Abdullah Ibnu Ummi Maktum
Ibnu Ummi Maktum radhiallaahu ‘anhu bukanlah salah seorang dari mereka,
bahkan namanya pun belum pernah dikenal orang sebelum Islam. Apalagi orang akan
mengindahkan suaranya. Ia seorang awam di kota
Mekah, hidup untuk diri dan bersama dirinya. Suaranya tidak pernah didengar
orang dan rupanya tidak pernah dikenal orang.
Malah, namanya pun ada yang memperselisihkan. Penduduk kota
Madinah berpendapat bahwa namanya adalah Abdullah Ibnu Ummi Maktum, tetapi
orang Iraq
berpendapat bahwa namanya adalah ‘Amru bin Ummi Maktum. Walaupun demikian,
mereka semua sepakat bahwa nama ibunya adalah Atikah binti Abdullah bin Ma’ish.
Dia adalah putera dari bibi Khadijah binti Khuwalid.
Matanya buta sejak kecil, penduduk kota Mekah mengenalnya sebagai seorang yang
rajin mencari rezeki dan belajar ilmu pengetahuan. Meskipun ia seorang
tunanetra , namun semangatnya bergelora untuk belajar dan mengetahui segala
yang didengarnya. Ia menggunakan pendengarannya sebagai pengganti matanya, apa
yang didengarnya tidak dilupakan lagi sehingga ia mampu mengutarakan kembali
apa yang pernah didengarnya dengan baik sekali.
Dia mendengar orang-orang mustadh’afin dan budak-budak
(hamba sahaya) di kota
Mekah bersembunyi-sembunyi pergi ke Darul Arqam untuk mendengarkan berita-berita
dari langit yang dibawakan Muhammad al-Amin. Ia merasa bahwa di Mekah terjadi
pergolakan yang lain dari biasanya. Perang urat saraf mulai tampak di permukaan
; wahyu yang disampaikan kepada Muhammad al-Amin itu menganjurkan persamaan dan
persaudaraan antar sesama umat manusia. Kaum Mustadh’afin dan para hamba sahaya
tertarik akan semua seruan itu, sedangkan tohok-tokoh Quraisy berusaha keras
mempertahankan system kehidupan Jahiliah, tanpa mengindahkan perkembangan zaman
dan tuntutan hati nurani masyarakat umum.
Ibnu Ummi Maktum memutuskan untuk pergi sendiri ke majelis Ibnul Arqam
untuk mendengarkan dan meyakini berita yang sedang ramai diperbincangkan orang
itu. Ia mengambil tongkatnya dan mengayunkan langkahnya menuju kesana. Ternyata
apa yang didengarnya lebih hebat dari apa yang diberitakan orang; rasanya suara
yang didengarnya berhasil membuka pintu hatinya dan menimbulkan rasa ketenangan
serta kedamaian dalam kalbunya. Kini, ia tidak takut dan gentar terhadap
seluruh kekuatan bumi, sesudah ia mendengarkan kalamullah yang diwahyukan
kepada Muhammad al-Amin dengan perantaraan Malaikat Jibril, untuk mengukuhkan
tauhid kepada Allah al-Khaliq, untuk mempersamakan antar umat manusia, untuk
menegakkan keadilan antar berbagai lapisan masyarakat, dan untuk
mengumandangkan rasa persaudaraan serta kedamaian ke seluruh pelosok dunia yang
sedang dilanda kezaliman dan kesesatan.
Ibnu Ummi Maktum mengulurkan tangannya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam menyatakan ke-Islamannya, keluar dari lingkungan Jahiliah, dan
masuk kedalam barisan kaum beriman, menyatakan janji kepada Allah Ta’ala dan
kepada Rasul-Nya untuk mengorbankan segala-segala, termasuk nyawanya demi
tegaknya agama Islam. Semangatnya untuk mengetahui agama itu lebih banyak dan
mendalam, tidak tertahankan lagi; di saat ada kesempatan bertanya, ia
mengajukan pertanyaan tentang berbagai persoalan kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam . Apa yang didengarnya dicerna dan diresapi dengan
sebaik-baiknya.
Kaum Quraisy tidak mampu menumpas dakwah langit itu. Akhirnya, mereka
mengubah taktik dengan memperlambat gerak dan mempersempit penyebarannya dengan
mengejar-ngejar dan memaksa para pengikutnya yang tidak berdaya dan tidak
bersenajta. Akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Memberikan izin
kepada para pengikutnya pergi berhijrah dengan membawaserta agamanya. Di antara
para Muhajirin itu terdapat Ibnu Ummi Maktum. Para
sejarawan muslim berbeda pendapat tentang sejarah hijrahnya itu. Ada yang menetapkan bahwa
ia hijrah sesudah perang Badar dan tinggal di Darul Qurra’. Ada pula yang mengatakan bahwa ia hijrah
sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, sebelum perang
Badar. Saya lebih condong menerima riwayat yang terakhir ini, seperti yang
diutarakan Abu Ishaq dari al-Barra’ bin Azib, ‘Pada waktu itu, orang yang
pertama hijrah ke negeri kami ialah Mush’ab bin Umair dari bani Abdid-Dar bin
Qushai. Kami tanyakan kepadanya , ‘Apa kabar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam ?’ Ia menjawab , ‘Beliau baik-baik saja di Mekah, sedang para
sahabat-nya akan segera menyusulku.’ Sesudah itu datang Abdullah Ibnu Ummi
Maktum yang tunanetra itu. Kami tanyakan pula kepadanya, ‘Apa kabar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam .?’ Ia menjawab ‘Mereka segera akan menyusulku.’”
Ia mulai melakukan tugasnya yang sejak lama sudah dipersiapkannya dengan
mengajukan banyak pertanyaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
yaitu mengajarkan dasar-dasar agama Islam, mengajar penduduk kota Madinah
menghafal ayat-ayat al-Qur’anul-Karim, dan menyiapkan hati serta jiwa
masyarakat menyambut kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam .
Tak lama setelah itu, sampailah berita bahwa Rasulullah akan segera datang di
Madinah. Ibnu Ummi Maktum bersama para penyambut lainnya berderet-deret di tepi
jalan menyambut kedatangan kekasih Allah yang sudah lama tidak terdengar suara
dan pelajarannya.
Menurut sebagian perawi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal
di rumah Bani an-Najjar. Beliau lalu membangun masjidnya untuk dijadikan
sekolah terbesar bagi generasi yang pernah dikenal umat manusia, yang mengemban
petunjuk dan Kitab Allah. Ibnu Ummi Maktum senantiasa menyertai kegiatan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Ia ikut aktif dalam pembangunan
masjidnya, tidak pernah absen dalam mengikuti pelajaran yang diberikannya,
selalu shalat jama’ah di belakang beliau, dan hampir tidak ada ayat yang turun
di Madinah yang tidak diketahuinya. Malah, ia puaskan telinganya dalam
mendengarkan semua sabda Rasulullah dan pengarahan langit yang dikirimkan Allah
Ta’ala kepada hamba-Nya, untuk memancarkan persamaan, kedamaian, dan keadilan
di seluruh jagat raya ini.
Menurut Anas bin Malik radhiallaahu ‘anhu, “Pada suatu hari, Malaikat
Jibril datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Disana ada Ibnu
ummi Maktum; ia lalu bertanya , ‘Sejak kapan kau tidak dapat melihat?’
‘Sejak kanak-kanak.’
‘Allah Ta’ala berfirman, ‘Apabila Aku mengambil indra penglihatan
hamba-Ku, tiada imbalan baginya selain surga.”
‘Selamat bagimu, wahai Ibnu Ummi Maktum! Engkau telah berhasil menjadi
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan mendapat berita gembira
masuk surga, langsung dari malaikat Jibril.’”
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjumpainya, beliau
suka berucap, “Selamat datang, wahai orang yang dititipkan Tuhanku untuk
diperlakukan dengan baik!”
Apabila Bilal radhiallaahu ‘anhu tidak ada, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam suka sekali menyuruhnya mengumandangkan azan shalat lima waktu
karena suaranya merdu dan lembut, tetapi kalau Bilal hadir, ia yang adzan dan
Ibnu Ummi Maktum yang iqamat. Pada bulan Ramadhan, Bilal radhiallaahu ‘anhu
azan untuk mengingatkan orang akan waktu makan-minum sahur, tetapi kalau
terdengar azan Ibnu Ummi Maktum, makan-minum harus dihentikan; itu tanda waktu
imsak sudah tiba.
Menurut Abdullah bin Umar radhiallaahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Apabila bilal azan pada malam hari, maka
kalian boleh makan dan minum hingga mendengar azannya Ibnu Ummi Maktum!”
Ibnu Ummi Maktum termasuk sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam yang sangat mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Di
hatinya, beliau lebih dari sanak keluarga, bahkan dari diri pribadinya sendiri.
Mereka semua, termasuk Ibnu Ummi Maktum, sanggup menahan derita serta cerca
orang terhadap diri dan sanak keluarganya, bahkan bisa memaafkan hal itu,
tetapi tidak bisa menerima dan memaafkan hal itu bila ditujukan kepada
Rasulullah.
Ibnu Ummi Maktum pernah tinggal di rumah seorang wanita Yahudi, bibi
seorang Anshar. Wanita itu baik budi dan melayani makan-minumnya, tetapi
mulutnya tidak pernah diam menyerang orang-orang yang paling dicintai Ibnu Ummi
Maktum. Ia tidak sabar mendengar ejekan dan cercaan itu. Ia berusaha beberapa
kali menegurnya, tetapi teguran dan peringatannya itu tidak diindahkan.
Terpaksalah ia memukulnya. Ternyata pukulan itu mematikan. Hal ini dilaporkan
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sesudah ia dihadapkan,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya,
“Mengapa kau bertindak demikian?”
“Wahai Rasulullah! Sungguh, ia seorang yang baik budi terhadap diriku,
namun ia senantiasa mencela dan mencerca Allah dan Rasul-Nya, maka terpaksalah
aku memukulnya untuk menghentikannya, namun kiranya ajalnya sudah sampai.”
“Allah telah menjauhkannya dan ia telah membatalkan darahnya?????.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sering mengangkatnya sebagai
wakil apabila beliau keluar meninggalkan Madinah dalam peperangan, umpamanya
ketika pergi menyerang Kabilah Banu Sulaim dan Kabilah Ghathafan. Ia menjadi
Imam jamaah dan Khatib shalat Jumat. Begitu pula ketika Rasulullah pergi
berperang ke Uhud, Hamra’al-Asad, Bani an-Nadhir, Khandaq, Bani Quraizah, Bani
Lahyan, al-Ghabah, Dzi Qirad, dan Umrah al-Hudaibiyah.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terlibat dalam penyerangan
ofensif sebanyak tiga belas kali; beliau selalu mengangkat Ibnu Ummi Maktum
sebagai pejabat untuk menggantikannya di Madinah, mengimami orang shalat
jamaah, dan lain-lain, padahal ia seorang tunanetra,” demikian ucap asy-Sya’bi.
Ia mengikuti kehidupan sosial dan politik kaum muslimin, mengikuti
kegiatan berbagai perutusan yang pergi dan datang menghadap Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam . Ia sering sekali berpuasa dan shalat malam.
Hampir seluruh masa hidupnya diisi dengan peribadatan atau ikut berperang dalam
kegiatan kaum muslimin. Kemudian, turunlah firman Allah,
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak terut berperang)
yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah
dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad
dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat…” (Q.,.
4/an-Nisaa’: 95)
Jadi, di sana
masih terdapat lapangan peribadahan yang ganjarannya lebih utama dari ganjaran
yang mungkin diperolehnya. Ada
suatu taqarrub yang dilakukan orang, yang lebih mendekatkan orang itu kepada
Allah Ta’ala lebih dari dirinya. Ia lalu merintih menangisi nasibnya kepada
Allah Ta’ala, “Ya Allah, Engkau mengujiku dengan kebutaan. Apa yang dapat aku
lakukan selain mengharap rahmatMu yang meliputi segala-galanya.” Lalu turunlah
firman-Nya,.. “yang tidak mempunyai uzur…,” sebagai pelengkap.
Menurut Ibnu Abbas radhiallaahu ‘anhu, “Ketika firman Allah, ‘Tidaklah
sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai
uzur dengan orang-orang yagn berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa
mereka…,’ diturunkan, Abdullah bin Ummi Maktum yang buta (tunanetra) itu datang
menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam , lalu bertanya, ‘Wahi
Rasulullah, Allah telah menurunkan keutamaan jihad fi sabilillah ; seperti yang
baginda ketahui, aku ini seorang tunanetra, tidak bisa ikut berjihad, apakah
kepadaku diberi izin tidak ikut berjihad?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Aku belum mendapat
keterangan mengenai dirimu dan orang-orang yang senasib denganmu.’
Ibnu Ummi Maktum lalu menengadahkan wajahnya dan mengangkat kedua
tangannya seraya berseru, ‘Ya Allah, aku memohon pertimbangan-Mu mengenai
pengelihatanku ini.’ Lalu, turunlah ayat, ‘Tidak sama antara mukmin yang duduk
(yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunya uzur dengan orang yang berjihad
di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka…’”
Izin sudah ia peroleh dari Allah Ta’ala; apakah ia memanfaatkan izin
itu? akan mengikuti pasukan Islam yang menuju ke al-Qadisiyah. Ia ingin
memperoleh ganjaran seorang mujahid. Ia memohon kepada komandan perang, “Hai
kekasih Allah, hai sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam , Hai pahlawan
perang, serahkan bendera perang itu kepadaku. Aku seorang tunanetra, tak
mungkin bisa lari. Nanti tempatkanlah aku diantara kedua pasukan yang
berperang.”
Menurut Qotadah, Anas bin Malik radhiallaahu ‘anhu berkata: “dalam
perang al-Qadisiyah, Abdullah bin Ummi Maktum memegang bendera hitam dan
memakai baju besi.”
Ia lalu kembali ke Madinah dan meninggal dunia di sana. Semoga Allah Ta’ala merahmatinya,
aamin.
Sebab turunnya Ayat
Menurut Ibnu Abbas radhiallaahu ‘anhu : “Ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam sedang menerima kedatangan Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal, dan
al-Abbas bin Abdul Muththalib, pada waktu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam berusaha keras menawarkan Islam kepada mereka supaya mereka beriman,
tiba-tiba datanglah seorang tunanetra yang dikenal dengan panggilan Abdullan
bin Ummi Maktum. Ia minta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam supaya
kepadanya dibacakan ayat-ayat Al-Qur’anul Karim, “Ya Rasulullah, ajarkan
kepadaku apa yang diajarkan Allah kepadamu!”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu mengerutkan mukanya dan
memalingkan pandangannya, kesal kepada omongannya. Ia lalu meneruskan
pembicaraannya melayani tamu-tamunya. Sesudah pertemuan itu usai, beliau terus
pergi dan keluarganya meninggalkan tempat itu, kemudian turunlah ayat, ” ‘Abasa
warawalla” .
Sesudah ayat-ayat itu turun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
sangat menghormati Ibnu Ummi Maktum. Kalau ia datang, selalu ditanyakan,” Apa
keperluanmu..? Apa perlu bantuanku?” Kalau ia hendak pergi, selalulah
ditanyakan,” Apakah kau memerlukan sesuatu?”
Seorang miskin yang tunanetra itu datang menemui Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam seperti biasanya ingin belajar dan memperdalam agama Allah
Ta’ala. Kali ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang sibuk melayani
beberapa tokoh Quraisy, dengan harapan kalau mereka masuk Islam maka akan
meringankan tugasnya dan akan memudahkan perkembangan agama itu karena
merekalah yang selalu merintangi perkembangan Islam dengan harta, kedudukan,
dan wibawanya. Mereka berusaha keras menghalang-halangi orang dari agama Islam
dan menyempitkan ruang gerak dakwah dengan berbagai cara sehingga hampir tidak
berkembang di Mekah. Orang-orang di luar kota
Mekah sudah tentu sulit menerima agama baru yang ditentang keras oleh
orang-orang yang paling dekat dengan penganjurnya itu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyibukkan diri dengan
orang-orang itu bukan demi kepentingan pribadinya, tapi demi kepentingan
pengembangan Islam dan kepentingan kaum muslimin juga. Kalau mereka masuk Islam
maka diharapkan semua rintangan yang membentang di hadapan para dai dan dakwah
Islam bisa disingkirkan. Ibnu Ummi Maktum mengulang-ngulang harapannya itu
sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam makin kesal dan gusar karena
ia telah mengganggu pembicaraannya dengan para tamunya itu. Rasa benci nampak
diwajahnya dengan mengerutkan mukanya dan juga memalingkan pandangannya.
Disini, Allah berfirman dengan jelas dan tegas, dan mencela sikap Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam seorang yang memiliki akhlak yang luhur.
Firman-Nya,
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang
buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari
dosa). atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu memberi
manfa’at kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu
melayaninya. (Q.,. ‘Abasa: 1-6)
Sejak itulah, kata ats-Tsauri, kalau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam melihat Ibnu Ummi Maktum datang, beliau menggelar baju luarnya seraya
bersabda, “Selamat datang sahabat, yang kau dicela Tuhanku karenannya! Apa kau
memerlukan sesuatu?”
Renungan
Kami ucapkan selamat kepadamu, sahabat Rasulullah, atas darmabaktimu
terhadap agama Islam dan kaum muslimin, dan dengan ganjaransurga Tuhanmu yang
kau raih.
Seorang yang buta matanya, tetapi tajam matahatinya. Allah Ta’ala
mengabadikan namanya dalam Al-Qur’anul Karim, sekaligus diproklamasikan
berdirinya suatu negara orang-orang saleh yang berbudi luhur, suatu negara pemeluk
Ilahi di muka bumi. Ia sebagai proklamasi bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan
keimanan harus ditegakkan. Hak asasi manusia untuk bersaing secara sehat dan
untuk mendapatkan persamaan dan keadilan dijamin untuk merealisasikan
firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang termulia di antara kalian di sisi
Allah ialah yang paling bertaqwa.”
Sejak saat itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyambut
baik kedatangan para sahabatnya yang terbilang lemah dan miskin, yang ternyata
kemudian suara mereka menggema ke seluruh permukaan bumi, mengumandangkan suara
perdamaian, keadilan persamaan, dan persaudaraan. Mereka pancarkan cahaya agama
Alah Ta’ala untuk menghalau kegelapan dan kesesatan; mereka berusaha keras
menanggulangi kebodohan dan kemiskinan; dunia menyambut kedatangan mereka
sebagai pemimpin dan guru.
Segelintir orang keluar dari tengah-tengah gurun pasir yang gersang ,
pergi mengembara ke Timur, menerobos benteng Cina yang besar, mengembangkan
agama Allah Ta’ala sampai ke pedalaman negeri itu. Mereka mengembangkan agama
Allah ke India
dan kepulauan-kepulauan di Lautan Teduh, lalu berhasil menerobos ke Eropa, maka
bertemulah Timur dan Barat dalam pengakuan Islam. Pasukan Maslamah bin Abdul
Malik berhasil menaklukan Konstantinopel di sebelah Timur, sedangkan pasukan
Abdurrahman al-Ghafiqi berhasil membebaskan Iberia (Spanyol dan Portugal) dari
sebelah barat, sehingga para pelaut Islam menguasai Laut Tengah sepenuhnya,
memiliki dan mengawasi keamanan pulau-pulau yang ada, sehingga pelayaran antar pulau-pulai
itu, Sicilia, Siprus, dan Koriska, tempat Napoleon diasingkan, berjalan dengan
lancar dan aman. Salah seorang penyair menggambarkan masa jaya itu sebagai
berikut.
“Dahulu, mereka hanyalah penggembala unta sebelum kebangkitannya.
Sesudah itu, mereka penuhi alam raya ini dengan peradaban.
Apabila menara masjid di tengah negeri Cina mengumandangkan azan, Anda akan mendengarkan di negeri Maghribi suara tahlil orang shalat.”
Sesudah itu, mereka penuhi alam raya ini dengan peradaban.
Apabila menara masjid di tengah negeri Cina mengumandangkan azan, Anda akan mendengarkan di negeri Maghribi suara tahlil orang shalat.”
0 komentar:
Posting Komentar