Revitalisasi
Turats Fikih
Para ulama Islam banyak meninggalkan karya berharga
berupa buku-buku yang telah membangun peradaban dunia tujuh abad lamanya.
Karya-karya itu kemudian mereka wariskan kepada generasi setelahnya: untuk
diolah kembali guna membangun peradaban manusia yang lebih unggul dan
berwibawa. Bukti dari itu adalah peradaban Islam yang pernah membentang dari
Baghdad ke Persia, dari Andalusia (Spanyol) ke India bahkan sampai ke
Indonesia.
Buku-buku yang menceritakan itu sangat banyak. Lihat,
misalnya peradaban Islam di Baghdad dalam Hadharat al-`Iraq, 13 Jilid
(Baghdad, 1985) yang ditulis oleh sekian pakar sejarah dan peneliti Iraq
sendiri. Mengenai
peradaban Islam di Andalusia, jejak-rekamnya dapat dilacak dalam karya Muhammad
Abdullah `Annan, Dawalat al-Islam fi al-Andalus `Ashar al-Muwahhidin (Mesir:
al-Hay’ah al-Mishriyyah al-`Ammah li al-Kitab, 2002). Bahkan, mengenai
peradaban Islam di Spanyol, orientalis William Montgomery Watt menulis satu
buku menarik, Fi Tarikh Isbaniyah al-Islamiyyah, Terj. Dr. Muhammad
Ridha al-Mishri (Beirut-Lebanon: Syarikat al-Mathbu`at li al-Tawzi` wa
al-Nasyr, cet. II, 1998 M). Dan kita tengok lebih ke Timur,
tepatnya di Maroko, dapat kita baca bahwa peradaban Islam di sana terkait erat
dengan peradaban Islam yang ada di Andalusia. Ini dapat dibaca, misalnya, dalam
kumpulan makalah para sarjana Muslim dalam buku hasil seminar mengenai
peradaban Islam di kedua negara tersebut, al-Turats al-Hadhari al-Musytarak
bayna Isbaniya wa al-Maghrib (Granada, 1-19 Syawwal 1412 H/21-23 April 1992
M).
Interaksi dengan Turats
Interaksi dengan Turats
Apa yang diulas sedikit di atas menggambarkan
bagaimana para ulama kita memberikan rambu-rambu peradaban dan peninggalan
historis yang sangat berharga dan perlu dihargai. Cara dan etika menghargai
peninggalan tersebut adalah melalui interaksi yang intens dan intim, agar
turats peradaban tersebut dapat dicerna, dikunyah, dan dikonsumi dengan baik
dan benar.
Maka, kita harus kembali melihat turats para ulama
kita, yang telah membangun peradaban dunias itu.
Cara tersebut di atas itu lah yang tengah dilakukan
dan terus dikembangkan oleh al-Markaz al-`Alami li al-Wasathiyyah,
Kuwait. Jika gambaran di atas mengisyaratkan semacam al-Fiqh al-Hadharah (Fikih
Peradaban), maka yang ditampilkan oleh al-Markaz al-`Alami li al-Wasathiyyah
ini adalah Fiqh al-Wasathiyyah (Fikih Pertengahan).
Alhamdulillah, penulis sangat menikmati revitalisasi turats
fikih ini. Modelnya adalah Fikih Wasathiyyah (jangan dipahami dengan
moderat atau moderatisme seperti yang sekarang banyak diwacanakan di
Indonesia), menyangkut: Fiqh al-I’tilaf wa al-Ikhtilaf (Fikih Harmonitas
Pendapat dan Perbedaan Pandangan), Fiqh al-Awlawiyyat (Fikih Prioritas),
Fiqh al-Amr bi al-Ma`ruf wa al-Nahyi `an al-Munkar, Fiqh al-Maqashid
wa Ahammiyatuh (Fikih Maqashid dan Urgensinya), Ta`addud al-Madzahib
al-Fiqhiyyah wa Manhaj al-Ta`amul Ma`ah (Keragaman Mazhab Fikih dan Metode
Berinteraksi Dengannya), dan Fiqh al-Muwazanat (Fikih
Komparatif/Pertimbangan).
Dengan revitalisasi turats fikih model ini, diharapkan
lahir pandangan yang wasath (tidak ekstrem, tidak liberal, apalagi sekular).
Karena fikih dibingkai dengan banyak pertimbangan, berdasarkan konsep-konsep
seminal dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma`, dan Qiyas plus pandangan
para salaf saleh dari kalangan sahabat, tabi`in, dan tabi` tabi`in.
Maka wajar jika kemudian fiqh wasathi ini
menjadi konsep dan model wacana yang mudah diterima dan dipraktikkan jika
difahami dengan benar.
Revitalisasi fikih ini sangat berbeda dengan apa yang
dikembangkan oleh kaum liberal di Indonesia, misalnya. Di mana mereka juga
mengusung konsep fikih, tapi muatannya sudah jauh menyimpang dari konsep fikih
yang sebenarnya. Munculnya "Fikih Lintas Agama" oleh kaum
liberal Indonesia, (Paramadina & Asia Foundation, 2004) menyiratkan bahwa
revitalisasi turats fikih sudah banyak disalahfahami.
Inilah yang coba diluruskan dan dibenarkan oleh al-Markaz
al-`Alami li al-Wasathiyyah (Kuwait) ini. Hal ini dapat difahami dengan
baik dan gamblang dari motto yang mereka usung, ‘irtibath bil ashl ittishal
bil `ashr’ (mengakar kepada turats, serasi dengan kemodernan). Artinya:
fikih tidak dikorbankan – atau menjadi korban – modernitas. Sehingga hal-hal
yang qath`i (jelas dan tegas) dalam Islam harus diubah dengan
mengatasnamakan fikih. Apa yang diharamkan oleh agama – seperti seorang
Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim – tidak bisa “dihalalkan” dengan
mengobrak-abrik tatanan syariat yang sudah digariskan.
Meskipun dasarnya adalah turats fikih klasik,
namun cakupannya menembus dinding peradaban dan wacana pemikiran masa kini.
Namun tidak melanggar rambu-rambu yang sudah jelas dan tegas. Model ini
tentunya perlu dikembangkan lebih jauh dan lebih membumi. Apa yang dilakukan
oleh al-Markaz al-`Alami li al-Wasathiyyah penting untuk ditiru dan
dilanjutkan, terutama di berbagai belahan dunia Islam. Sehingga, suatu saat
akan lahir konsep pemikiran yang didasarkan pada konsep fikih, seperti: fikih
lingkungan hidup, fikih pemikiran, fikih peradaban, fikih kesadaran umat, dan
fikih-fikih lain.
Dan model ini, dalam bentuk karya individual, sudah
banyak yang memulai. Sebut saja
Fiqh al-Muwajahah (Fikih Konfrontasi) yang ditulis oleh Dr. Muhammad
Imarah (Mesir). Juga Fiqh al-Hadharah (Fikih Peradaban) yang juga
ditulis oleh beliau. Ada juga Fiqh al-Awlawiyyat karya Dr. Yusuf
al-Qaradhawi (Kairo: Maktabah Wahbah, cet. II, 1416 H/1996 M). Disamping Fiqh
al-Awlawiyyah yang ditulis oleh Muhammad al-Wakil (Herndon-Virginia: al-Ma`had
al-`Alami li al-Fikr al-Islami, cet. I, 1416 H/1997 M). Tetapi, yang
penulis maksud adalah: model fikih-fikih ini lahir dari tangan pemikir dan
cendikiawan Muslim di Indonesia. Sehingga, akan lahir dan mengkristal semacam
konsep “pemahaman” (al-fiqh) mengenai realitas keumatan (fiqh al-waqi`).
Dengan demikian, umat akan maju ke depan dengan mengambil start dari khazanah
klasik (turats) yang mereka miliki. Dan pada gilirannya, akan lahir semacam
“harmonitas umat dan turats” yang mengubah keadaan kepada yang lebih baik: dari
kejahilan akan peradaban menuju kematangan berpikir dan kegemilangan peradaban.
Semoga.*
Sumber: Hadi Nur Ramadhan
0 komentar:
Posting Komentar