Allhamdulillah,
saya, yang temasuk generasi tua, biasa berbicara dari hati ke hati
dengan generasi muda yang sedang tumbuh –berkembang, dan mempunyai dinamika
yang tinggi. Nama menunjukkan makna dan
mengandung cita-cita yang terkandung didalamnya. Rijalul Ghad dan Ummahatul
Ghad adalah nama bagi organisasi pelajar putra dan putri di seluruh
Pesantren Persatuan Islam. Organisasi ini usianya seusia pesantren, tetapi
keberadaannya sering kali kurang Nampak di permukaan, kecuali ketika ada
imtihan di akhir tahun. Nama organisasi ini sebenarnya berasal dari pribahasa
Arab yang berbunyi: “Subban al-yaum rijal al-ghad, fatayat al-yaum ummahatul
al-ghad.”
Kini antum, sebagai talamidzah,
thullab wa thalibat, pemuda pemudi yang sedang tumbuh-berkembang, yang
dipersiapkan untuk masa depan, hendaknya menjadi Rijal dan Ummahat
dalam arti haqiqiy dan majaziy. Meskipun arus emansipasi melanda
Negara berkembang, yang secara alamiah dan naluriah merupakan sunatullah,
tetapi ada perbedaan antara Rijal dan Ummahat atau An-nisa. Keberadaan
keduanya, meskipun berbeda, justru saling melengkapi. Jadi nama organisasi
Rijalul Ghad-Ummahatul-Ghad mengandung makna cita-cita orang tua agar
putra-putrinya kelak menjadi Rijal, pemimpin yang berani membela islam
dan kaum Muslimin dengan senjata ilmu keislaman yang cukup; dan menjadi Ummahat,
Pendidik gennerasi baru yang secara kuantitatif membentuk umat dan para pakar
dalam pelbagai bidang, termasuk ahli pikir dan ulama sebagai ‘Makhluk Langka”.
Setiap orangtua merasa khawatir jika
belum melihat pelanjut perjuangannya untuk masa pendatang; terutama jika mereka
sudah merasa lemah fisik, daya ingat, dinamika atau sudah menginjak usia senja.
Ketika berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa, Nabi Zakaria mengungkapkan
perasaannya: “(Yang dibacakan ini
adalah) penjelasan tentang Rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya Zakaria, yaitu
ketika ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata: “Ya
Tuhhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah, dan kepalaku telah ditumbuhi uban,
dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku.dan
sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku (para pelanjutku) sepeninggalanku,
sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi
Engkau seorang putera, yang akan mewarisi sebagian keluarga Yakub, dan
jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhoi”. (Q.S: Maryam, 19:1-6).
Seperti Nabi Zakaria, Nabi Ibrahim a.s
juga berdoa untuk dianugerahi pelanjut yang shaleh dan sabar: “Ya Tuhanku,
anugerahkanlah (seorang anak) yang termasuk orang-orang shaleh”. Maka Kami beri
dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (Nabi Ismail a.s). maka
tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: ‘Hai Anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa
sesungguhnya aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu; Ia menjawab:
‘Wahai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah kamu
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’. Tatkala keduanya telah
berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (Nyatalah
kesabaran keduanya). Dan Kami panggil dia: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu
telah membenarkan mimpi itu’, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan
kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian
yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (Q.S.Ash-Shaafat,37
:100-107).
Cita-cita itu juga mengandung harapan
munculnya pemuda yang teguh dan tangguh dalam keimanan kepada Allah Yang
Tunggal; seperti halnya kisah Ashabul Kahfi: “Kami ceritakan kisah mereka
kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesunggunya mereka itu adalah
pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka
petunjuk; dan Kami telah meneguhkan hati mereka diwaktu mereka berdiri
(dihadapan Raja Dikyanus Decius) lalu mereka berkata: “Tuhan kami adalah Tuhan
Langit dan Bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia,…
(Q.S.Al-Kahfi,18: 13-14)
Demikian cita-cita yang terkandung dalam
makna Rijalul Ghad dan Ummahatul Ghad . Persis sampai sekarang
hanya mengadakan lembaga pendidikan pesantren dengan tujuan pendidikan sebagai
berikut:
1. Membentuk sekelompok orang
yang memperdalam agama seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an surat At-Taubah(9):122, yakni liyatafaqqahu
fid-din, wa liyundziru…wa la’allahum yahdzarum.
2. Membentuk al-akhlaqul-karimah
sesuai dengan hadist: “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
kemuliaan akhlak”. Dengan suri teladan atau Uswatun Hasanah Rasulullah
seperti yang diungkapkan oleh Siti Aisyah r.a..: “Akhlak Rasul itu adalah
Al-Qur’an”. Karena itu, Al-Qur’an dipelajari dengan Bahasa Arabnya, begitu
juga Sirah Nabawiyah sebagai penjelmaan Al-Qur’an dalam kehidupan Nabi SAW
secara nyata.
Selain
itu, antum, ya abnai wa banati! Dipersiapkan untuk masa depan, karena
pendidikan yang baik adalah berorientasi ke masa depan sesuai dengan hadist: “Ajarlah
anak-anakmu, sesungguhnya mereka dilahirkan bukan di Zamanmu”.
Masa kini dan masa mendatang akan penuh
dengan tantangan globalisasi, munculnya abad informasi dan industrialisasi. Antum-lah
yang akan melanjutkan dan mempertahankan tegaknya ajaran islam di tengah-tengah
masyarakat yang berubah itu.
Perhatikan
Trilogi pendidikan yang mempengaruhi anak didik:
1. Lingkungan Keluarga;
landasannya adalah sabda Rasul dan
firman Allah dalam surat
Ar-Rum(30):30.
“setiap anak dilahirkan diatas dasar
fitrah. Maka ibu-bapaknya (sebagai lingkungan terdekat) yang menyahudikannya,
menashranikan, atau memajusikannya.
Al-Quran juga menegaskan:
“Hai orang-orang beriman, jagalah dirimu
dan keluargamu dari (siksaan) api neraka,” (Q.S.At-Tahrim{66}:6).
Keluarga adalah unit terkecil masyarakat.
Karena itu, ciptakanlah lingkungan keluarga yang islami.
2. Lingkungan
Sekolah/Pesantren; sebagai
lembaga pendidikan yang teratur dan berjenjang sesuai dengan perkembangan anak
didik. Meskipun waktunya relative singkat, lingkungan sekolah diharapkan
efektif dan efisien dengan metodologi pendidikan yang berkembang.
3. Lingkungan Masyarakat; sesuai dengan kondisi objektif di Negara
kita. Melalui lingkungan masyarakat, diharapkan muncul proses islami dengan
pendekatan cultural—pedidikan formal dan non formal—yang akhirnya secara
gradual menjadi moral dan social force yang diperhitungkan. Ini
merupakan peluang luas bidang muamalat, meskipun tantangannya cukup berat,
yakni berupa iptek, globalisasi, dan abad informasi.
Peningkatan Sumber Daya Manusa (SDM),
bagaimanapun, kembali pada program pendidikan. Bagi santriwan dan santriwati
adalah peningkatan keimanan dan ketakwaan serta peningkatan wawasan keilmuan
bidang agama dengan pendalamannya. Perkembangan iptek perlu diamati, karena
mengandung hal-hal positif dan negative terhadap sikap keagamaan. Oleh karena
itu, bagi kita, iptek mempunyai dua sisi: positif—agar menjadi ilmu yang
bermanfaat dan negatif—dengan dampak sosial keagamaan yang perlu diwaspadai dan
dicegah.
Terakhir, semoga
pembahasan ini bermanfaat bagi generasi pelanjut saya, sebagai Tadzkirah. Semoga
ia menjadi renungan dalam perjalanan hidup ini. Mari berusaha secara optimal
sambil berdoa kepada-Nya. Berusahalah sambil berdoa, dan berdoalah sambil
berusaha secara optimal. (HNR).
*).Untuk lebih jelasnya silakan lihat: A.Latief
Mukhtar, Gerakan Kembali Ke Islam; Warisan KH. A Latief Mukhtar (Ketua Umum
Persis 1983-1997). Bandung:
Remaja Rosdakarya.
0 komentar:
Posting Komentar