga/uang (dirham). Waktu itu Umar bin
Abdul Aziz menetapkan nilai 1 sha = ½ dirham (lihat, Mushannaf Ibnu Abi
Syaibah, II:398)
Kelima; Waktu membagikan Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah
ibadah yang mudhayyaq, yaitu tertentu dan terbatas waktunya. Karena itu
membagikan zakat fitrah harus tepat pada waktunya. Kapan waktu yang tertentu
dan terbatas itu? Abu
Sa'id al-Khudri:
كُناَّ نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الفِطْرِ صَاعًا مِنَ الطَّعَامِ - رواه
البخاري
“Kami (para sahabat) mengeluarkan zakat firtah di zaman
Rasulullah saw. pada (waktu) hari raya fitri (berupa) satu sho' berupa makanan”.
H.r. Al-Bukhari
Keterangan Abu Sa'id di atas menjadi petunjuk bahwa
ketentuan waktu mengeluarkan zakat fitrah yang berlaku di zaman Rasulullah
adalah pada yaumal fitri (siang hari raya fitri), bukan pada malam hari.
Perbuatan para sahabat diatas merupakan pengalaman
dari instruksi Rasulullah, sebagaimana yang pernah diterangkan oleh Ibnu Umar :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الفِطْرِ قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلىَ الصَّلاَةِ - رواه
مسلم -
Rasulullah saw. memerintah dengan zakat fitrah, supaya dilakukan
sebelum orang keluar (pergi) ke salat (hari raya).
H.r. Shahih Muslim, I : 393
Sedangkan di dalam redaksi At-Tirmidzi diterangkan
sebagai berikut :
كَانَ يَأْمُرُ بِإِخْرَاجِ الزَّكَاةِ قَبْلَ الْغُدُوِّ لِلصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ
"Sesungguhnya Rasulullah
saw. memerintah untuk mengeluarkan zakat (fitrah) pada hari fitri sebelum pergi
salat (hari raya)". H.r. At-Tirmidzi.
Berdasarkan keterangan Ibnu Umar diatas maka semakin
jelaslah makna yaumal fitri itu, yakni bukan malam hari dan bukan pula sepanjang
hari raya, tapi sebagiannya saja, yaitu sejak terbit fajar hingga selesai salat
hari raya (Ied) setempat.
Untuk lebih jelasnya, Ibnu Tin menyatakan sebagai
berikut :
أَيْ قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى صَلاَةِ الْعِيْدِ وَبَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ
"(maksud hadis itu) ialah sebelum orang keluar
untuk salat Idul Fitri (siang hari) dan setelah salat subuh". Fathul Bari, III : 439)
Kemudian
'Ikrimah menegaskan pula: (artinya) "Seseorang mendahulukan zakatnya pada
"hari raya fitri" dihadapan salatnya, karena Allah telah berfirman,
'Sungguh beruntung orang yang membersihkan (berzakat) dan mengingat Tuhannya,
kemudian ia salat' ". (Ibid,.)
Berdasarkan
keterangan-keterangan diatas, maka ketentuan waktu untuk menyampaikan zakat fitrah
kepada para mustahiq itu adalah dimulai sejak fajar hari raya fitri
sampai selesai salat 'ied setempat. Hal itu bukan hanya di contohkan saja,
melainkan diperintahkan, yang kemudian senantiasa dipraktekkan oleh para
sahabat, baik pada zaman Rasulullah maupun sesudahnya. Ketentuan ini berlaku,
baik bagi perorangan (ataupun kelembagaan (jami' zakat).
Yang menjadi permasalahan, apakah ketetapan ini
berkaitan dengan suatu 'illah (alasan, sebab) tertentu ? Sehubungan dengan itu
Syekh al-Qardhawi menyatakan, “hadis yang menerangkan waktu pembagian zakat
fitrah itu bersifat temporer atau situasional, artinya ketentuan tersebut hanya
berlaku bagi anggota masyarakat di masa itu, mengingat sedikitnya jumlah
anggota masyarakat dimasa itu, sementara mereka saling mengenal satu sama lain,
dan karena itu pula dengan mudah dapat mengetahui siapa-siapa yang memerlukan
zakat fitrah tersebut. Jadi, tidak ada problem apapun yang berkaitan dengan
sempitnya waktu untuk itu”. (lihat, Bagaimana Memahami Hadis Nabi, 1993
: 144)
Dalam hal ini, penulis tidak sependapat dengan
pemikiran Syekh al-Qardhawi di atas mengingat tidak adanya dalil dari seorang
sahabat pun, setelah Rasulullah saw. wafat, yang menetapkan perubahan waktu
tersebut (setelah shubuh), sekalipun situasi dan kondisinya telah berubah.
Adapun tindakan mereka yang mengeluarkannya sehari
atau dua hari sebelum hari raya, maka keterangan ini tidak bisa dipakai dalil
bahwa ketentuan waktu diatas hanya berlaku bagi masyarakat di zaman Rasul saja.
Adapun alasannya adalah sebagai berikut :
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِي اللَّه عَنْهمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ
يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ –
رواه البخاري -
"Dan
Ibnu Umar menyerahkan zakat fitrah kepada mereka yang menerimannya, dan mereka
menyerahkannya sehari atau dua hari sebelum hari raya". H.r. Al-Bukhari
Riwayat ini belum menerangkan secara jelas, kepada
siapa zakat itu diserahkan? Namun didalam riwayat Imam Malik hal itu dijelaskan
sebagai berikut :
عَنْ
نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ
إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ
Dari Nafi "Sesungguhnya Ibnu Umar mengirimkan
zakat fitrahnya kepada yang mengumpulkan zakat (jami' zakat) dua hari atau tiga
hari (menjelang hari raya)".
Berdasarkan
keterangan diatas, maka sehari, dua hari, atau tiga hari sebelum hari raya itu
bukan waktu untuk membagikan kepada para mustahiq, tapi kepada jami zakat
sebagai amanat untuk di bagikan kepada para mustahiq, nanti pada waktunya. Hal
ini sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Abu Sa'id beserta para sahabat
lainnya.
Bahkan lebih di
tegaskan lagi di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, melalui jalan Abu Harits, dari
Ayyub, ia berkata:
قُلْتُ مَتَى كَانَ
ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي ؟ قَالَ: إِذَا قَعَدَ الْعَامِلُ. قُلْتُ مَتَى يَقْعُدُ الْعَامِلُ؟
قَالَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
,"Aku
bertanya (kepada Nafi), 'Kapan Ibnu Umar menyerahkan zakat fitrah ? 'Ia (Nafi) menjawab,
'Apabila amil zakat telah ada (dibentuk)'. Aku bertanya lagi, 'Kapan amil itu
di bentuk?'. Ia menjawab, 'satu hari atau dua hari lagi menjelang idul fitri'
". Fathul Bari, III : 440-441
Oleh karena itu,
Abu Abdullah (Imam Al-Bukhari) menegaskan dalam naskah al-Shaghani bahwa
"mereka memberikan zakat fitrah (sebelum hari raya) lil jam'i (untuk di
kumpulkan) la lil fuqara (bukan kepada fakir-miskin)". (Ibid,.).
Berdasarkan
keterangan-keterangan di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa ketentuan waktu
mengeluarkan zakat fitrah - setelah salat subuh hingga selesai salat ied
setempat - adalah ketentuan yang berlaku secara umum, tidak dibatasi oleh sebab
keadaan situasi dan kondisi suatu daerah tertentu.
Ketentuan Waktu Tidak Membatasi Teknis
Kita memaklumi bahwa di masa sahabat,
lingkup masyarakat kian meluas, tempat-tempat kediaman makin berjauhan dengan
penghuni yang makin banyak.
Situasi dan kondisi masyarakat yang
seperti ini tidak di jadikan sebab atau alasan oleh mereka untuk mengubah
ketentuan waktu mengeluarkan zakat fitrah yang telah di gariskan oleh Rasulullah
saw., tapi justru keadaan ini menjadi pendorong bagi mereka untuk mengatur
langkah serta menyusun strategi yang sedemikian rupa sehingga zakat fitrah yang
diamanatkan itu dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Hal ini sebagaimana yang
dilakukan oleh para sahabat di zaman Ibnu Umar berdasarkan riwayat diatas,
mereka (para amil) dibentuk atau mulai melaksanakan tugasnya adalah dua atau
tiga hari sebelum hari raya. Berarti waktu sebanyak itu dianggap cukup atau
memungkinkan bagi mereka untuk bekerja, yaitu mengurus, menagih, dan membagikan
zakat kepada para mustahiq sesuai dengan lingkup teritorial ketika itu.
Berdasarkan
petunjuk diatas, maka jelaslah bagi kita bahwa para sahabat tidak
mengkondisikan hukum syara’ (ketentuan waktu) sesuai dengan keadaan ruang
lingkup masyarakat, tetapi mereka lebih menitik-beratkan perhatiannya pada
pengefektifan fungsi serta tugas 'amilin agar zakat fitrah tersebut dapat
diterima oleh para mustahiq dalam lingkup masyarakat yang kian meluas, sesuai
dengan ketentuan waktu yang telah digariskan oleh Rasulullah saw., Wallahu
A'lam.
Sumber: Hadi Nur Ramadhan
Sumber: Hadi Nur Ramadhan
0 komentar:
Posting Komentar