Politik “Devide et Impera”
Para pelajar sekolah menengah yang mempelajari sẹjarah
di Indonesia
pasti tahu devide et impera
sebagai politik yang dianut penjajah kafir kolonial Belanda dalam mengguasai wilayah Nusantara.
Dengan memecah belah rakyat, satu persatu pulau-pulau di Nusantara ditaklukan.
Di Banten, Belanda mengadu Sultan Haji dengan ayahnya sendiri, Sultan Ageng
Tirtayasa. Setelah Sultan Ageng tersingkir, Belanda pun dengan leluasa ‘mendikte’
Sultan Haji menuruti kehendak mereka. Di Mataram mereka menggunakan Patih
Danurejo untuk menggoyang kepemimpinan Sultan Agung. Di Makasar, penjajah kafir
sengaja memanas-manasi Raja Bone Aru Palaka menentang Sultan Hasanuddin.
Sejarah kemudian mencatat, sultan pemberani bergelar ‘Ayam Jantan dari Timur’
itu terpaksa menandatangani Perjanjian Bonggaya yang dipaksakan Belanda.
Masih banyak lagi aksi serupa yang dilakonkan penjajah Belanda di berbagai
daerah di Indonnesia, yang berujung pada dikuasainnya wilayah-wilayah tersebut
oleh kafir Belanda. Sebagai suatu strategi politik, devide et impera
memang terbukti sangat ampuh memasung
kekuatan para penentang penjajah. Mereka terpaksa harus tertangkap, diasingkan
atau terbunuh lantaran dikhianati oleh teman atau kerabat yang berkolaborasi
dengan Belanda. Bahasa lain devide et impera adalah politik belah bambu.
Satu kaki menginjak ujung bawah, semenrata tangan menarik bagian atas. Ada yang digilas dan ada
yang ditindas, ada yang diangkat dan dibela, untuk kemudian- bila tak lagi
mnenguntungkan-dibuang. Sebagai taktik, menerapkkan politik belah bambu dalam
politik sah-sah saja. Karena memang strategi itulah cara terampuh menggalahkan
lawan. Itulah sebabnya Allah Ta’ala mengingatkan kita orang beriman akan
bahaya perpecahan. “Dan janganlah kamu berpecah belah, niscaya kamu akan
lemah dan hilangnya kekuatan….”(Qs. Al-anfal:46).
Namun sayang, kesadaran tentang bahaya politik belah bambu itu sering
kali terbatas sekedar jadi pengetahuan belaka, yang kerap terabaikan dalam
praktik hidup keseharian. Faktanya, umat Islam-baik dalam skala nasional maupun
global- sangat akrab dengan perpecahan dan pertikaian. Memang ada banyak faktor
yang memicu terjadinya pertikaian dan perpecahan itu. Tapi bila ditelusuri
secara seksama, akan berujung pada sifat ananiyah (ke-akuan), fanatisme
sempit dan benturan kepentingan. Apapun, kewaspadaan nampaknya mesti
ditingkatkan. Sementara semangat ukhuwah dan persatuan patut ditumbuh suburkan.
Namun, semua itu hanya utopi (belaka), jika kepentingan kelompok tetap
jadi acuan utamanya. Tanpa mengedepankan ukhuwah, kita akan tetap mudah dipecah
belah. Yang ujung-ujungnya, kita lagi-lagi jadi pecundang. Maka, ambilah
pelajaran wahai Ulil Abshar!.
isu Islam transnasioanal, dalam konteks ini, sangatlah jelas untuk
kekuatan umat Islam. dahulu umat Islam indonesia điau domba dengan isu
''tradisionalis-modernis'' (kaum tua kaum muda) ''NU-Muhammadiyyah'. sekarang,
ísu itu sudah mereda dan umat sudah menyadari kekeliruannya, maka
dimunculkanlah isu baru. barat sengaja ingin
mengadu NU-Muhammadiyyah yang sudah mulai ishlah dengan gerakan-gerakjan Islam
bảu; Pks, hTI, salafi, MMI, fpi, dan semisalnya. kalau umat Islam sampai
terprovokasi lagi dengan isu-isu murahan semacam ini
Oleh: Hadi Nur Ramadhan
0 komentar:
Posting Komentar