http://hminews.com/news/gunung-padang-mengambil-hikmah-tragedi-gunung-salak-menguak-tabir-ancient-technology/Baru-
ba
ru ini kita dikagetkan dengan tragedi Pesawat Sukhoi yang jatuh di Gunung Salak Bogor Jawa Barat. Berbagai pro kontra dan tentu saja spekulasi para pengamat dan yang berkepentingan mulai bermunculan, mulai dari kesalahan “human error”, factor cuaca, atau teknologi pesawat sendiri yang tidak memadai. Bahkan di sudut lain, tragedi yang menewaskan kurang lebih 45 penumpang pesawat tersebut dihubungkan dengan sesuatu yang mistik. Mereka menganggap pesawat tersebut ditarik oleh jin yang bersemayam di Gunung Salak, karena Gunung Salak dulunya tempat “nilem” kerajaan Padjadjaran.
Terlepas dari pro kontra ilmiah dan tidak ilmiah (mistik), jika ditelaah ke belakang, tragedi pesawat Sukhoi tersebut tidak saja yang kali pertama, melainkan sudah beberapa kejadian pesawat mengalami kecelakaan yang menyebabkan tewasnya pilot dan penumpang di Gunung Salak. Dan sampai sekarang pun belum ditemukan secara akurat sebab-akibat berbagai kecelakaan pesawat di daerah Gunung Salak.
Salah seorang praktisi teknologi asal Jawa Barat dan penemu Bahan Bakar Air, HYDRINNTANA, Dicky Zainal Arifin memiliki pendapat lain mengenai sebab akibat kecelakaan yang sering terjadi di Gunung Salak, seperti yang dialami oleh Pesawat Sukhoi. Menurutnya kejadian jatuhnya pesawat terbang yang sering terjadi di Gunung Salak dikarenakan adanya Anomali Magnetik dari “Ancient Technology” yang sama seperti fenomena di Gunung Padang sebagai Situs Megalith di Cianjur. Hal itu bisa terjadi apabila jarak dan ketinggian pesawat berada dalam radius pengaruh dari Anomali Magnetik tersebut.
Herannya, menurut lelaki yang pandai memainkan musik ini menilai, para ahli tidak pernah tertarik menyelidiki jatuhnya pesawat terbang di daerah tersebut dari tahun ke tahun. Keadaan itu seakan-akan diam yang mengakibatkan muncul anggapan hal itu adalah mistis. Padahal sebenarnya daerah tersebut merupakan tempat Anomali Magnetik yang mempengaruhi sistem pelontar radar sehingga menjadi “distorsi”, bahkan kadang semua elemen pesawat, seperti radar, air control, mesin menjadi mati.
Menurutnya, Gunung Salak memiliki sejenis Relay Magnetik dengan kekuatan besar sebagai sarana kesinambungan dari sistem peringatan dini bencana (mitigasi bencana), yang terhubung ke seluruh dunia, termasuk ke Gunung Padang di Cianjur, bakan hingga Piramida Saqara di Mesir. Lalu, apa hubungannya dengan Gunung Padang? Apakah di Gunung Padang juga ada Ancient Tecknology seperti di Gunung Salak?
Pertanyaan ini sengaja dimunculkan oleh penulis, karena dilalahnya, saat tragedi Sukhoi yang kemudian dihubungkan dengan Pendapat Praktisi Teknologi, Dicky Zainal Arifin, secara bersamaan juga telah dilakukan penelitian mengenai Situs Megalith Gunung Padang di Cianjur Jawa Barat. Mungkinkah fenomena Gunung Salak persis serupa dengan Gunung Padang?
Penelitian “Tidak Sengaja”
Pada seminar 7 Februari 2012 yang lalu tentang “Menguak tabir peradaban dan bencana katastropik purba di nusantara untuk memperkuat karakter dan ketahanan nasional” di Gedung Krida Bakti yang diadakan oleh Tim Peneliti Bencana Katastropik Purba seakan membuka tabir yang selama ini tertutup. Dalam salah satu sesi sambutannya, Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Andi Arief menjelaskan terlebih dahulu kenapa Tim Katastropik Purba yang diinisiasi olehnya tiba-tiba “secara tidak sengaja” menemukan “sesuatu” di Gunung Padang.
Awalnya, Tim Katastropik Purba dibentuk untuk mendapatkan pengetahuan tentang bencana yang terjadi di masa lampau. Karena diyakini, bencana tersebut memiliki siklus yang berpotensi mengalami pengulangan, entah 10 tahunan, 100 tahunan atau bahkan 1000 tahunan. Riset awal tim ini melakukan penelitian terutama keterkaitan antara kejadian bencana di masa silam dengan peradaban masa lalu yang musnah untuk dibandingkan dan menjadi kajian mitigasi bencana masa kini.
Tim yang beranggotakan para Ahli Geologi dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia, LIPI, BPPT, GREAT ITB, Arkeolog dan Ahli Sejarah ini melakukan riset melalui data kebencanaan dan anomali Gunung Sadahurip di Garut. Secara bersamaan pula, Tim bentukan Staf Khusus Andi Arief ini mengembangkan riset di tempat lain seperti di Banda Aceh, Trowulan, Karawang, dan Gunung Padang di Cianjur.
Alkisah, ternyata riset di Gunung Padang Cianjur menunjukan kemiripan seperti pada riset pertama di Gunung Sadahurip Garut. Di Gunung Padang, tim menemukan bangunan yang terpendam berupa MAN MADE STRUCTURES. Bahkan dari analisis morfologi Gunung Padang sendiri, sudah jelas memperlihatkan sebuah gundukan besar di kaki sebuah punggungan dari Gunung Karuhun (perbukitan tinggi di selatan Gunung Padang). Artinya, interpretasi geologi yang paling memungkinkan adalah daerah tersbeut merupakan gunung api purba atau intrusi batuan beku. Akan tetapi dari hasil lintasan survey GEOLISTRIK yang menggunakan SUPERSTING R8 tidak mendukung pada interpretasi gunung api purba.
Selain itu, dari data hasil riset awal yang dipresentasikan pada seminar di Sekretariat Negara 7 Februari 2012 lalu, tim menyebutkan ditemukannya berupa selang seling antara lapisan kolom andesit yang ditata dan lapisan tanah-lanau. Lapisan kolom andesit yang ditatat itu sebagian ditata horizontal dan sebagian lagi miring. Tim juga menjelaskan menemukan pasir yang sangat halus di setiap kedalaman dengan jenis dan bentuk yang berbeda. Ada pasir kasar, pasir setengah kasar, juga ada pasir yang sangat halus dengan ukuran micron.
Bahkan uniknya, berdasarkan carbon dating yang dilakukan, Tim Katastropik Purba menyebut Situs Megalith Gunung Padang ini sudah ada sejak 10.000 Sebelum Masehi.
Hasil ini terbilang mengejutkan. Sebab, dengan penanggalan ini Situs Megalith Gunung Padang berpotensi menjadi bangunan tertua di dunia. Sebagai perbandingan, piramid-piramid tua di Mesir diduga berasal dari 2.500 hingga 3.000 SM. Atau bandingkan dengan Stonehenge Amesbury di Wiltshire, Inggris yang diperkirakan berasal dari 3.500 hingga 5.000 SM.
Begitu pula dengan design Situs Megalith Gunung Padang yang diduga bukan pekerjaan sembarangan, tetapi hasil olahan arsitektur yang luar biasa. Bahkan salah satu nara sumber yang mepresentasikan hasil penelitiannya setelah membandingkan dengan Piramid Maya di Peru, Michu-Pichu, mantan ketua Ikatan Ahli Arsitektur Jawa Barat, Pon Purajatnika menyebut arsitektur Gunung Padang persis sama dengan Michu-Pichu. Pon juga sudah membuat rekontruski Situs Gunung Padang yang disketsa dari puncak hingga dasar sungai Cimanggu yang tingginya 200 meter. Ini berarti, sebuah Bangunan mirip Piramida yang sangat Besar, lebih besar Piramid Saqara Mesir atau Michu-Pichu Peru.
Hikmah Riset Menguak Tabir
Pertanyaan kemudian, apakah riset tersebut hanya sampai menguak MAN MADE STRUCTURES?
Penulis melihat riset yang sudah dilakukan ini hendaknya terus dilakukan hingga menjadi “sesuatu” yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar, bangsa, dan negara. Atau minimal berkaca pada tragedi Sukhoi yang menambrak Gunung Salak yang diduga terdapat Anomali Magnetik, maka alangkah baiknya juga riset ini dilakukan untuk membantu keselamatan penerbangan di Indonesia, termasuk eskavasi atau pengungkapan untuk membuktikan hasil riset yang telah dilakukan Tim Katastropik Purba.
Alhasil, tahap riset yang sudah dilakukan Tim katastropik yang berlanjut ke tahap eskavasi atau pengungkapan untuk proses pembuktian hendaknya dipandang secara arif dan bijaksana. Karena riset tersbeut membutuhakn bukti-bukti di lapangan untuk memperkuat hasil-hasil riset tersebut. Banyak hikmah yang dapat diterima oleh bangsa ini ketika pembuktian riset tersebut membuahkan hasil. Karena bias jadi, eksotika Gunung Padang akan lebih menarik wisatawan untuk mengunjungi bahkan melakukan riset (kembali) sebagai pusat peradaban dunia. Tentunya, “multiplier effect” dari eskavasi nanti akan menguntungkan bagi pemasukan daerah dan juga masyarakat sekitar. Penginapan, restoran, makanan, ketersedian pasokan makanan dan minuman, akomodasi, jasa wisatawan, guide-gudie pariwisata dan sebagainya tumbuh subur di daerah tersebut.
Akan tetapi yang paling berharga dari eskavasi atau pembuktian riset tersebut adalah agar cara pandang bangsa ini yang selalu inferior dapat berubah maju dan menggeliat dengan jalan menunjukan semangat kesadaran sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi. Kesadaran ini setidaknya akan memunculkan “efek domino” bagi sikap hidup untuk melihat maju ke depan.
Walthanzhur nafsun maa qoddamat lighod, artinya; hendaklah melihat masa lalu untuk (menghadapi) masa sekarang dan yang akan datang, tidak lain agar manusia melakukan riset, penelitian, juga pembuktian terhadap fenomena masa lalu untuk membuat strategi di masa sekarang dan yang akan datang. Mudah-mudahan dengan dilakukannya riset dan eskavasi ini membuka hikmah menguak tabir teknologi bagi kemandirian bangsa dan Negara. Wallahu’alam bishawab.
AZHAR.M.F
ru ini kita dikagetkan dengan tragedi Pesawat Sukhoi yang jatuh di Gunung Salak Bogor Jawa Barat. Berbagai pro kontra dan tentu saja spekulasi para pengamat dan yang berkepentingan mulai bermunculan, mulai dari kesalahan “human error”, factor cuaca, atau teknologi pesawat sendiri yang tidak memadai. Bahkan di sudut lain, tragedi yang menewaskan kurang lebih 45 penumpang pesawat tersebut dihubungkan dengan sesuatu yang mistik. Mereka menganggap pesawat tersebut ditarik oleh jin yang bersemayam di Gunung Salak, karena Gunung Salak dulunya tempat “nilem” kerajaan Padjadjaran.
Terlepas dari pro kontra ilmiah dan tidak ilmiah (mistik), jika ditelaah ke belakang, tragedi pesawat Sukhoi tersebut tidak saja yang kali pertama, melainkan sudah beberapa kejadian pesawat mengalami kecelakaan yang menyebabkan tewasnya pilot dan penumpang di Gunung Salak. Dan sampai sekarang pun belum ditemukan secara akurat sebab-akibat berbagai kecelakaan pesawat di daerah Gunung Salak.
Salah seorang praktisi teknologi asal Jawa Barat dan penemu Bahan Bakar Air, HYDRINNTANA, Dicky Zainal Arifin memiliki pendapat lain mengenai sebab akibat kecelakaan yang sering terjadi di Gunung Salak, seperti yang dialami oleh Pesawat Sukhoi. Menurutnya kejadian jatuhnya pesawat terbang yang sering terjadi di Gunung Salak dikarenakan adanya Anomali Magnetik dari “Ancient Technology” yang sama seperti fenomena di Gunung Padang sebagai Situs Megalith di Cianjur. Hal itu bisa terjadi apabila jarak dan ketinggian pesawat berada dalam radius pengaruh dari Anomali Magnetik tersebut.
Herannya, menurut lelaki yang pandai memainkan musik ini menilai, para ahli tidak pernah tertarik menyelidiki jatuhnya pesawat terbang di daerah tersebut dari tahun ke tahun. Keadaan itu seakan-akan diam yang mengakibatkan muncul anggapan hal itu adalah mistis. Padahal sebenarnya daerah tersebut merupakan tempat Anomali Magnetik yang mempengaruhi sistem pelontar radar sehingga menjadi “distorsi”, bahkan kadang semua elemen pesawat, seperti radar, air control, mesin menjadi mati.
Menurutnya, Gunung Salak memiliki sejenis Relay Magnetik dengan kekuatan besar sebagai sarana kesinambungan dari sistem peringatan dini bencana (mitigasi bencana), yang terhubung ke seluruh dunia, termasuk ke Gunung Padang di Cianjur, bakan hingga Piramida Saqara di Mesir. Lalu, apa hubungannya dengan Gunung Padang? Apakah di Gunung Padang juga ada Ancient Tecknology seperti di Gunung Salak?
Pertanyaan ini sengaja dimunculkan oleh penulis, karena dilalahnya, saat tragedi Sukhoi yang kemudian dihubungkan dengan Pendapat Praktisi Teknologi, Dicky Zainal Arifin, secara bersamaan juga telah dilakukan penelitian mengenai Situs Megalith Gunung Padang di Cianjur Jawa Barat. Mungkinkah fenomena Gunung Salak persis serupa dengan Gunung Padang?
Penelitian “Tidak Sengaja”
Pada seminar 7 Februari 2012 yang lalu tentang “Menguak tabir peradaban dan bencana katastropik purba di nusantara untuk memperkuat karakter dan ketahanan nasional” di Gedung Krida Bakti yang diadakan oleh Tim Peneliti Bencana Katastropik Purba seakan membuka tabir yang selama ini tertutup. Dalam salah satu sesi sambutannya, Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Andi Arief menjelaskan terlebih dahulu kenapa Tim Katastropik Purba yang diinisiasi olehnya tiba-tiba “secara tidak sengaja” menemukan “sesuatu” di Gunung Padang.
Awalnya, Tim Katastropik Purba dibentuk untuk mendapatkan pengetahuan tentang bencana yang terjadi di masa lampau. Karena diyakini, bencana tersebut memiliki siklus yang berpotensi mengalami pengulangan, entah 10 tahunan, 100 tahunan atau bahkan 1000 tahunan. Riset awal tim ini melakukan penelitian terutama keterkaitan antara kejadian bencana di masa silam dengan peradaban masa lalu yang musnah untuk dibandingkan dan menjadi kajian mitigasi bencana masa kini.
Tim yang beranggotakan para Ahli Geologi dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia, LIPI, BPPT, GREAT ITB, Arkeolog dan Ahli Sejarah ini melakukan riset melalui data kebencanaan dan anomali Gunung Sadahurip di Garut. Secara bersamaan pula, Tim bentukan Staf Khusus Andi Arief ini mengembangkan riset di tempat lain seperti di Banda Aceh, Trowulan, Karawang, dan Gunung Padang di Cianjur.
Alkisah, ternyata riset di Gunung Padang Cianjur menunjukan kemiripan seperti pada riset pertama di Gunung Sadahurip Garut. Di Gunung Padang, tim menemukan bangunan yang terpendam berupa MAN MADE STRUCTURES. Bahkan dari analisis morfologi Gunung Padang sendiri, sudah jelas memperlihatkan sebuah gundukan besar di kaki sebuah punggungan dari Gunung Karuhun (perbukitan tinggi di selatan Gunung Padang). Artinya, interpretasi geologi yang paling memungkinkan adalah daerah tersbeut merupakan gunung api purba atau intrusi batuan beku. Akan tetapi dari hasil lintasan survey GEOLISTRIK yang menggunakan SUPERSTING R8 tidak mendukung pada interpretasi gunung api purba.
Selain itu, dari data hasil riset awal yang dipresentasikan pada seminar di Sekretariat Negara 7 Februari 2012 lalu, tim menyebutkan ditemukannya berupa selang seling antara lapisan kolom andesit yang ditata dan lapisan tanah-lanau. Lapisan kolom andesit yang ditatat itu sebagian ditata horizontal dan sebagian lagi miring. Tim juga menjelaskan menemukan pasir yang sangat halus di setiap kedalaman dengan jenis dan bentuk yang berbeda. Ada pasir kasar, pasir setengah kasar, juga ada pasir yang sangat halus dengan ukuran micron.
Bahkan uniknya, berdasarkan carbon dating yang dilakukan, Tim Katastropik Purba menyebut Situs Megalith Gunung Padang ini sudah ada sejak 10.000 Sebelum Masehi.
Hasil ini terbilang mengejutkan. Sebab, dengan penanggalan ini Situs Megalith Gunung Padang berpotensi menjadi bangunan tertua di dunia. Sebagai perbandingan, piramid-piramid tua di Mesir diduga berasal dari 2.500 hingga 3.000 SM. Atau bandingkan dengan Stonehenge Amesbury di Wiltshire, Inggris yang diperkirakan berasal dari 3.500 hingga 5.000 SM.
Begitu pula dengan design Situs Megalith Gunung Padang yang diduga bukan pekerjaan sembarangan, tetapi hasil olahan arsitektur yang luar biasa. Bahkan salah satu nara sumber yang mepresentasikan hasil penelitiannya setelah membandingkan dengan Piramid Maya di Peru, Michu-Pichu, mantan ketua Ikatan Ahli Arsitektur Jawa Barat, Pon Purajatnika menyebut arsitektur Gunung Padang persis sama dengan Michu-Pichu. Pon juga sudah membuat rekontruski Situs Gunung Padang yang disketsa dari puncak hingga dasar sungai Cimanggu yang tingginya 200 meter. Ini berarti, sebuah Bangunan mirip Piramida yang sangat Besar, lebih besar Piramid Saqara Mesir atau Michu-Pichu Peru.
Hikmah Riset Menguak Tabir
Pertanyaan kemudian, apakah riset tersebut hanya sampai menguak MAN MADE STRUCTURES?
Penulis melihat riset yang sudah dilakukan ini hendaknya terus dilakukan hingga menjadi “sesuatu” yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar, bangsa, dan negara. Atau minimal berkaca pada tragedi Sukhoi yang menambrak Gunung Salak yang diduga terdapat Anomali Magnetik, maka alangkah baiknya juga riset ini dilakukan untuk membantu keselamatan penerbangan di Indonesia, termasuk eskavasi atau pengungkapan untuk membuktikan hasil riset yang telah dilakukan Tim Katastropik Purba.
Alhasil, tahap riset yang sudah dilakukan Tim katastropik yang berlanjut ke tahap eskavasi atau pengungkapan untuk proses pembuktian hendaknya dipandang secara arif dan bijaksana. Karena riset tersbeut membutuhakn bukti-bukti di lapangan untuk memperkuat hasil-hasil riset tersebut. Banyak hikmah yang dapat diterima oleh bangsa ini ketika pembuktian riset tersebut membuahkan hasil. Karena bias jadi, eksotika Gunung Padang akan lebih menarik wisatawan untuk mengunjungi bahkan melakukan riset (kembali) sebagai pusat peradaban dunia. Tentunya, “multiplier effect” dari eskavasi nanti akan menguntungkan bagi pemasukan daerah dan juga masyarakat sekitar. Penginapan, restoran, makanan, ketersedian pasokan makanan dan minuman, akomodasi, jasa wisatawan, guide-gudie pariwisata dan sebagainya tumbuh subur di daerah tersebut.
Akan tetapi yang paling berharga dari eskavasi atau pembuktian riset tersebut adalah agar cara pandang bangsa ini yang selalu inferior dapat berubah maju dan menggeliat dengan jalan menunjukan semangat kesadaran sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi. Kesadaran ini setidaknya akan memunculkan “efek domino” bagi sikap hidup untuk melihat maju ke depan.
Walthanzhur nafsun maa qoddamat lighod, artinya; hendaklah melihat masa lalu untuk (menghadapi) masa sekarang dan yang akan datang, tidak lain agar manusia melakukan riset, penelitian, juga pembuktian terhadap fenomena masa lalu untuk membuat strategi di masa sekarang dan yang akan datang. Mudah-mudahan dengan dilakukannya riset dan eskavasi ini membuka hikmah menguak tabir teknologi bagi kemandirian bangsa dan Negara. Wallahu’alam bishawab.
AZHAR.M.F
0 komentar:
Posting Komentar