Judul : Api Sejarah
Penulis : Ahmad Mansur Suryanegara
Penerbit : Salamadani
Cetakan: I, Juli 2009
Tebal : xxii + 584 hlm
SEJARAH memang hanya urusan masa lalu, karena sifatnya yang tak bisa diubah.
Tapi, dampaknya boleh jadi akan terus dirasakan sampai kapan pun. Di sinilah
perlunya untuk dipikirkan kembali prihal suatu sejarah yang telah mapan.
Lebih-lebih jika sejarah itu menyangkut dan menempati posisi strategis dalam
konteks berbangsa dan bernegara.
Misal, penulisan sejarah Islam Indonesia dan kiprah muslim dalam perjuangan
melawan penjajah. Sejarah itu merupakan rekam jejak penting bagi kaum muslim
Indonesia. Sejarah tumbuh, kembang, dan jatuh bangunnya peradaban Indonesia
tidak bisa dilepaskan dari peran kaum muslim terdahulu. Bahkan sejarah
berdirinya Indonesiadiakui atau tidaktidak dapat dilepaskan dari peranan kaum
muslim.
Diakui atau tidak, peradaban bangsa Indonesia yang kini ada merupakan proses
panjang yang sarat nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan yang tak ternilai
harganya oleh kaum muslim terdahulu. Namun, fakta-fakta penting bisa jadi masih
belum terungkap dan terakses oleh masyarakat dari generasi ke generasi. Kita
hanya tahu bahwa kaum muslim ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Ya, hanya sampai di situ. Dan kita pun manut dengan penulisan
sejarah Islam tanpa menelaah lebih jauh. Padahal, hal itu menyisakan sejumlah
pertanyaan dan masalah. Misalnya, dapatkah kita membedakan antara kemunculan
Islam dan perkembangannya di Indonesia; mengapa situs-situs Islam terutama di
Jawa Barat dan Banten tidak terawat, lainnya halnya dengan situs-situs Hindu
dan Budha, semisal candi Borobudur dan Prambanan. Masih banyak lagi.
Dalam konteks itulah buku Api Sejarah ditulis. Ahmad Mansur Surya Negara, Sang
penulisnya, memaparkan bahwa penulisan sejarah telah dijadikan alat oleh
penjajah untuk mengubah wawasan generasi muda Islam Indonesia tentang masa lalu
perjuangan bangsa dan negaranya. Maksud dari upaya penjajah tersebut adalah
untuk menghilangkan kesadaran umat Islam dalam perjuangannya.
Salah satunya adalah merancukan antara Islam masuk dan saat perkembangannya.
Padahal, menurut Ahmad, kedua hal tersebut jauh berbeda pengertiannya. Beberapa
fakta dia paparkan. Selama ini yang populer Islam masuk ke Indonesia adalah
abad ke-13 melalui Aceh. Buktinya adalah terdapat kerajaan Samudra Pasai yang
menganut ajaran Islam. Fakta tersebut ada yang patut dipertanyakan, mungkinkah
Islam begitu masuk ke Samudra Pasai langsung mendirikan kekuasaan politik?
Kata Ahmad ada fakta lain yang lebih shahih. Pada abad ke-11, di pulau Jawa
telah berdiri pula kekuasaan politik Islam di Leran, Gresik, Jawa Timur yang
didirikan oleh Fatimah binti Maimun. Pendirian kekuasaan politik Islam tersebut
hampir bersamaan waktunya dengan tahta kekuasaan politik Hindu di Kediri, Jawa
Timur, di bawah Raja Airlangga.
Berdirinya kekuasaan politik Islam di Gresik jauh sebelum kerajaan Majapahit di
Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, pada 1294. Keberadaan nisan Fatimah binti
Maimun (di Gresik) karena bersifat nisan tunggal, oleh sejarawan tidak diakui
keberadaannya.
Dari fakta sejarah ini, tergambarkan bahwa kekuasaan politik Hindu, Budha, dan
Islam dapat dikatakan hampir mempunyai kesamaan waktu keberadaannya di
Indonesia. Hanya dalam perjalanan sejarah berikutnya, agama Islam berhasil
memenangkan massa mayoritas. Jadi, kemunculan Islam di Indonesia jauh melebihi
yang kita perkirakan.
Demi memperkuat argumen di atas, Ahmad mencoba memetakan Indonesia dalam
konteks global. Dia membahas terlebih dahulu perkembangan Islam di timur
tengah, asia afrika, dan eropa sebelum dan sesudah meninggalnya Nabi Muhammad
(632 H), setelah itu barulah masuk pembahasannya ke Indonesia. Ahmad menganggap
bahwa pembahasan seperti itu perlu dilakukan karena segenap perubahan yang
terjadi di timur tengah, asia afrika, dan eropa pada masa Nabi Muhammad sebelum
dan sudah wafatnya sangat berpengaruh terhadap masuk dan perkembangan Islam di
Indonesia.
Saat membahas eropa, ada hal yang menarik dari analisa Ahmad prihal
imperialisme Barat. Jadi, pada saat pudarnya kekuasaan Hindu dan Budha serta
berkembangnya kekuasaan Islam, datanglah prahara imperialisme Barat mulai
menanamkan kekuasaannya di Indonesia. Diawali dengan masuknya Portugis
menduduki Malaka, pada 1511. dan diikuti Belanda menduduki Jayakarta, pada
1619. Timbulnya imperialisme barat sendiri adalah sebentuk usaha untuk
menaklukkan Islam. Ide ini dibangun oleh Vatikan, Portugis dan Spanyol pada
abad ke-15 M.
Pihak Vatikan memberikan kewenangan kepada kerajaan Portugis untuk menguasai
dunia belahan timur, sedang kerajaan Spanyol diberikan kewenangan untuk
menguasai dunia belahan barat. Dalam perkembangannya, gerakan komunis menentang
imperialisme barat tersebut. Tidak heran jika Karl Marx, penganut komunisme,
menolak ajaran agama. Dia menilai agama sebagai candu, dan agama identik dengan
alat penjajahan, buat menidurkan rakyat yang ditindas oleh pemerintah penjajah
yang didukung oleh Vatikan untuk merealisasikan tujuannya, yaitu tiga G: God,
Glory, and Gospel.
Oleh karena itu, tidak heran ketika imperialisme barat (baca: Portugis dan
Belanda) bercokol di Indonesia mencoba "menaklukkan" masyarakat muslim, di
samping karena sering mendapat perlawanan yang sengit namun juga menjadi embiro
istilah `nasionalisme'. Salah satu upayanya adalah "menghancurkan" situs-situs
Islam dan menonjolkan situs-situs Hindu dan Budha. Di antara usaha itu adalah
pemerintah Belanda memugar candi Borobudur dan candi Prambanan.
Dari upaya rekonstruksi sejarah, pemugaran candi dan patung, serta pembacaan
ulang prasasti Hindu dan Budha, ditargetkan akan memudahkan upaya menghidupkan
kembali ajaran Hindu dan Budha. Dengan demikian akan tergeserlah pengaruh
Islam. Sebaliknya, peninggalan Islam dibiarkan begitu saja. Salah satunya
peninggalan sejarah Banten, yaitu kerajaan Banten. Bekas kesultanan Banten itu
pun dibiarkan rata dengan tanah. Jadi, kebangkitan semangat keislaman
masyatakat Banten yang pernah berjaya diperhitungkan akan sangat membahayakan
eksistensi Batavia pada waktu itu. Oleh karena itu harus dihancurkan.
Dengan begitu, keberadaan Belanda akan aman dan tidak lagi menemui perlawanan
karena kalangan penganut Hindu dan Budha ditargetkan akan berpihak kepada
pemerintah Belanda. Sungguh, pemerintah Belanda sangat khawatir akan bangkitnya
kesadaran sejarah masyarakat muslim.
Buku yang ketebalannya mencapai 584 halaman ini boleh dibilang sangat antusias
untuk memaparkan sejarah Islam Indonesia dari kemunculannya hingga tahun 1950.
Fakta-fakta lainnya dalam buku ini jarang ditemukan dalam buku-buku sejarah
Islam Indonesia sehingga cukup menggelitik untuk ditelaah lebih jauh. Namun,
referensi yang dipakai sang penulis dalam menggunakan argumentasinya memaksa
kita untuk berpikir dua kali untuk membantahnya.
Hanya saja, patut disayangkan, buku ilmiah ini sedikit "ternoda" oleh ambisi
sang penulis sendiri yang kentara sekali ingin memunculkan istilah ulama dan
santri. Kesan yang saya tangkap bahwa yang dimaksud kaum muslim dalam
perjuangan pada zaman pra dan pasca kemerdekaan hanyalah ulama dan santri.
Tentu, hal itu mengecilkan kaum muslim sendiri yang notabene-nya banyak kaum
muslim yang berada di luar dua kelompok itu. Mestinya, dijelaskan terlebih
dahulu apa yang dimaksud `ulama' dan `santri' itu?
Selain itu, beberapa hal juga sedikit mengganggu dalam membaca buku ini,
seperti di halaman 100 paragraf kedua, mestinya di situ ditulis `sunni' bukan
`ahlush shunnah wal jama'aah', karena dikontraskan dengan `syi'ah'. Dalam hal
penulisan juga masih banyak ditemukan kesalahan, seperti `wirauswasta' yang
mungkin dimaksud adalah `wiraswasta'. Hal ini termasuk dalam judul. Jika di
cover depannya tertulis judul kecilnya Buku yang akan Mengubah Drastis
Pandangan Anda Tentang Sejarah Indonesia sedang di halaman Pembuka-nya (hlm.
23), sang penulis menulis judul kecilnya Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri,
Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, mana yang benar? [M.Iqbal
Dawami]
Resensi Buku ; Api Sejarah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar