
Judul : Percikan (Kumpulan Twitter @gm_gm)
Penulis : Goenawan Mohamad
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2011
Tebal : ix + 320
Harga : Rp. 65.000
Dunia virtual merupakan media alternatif yang demokratis. Artinya, ia hadir dengan terlepasnya pakem-pakem seperti yang melekat pada media tradisional seperti surat kabar maupun televisi.
Dengan
begitu, setiap individu yang memiliki akses ke jaringan internet, dapat
menjadikannya medium komunikasi. Setiap hal dapat dikomunikasikan
secara bebas, mulai dari ide, gagasan, opini, sindiran ataupun kecaman.
Twitter,
sebagai media sosial di dunia virtual, memiliki karakter yang sama.
Tidak mengherankan jika Twitter terpilih juga sebagai medium komunikasi.
Twitter tak hanya terbuka, melainkan resisten terhadap intervensi.
Tidak
salah jika Goenawan Mohammad memilih Twitter untuk melemparkan pecahan
gagasannya. Ia seakan dapat melihat bahwa media ini punya kekuatan
tersendiri, apalagi akunnya memiliki puluhan ribu pengikut (followers).
Kumpulan celetukhan--demikian Goenawan mengistilahkannya--merupakan tweet Goenawan yang dimulai pada akhir tahun 2009. Hingga Agustus 2011 jumlah tweet yang ia sampaikan hampir mendekati 18.000 buah.
Keseluruhan tweet
ini dikumpulkan menjadi beberapa kategori. Kategori tersebut antara
lain media dan informasi, politik dan demokrasi, ekonomi dan
konsumerisme, bangsa dan negara, hingga tokoh dan sejarah.
Adalah usaha yang pantas untuk dihargai untuk mengumpulkan tweet Goenawan dalam sebuah antologi. Pasalnya, memang banyak ide, pernyataan ataupun pemikiran yang layak didokumentasikan.
Semua
itu disampaikan secara beragam oleh Goenawan, ada yang bernada pedas,
penuh sindiran, bahkan humor. Ini yang membuat kumpulan tweet ini lebih bercitarasa, ringan, namun tetap perlu dikulum agar "manisnya" terasa.
Meskipun
demikian, Goenawan tetap kritis. Sesuatu yang busuk akan tetap ia
katakan busuk. Ia bahkan tidak segan untuk keras menunjuk "orang-orang
di Senayan" sebagai hipokritan yang rakus kekuasaan dan doyan fulus.
Kategorisasi ini menjadi cara yang pas untuk memahami satu per satu tweet Goenawan. Pasalnya, jika tweet ini dibaca secara terpisah dalam medium yang berbeda-beda, maka tweet ini menjadi "tidak" berbunyi apa-apa.
Hal
yang kurang dari buku ini adalah tidak adaanya latar belakang dari
tweet yang ditulis oleh Goenawan. Padahal latar hal ini akan
mengembalikan ingatan seseorang pada peristiwa yang dimaksud oleh
Goenawan.
Pembaca mutakhir mungkin dapat memahami tweet
Goenawan. Namun jika buku ini kelak dibaca oleh mereka yang saat ini
masih berusia belasan tahun, barangkali apa yang disampaikan oleh
Goenawan tak lagi punya makna.
Lihat saja tweet
Goenawan pada halaman 132 tentang "cicak dan buaya". Bayangkan, pada
saat itu makna "cicak" dan "buaya" mungkin sudah tidak lagi sama dengan
saat ini.
Atau tweet mengenai Nurdin Halid yang disindir akan membuat pakaian ala pemimpin Libya M Khadafi. Tweets ini tidak akan punya makna jika pembaca tidak paham sejarah Libya.
Tetapi tweet memang sebuah celetukhan spontan
yang dapat ditulis dari manapun dan dalam kondisi apapun. Tweet
bukanlah sebuah esai yang ditulis dengan persiapan, referensi atau bahan
khusus.
Fahrie Schitzo
0 komentar:
Posting Komentar