FILM “?”: Apa Maunya? [Catatan Kritis
Seorang Muslim]
|
|
![]() |
|
![]() |
|
|
|
Ahad,
26 Februari 2012
Oleh: Dr.
Adian Husaini
“Soal akidah, di antara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.” (Prof. Hamka, dalam Tafsir al-Azhar).
“Soal akidah, di antara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.” (Prof. Hamka, dalam Tafsir al-Azhar).
PERLU digarisbawahi, saat
menonton film “?” (Tanda Tanya) pada
tayangan perdana, 6 April 2011 lalu, saya adalah seorang Muslim. Saat
memberikan komentar dan memberikan catatan kritis ini, saya juga tetap Muslim,
dan saya menggunakan perspektif Islam dalam menganalisis film “?”. Sebagai
Muslim, saya telah berikrar: Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah.
Dengan syahadat Islam itu, saya bersaksi, saya mengakui, bahwa Tuhan saya adalah Allah. Tuhan saya bukan Yahweh, bukan Yesus, bukan Syiwa. Tuhan saya Satu. Tuhan saya tidak beranak dan tidak diperanakkan. Saya mengenal nama dan sifat Allah bukan dari budaya, bukan dari hasil konsensus, tapi dari al-Quran yang saya yakini sebagai wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Karena itu, sejak dulu, dan sampai kiamat, saya dan semua orang Muslim memanggil Tuhan dengan nama yang sama, Allah, yang jelas-jelas berasal dari wahyu.
Dengan syahadat Islam itu, saya bersaksi, saya mengakui, bahwa Tuhan saya adalah Allah. Tuhan saya bukan Yahweh, bukan Yesus, bukan Syiwa. Tuhan saya Satu. Tuhan saya tidak beranak dan tidak diperanakkan. Saya mengenal nama dan sifat Allah bukan dari budaya, bukan dari hasil konsensus, tapi dari al-Quran yang saya yakini sebagai wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Karena itu, sejak dulu, dan sampai kiamat, saya dan semua orang Muslim memanggil Tuhan dengan nama yang sama, Allah, yang jelas-jelas berasal dari wahyu.
Sebagai Muslim, saya yakin, bahwa Nabi Muhammad
Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله
عليه و سلم) diutus oleh Allah
sebagai nabi terakhir. Sebagaimana para nabi sebelumnya – seperti Nabi Musa dan
Nabi Isa a.s. – inti ajaran Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)
adalah Tauhid, yaitu mensatukan Allah. Nabi Muhammad saw diutus untuk seluruh
manusia (QS 34:28), bukan hanya untuk bangsa atau kurun tertentu.
Itu artinya, kebenaran Islam, bukan hanya berlaku untuk orang Islam, tetapi berlaku untuk semua manusia. Syariat Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) saat ini adalah satu-satunya syariat yang sah untuk seluruh manusia. Cara beribadah kepada Allah – satu-satunya – yang sah hanyalah dengan syariat Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam. Jalan yang sah menuju Tuhan hanyalah jalan yang dibawa Nabi Muhammad.
Itu artinya, kebenaran Islam, bukan hanya berlaku untuk orang Islam, tetapi berlaku untuk semua manusia. Syariat Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) saat ini adalah satu-satunya syariat yang sah untuk seluruh manusia. Cara beribadah kepada Allah – satu-satunya – yang sah hanyalah dengan syariat Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam. Jalan yang sah menuju Tuhan hanyalah jalan yang dibawa Nabi Muhammad.
Akal saya tidak bisa menerima satu logika, yang
menyatakan, bahwa Allah telah menurunkan Nabi-Nya yang terakhir, dan kemudian
Allah SWT membebaskan manusia untuk memanggil nama-Nya dengan nama apa pun,
sesuai dengan selera manusia. Juga, tidak masuk di akal saya, pendapat yang
menyatakan, bahwa Allah SWT membebaskan manusia untuk menyembah-Nya dengan cara
apa pun, sesuai dengan kreativitas akal dan hasrat nafsu manusia.
Saya yakin, sesuai QS 3:19 dan 3:85, bahwa Allah hanya
menurunkan satu agama untuk seluruh Nabi-Nya, yakni agama yang mengajarkan
Tauhid (QS 16:36). Jika satu agama tidak mengajarkan Tauhid, pasti bukan agama
yang diturunkan Allah untuk para Nabinya; dan pasti merupakan agama budaya
(cultural religion).
Itu keyakinan saya sebagai Muslim. Dan itu konsekuensi
logis dari syahadat yang saya ikrarkan!
*****
Alkisah, Rika, seorang istri yang kecewa terhadap
suami. Rika memutuskan pindah agama, dari Islam menjadi Katolik. Ia berujar,
bahwa kepindahan agamanya bukan berarti mengkhianati Tuhan. Meskipun Katolik,
Rika sangat toleran. Anaknya , – masih kecil, bernama Abi –dibiarkannya tetap
Muslim. Bahkan, ia mengantarjemput anaknya ke masjid, belajar mengaji al-Quran.
Di bulan puasa, dia temani dan dia ajar Abi berdoa makan sahur.
Di Film “?” (Tanda Tanya), Rika
ditampilkan sebagai sosok ideal: murtad dari Islam, tapi toleran dan suka
kerukunan. Pada segmen lain, secara verbatim Rika mengatakan, BAHWA
agama-agama ibarat jalan setapak yang berbeda-beda tetapi menuju tujuan yang
sama, yaitu Tuhan. Kata Rika mengutip ungkapan sebuah buku, “…
semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama;
mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.”
Mulanya, kemurtadan Rika tidak direstui ibunya.
Anaknya yang Muslim pun awalnya menggugat. Tapi, di ujung film, Rika
sudah diterima sebagai “orang murtad” dari Islam. Bahkan, ada juga yang
memujinya telah mengambil langkah besar dalam hidupnya.
Kisah dan sosok Rika cukup mendominasi alur cerita dalam film “?” garapan Hanung Bramantyo ini. Rika tidak dipersoalkan kemurtadannya. Padahal, dalam pandangan Islam, murtad adalah kesalahan besar. Saat duduk di bangku SMP, saya sudah menamatkan satu Kitab berjudul Sullamut Tawfiq karya Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim. Kitab ini termasuk yang mendapatkan perhatian serius dari Imam Nawawi al-Bantani, sehingga beliau memberikan syarah atas kitab yang biasanya dipasangkan dengan Kitab Safinatun Najah.
Kisah dan sosok Rika cukup mendominasi alur cerita dalam film “?” garapan Hanung Bramantyo ini. Rika tidak dipersoalkan kemurtadannya. Padahal, dalam pandangan Islam, murtad adalah kesalahan besar. Saat duduk di bangku SMP, saya sudah menamatkan satu Kitab berjudul Sullamut Tawfiq karya Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim. Kitab ini termasuk yang mendapatkan perhatian serius dari Imam Nawawi al-Bantani, sehingga beliau memberikan syarah atas kitab yang biasanya dipasangkan dengan Kitab Safinatun Najah.
Dalam kitab inilah, sebenarnya umat Islam diingatkan
agar menjaga Islamnya dari hal-hal yang membatalkannya, yakni murtad (riddah). Dijelaskan juga dalam kitab ini,
bahwa ada tiga jenis riddah, yaitu murtad dengan I’tiqad, murtad dengan
lisan, dan murtad dengan perbuatan. Contoh murtad dari segi I’tiqad, misalnya,
ragu-ragu terhadap wujud Allah, atau ragu terhadap kenabian Muhammad saw, atau
ragu terhadap al-Quran, atau ragu terhadap Hari Akhir, sorga, neraka, pahala,
siksa, dan sejenisnya.
Masalah kemurtadan ini senantiasa mendapatkan
perhatian serius dari setiap Muslim, sebab ini sudah menyangkut aspek yang
sangat mendasar dalam pandangan Islam, yaitu masalah iman. Dalam pandangan
Islam, murtad (batalnya keimanan) seseorang, bukanlah hal yang kecil. Jika iman
batal, maka hilanglah pondasi keislamannya. Banyak ayat al-Quran yang
menyebutkan bahaya dan resiko pemurtadan bagi seorang Muslim.
”Barangsiapa yang murtad di antara kamu
dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya.” (QS 2:217).
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka
adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh
orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak
mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu
Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah
sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS 24:39).
Jadi, riddah/kemurtadan adalah
masalah besar dalam pandangan Islam. Entahlah dimata kaum Pluralis! Tindakan
murtad bukan untuk dipertontonkan dan dibangga-banggakan! Dalam perspektif
Islam, patutkah seorang bangga dengan kekafirannya?
*****
Masih menyorot sosok Rika dalam film “?”. Rika pindah agama, dari Islam menjadi
Katolik. Dalam konsepsi Islam, Rika bisa dikatakan telah melakukan dosa syirik,
karena mengakui Yesus sebagai Tuhan atau salah satu Oknum dalam Trinitas.
Padahal, dalam al-Quran Nabi Isa a.s. jelas-jelas menegaskan dirinya
sebagai Rasul Allah. Nabi Isa adalah manusia, dan bukan Tuhan, atau anak
Tuhan. Ini pandangan Islam. Tentu, ini bukan pandangan Kristen.
Dalam perspektif Islam, menurunkan derajat
al-Khaliq ke derajat makhluk adalah tindakan tidak beradab. Begitu juga
sebaliknya, menaikkan derajat makhluk ke derajat al-Khaliq juga tidak beradab.
Itu musyrik namanya. Seorang presiden saja tidak mau disamakan dengan rakyat
biasa. Jika lewat, dia minta diistimewakan. Kita diminta minggir. Binatang juga
dibeda-bedakan tempat atau kandangnya. Adab -- dalam konsepsi Islam --
mewajibkan seorang Muslim meletakkan segala sesuatu sesuai dengan harkat dan
martabat yang sebenarnya, sesuai ketentuan Allah. Nabi Isa a.s. adalah utusan
Allah.
Tugasnya menyampaikan kepada Bani Israel, siapa Tuhan
yang sebenarnya, dan bagaimana cara menyembah-Nya. Nabi Isa a.s. melanjutkan
syariat Nabi Musa a.s.
Menuduh Allah mempunyai anak – menurut al-Quran – adalah sebuah kesalahan yang sangat serius. “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (QS 19: 88-91).
Menuduh Allah mempunyai anak – menurut al-Quran – adalah sebuah kesalahan yang sangat serius. “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (QS 19: 88-91).
Islam memandang keimanan sebagai hal terpenting dan
mendasar dalam kehidupan. Iman akan dibawa mati. Iman lebih dari soal suku,
bangsa, bahkan hubungan darah. Iman bukan “baju”, yang bisa ditukar dan dilepas
kapan saja si empunya suka. Iman juga tidak patut diperjualbelikan:
ditukar dengan godaan-godaan duniawi. Ada perbedaan prinsip antara mukmin dan
kafir. “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang
musyrik (akan masuk) neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya.” (QS 98:6).
Demi mempertahankan iman, Nabi Ibrahim a.s. rela
berpisah dengan ayah dan kaumnya. Melihat tradisi penyembahan berhala pada
keluarga dan kaumnya, Ibrahim a.s. tidak berpikir sebagai seorang Pluralis yang
menyatakan, bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, dan punya tujuan
yang sama. Tapi, Nabi Ibrahim berdiri kokoh pada prinsip Tauhid, mengajak
kaumnya untuk meningalkan tradisi syirik.
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata
kepada ayahnya, Azar, pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala ini sebagai
tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaum engkau dalam kesesatan
yang nyata.” (QS 6:74).
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata:
“Ya Tuhanku, jadikan negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku
dan anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Ya Tuhanku, sesungguhnya
berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari manusia, maka barangsiapa
yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan
barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS 14:35-36)
“Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani,
tetapi dia adalah seorang yang hanif dan Muslim, dan dia bukanlah orang
musyrik.” (QS 3:67).
Dan kini, dalam setiap shalat, kaum Muslim membacakan
doa untuk Nabi Muhammad saw dan sekaligus dirangkaikan dengan doa untuk Nabi
Ibrahim a.s. Itu tentu karena kegigihan Nabi Ibrahim dalam menegakkan ajaran
Tauhid dan bukan karena Nabi Ibrahim seorang musyrik!
Maka, sebagai Muslim, saya tentu boleh merasa heran,
dan penuh Tanda Tanya, mengapa dalam film “?” -- yang diproduksi dan digarap
seorang yang beragama Islam -- soal ganti agama, soal keluar dari
Islam, soal pergantian mukmin menjadi kafir, dianggap perkara kecil dan
remeh?
*****
Syahdan, para pemikir ateis,
seperti Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud, Jean Paul Sartre dan
sejenisnya, terkenal dengan gagasan-gagasan yang memandang agama dan Tuhan
sudah tidak diperlukan lagi di era zaman modern ini. Mereka beramai-ramai
mempermainkan Tuhan. Jean-Paul Sartre (1905-1980) menyatakan: “even if God
existed, it will still necessary to reject him, since the idea of God negates
our freedom.” (Karem Armstrong, History of God, 1993). Thomas J.
Altizer, dalam “The Gospel of
Christian Atheism” (1966) menyatakan: “Only
by accepting and even willing the death of God in our experience can we be liberated
from slavery…” (Karen Armstrong, History of God)
Friedrich Nietzsche, dalam karyanya, Also Sprach Zarathustra, mengungkap gagasan
bahwa “Tuhan sudah mati”. Karena Tuhan sudah mati, dan tidak diperlukan lagi,
Nietzsche berpendapat, “Kepercayaan adalah musuh yang lebih berbahaya bagi
kebenaran, dibanding kebohongam.” Nietzsche ingin bebas dari segala
aturan moral, ingin bebas dari Tuhan. Ujungnya, pada 25 Agustus 1900, ia mati
setelah menderita kelainan jiwa dan penyakit kelamin. (Lihat, B.E. Matindas,
Meruntuhkan Benteng Ateisme Modern, 2010).
Jika direnungkan secara serius, Pluralisme Agama
sejatinya bisa begitu dekat dengan ateisme. Ketika orang menyatakan, “semua agama benar”, sejatinya
bersemayam juga satu ide dalam dirinya, bahwa “semua agama salah”.
Sebab, “Tuhan” (God), yang dipersepsikan kaum Pluralis adalah Tuhan yang
abstrak. Tuhan kaum Pluralis adalah Tuhan dalam angan-angan, yang boleh diberi
nama siapa saja, diberi sifat apa saja, dan cara menyembahnya pun boleh
suka-suka. Kapan suka disembah, kapan-kapan tidak suka, bisa diganti dengan
Tuhan lain. Cara menyembah Tuhan, menurut mereka, juga sesuka selera manusia.
Bosan dengan cara satu, bisa diganti dengan cara lain. Sebab, dalam konsep
mereka, tidak ada satu cara yang pasti benar dalam ibadah, sesuai petunjuk
seorang Nabi.
Tuhan dalam Islam mengharamkan babi. Pada saat yang
sama, Tuhan dalam agama Kristen menghalalkan babi. Tuhan, dalam agama
Bhairawa Tantra, memerintahkan agar menyembelih wanita dan darahnya
kemudian diminum bersama-sama. Tuhan dalam agama Children
of God menganjurkan seks bebas, sebagai wujud rasa kasih
sayang antar-sesama manusia. Kini, di daratan Amerika dan Eropa
bermunculan gereja-gereja nudis. Baik pendeta maupun jemaatnya, semuanya
telanjang bulat saat melakukan kebaktian. Jika semua jenis “Tuhan” itu
diangga sama saja, maka “Tuhan” yang mana yang disembah kaum Pluralis?
Jadi, saat seorang yang mengaku Pluralis
berkata, “Semua agama menyembah Tuhan yang sama”, maka secara hakiki, dia
telah berdiri di luar Islam. Sebab, dia tidak lagi menuhankan
Allah. “Tuhan”, baginya, bisa siapa saja, berupa apa saja, dan berwujud
apa saja. Bisa disebut Yehweh, bisa Allah, bisa Yesus, bisa Brahmin, dan bisa
juga Iblis! Yang penting dikatakan “Tuhan”, yang penting God!
Padahal, seorang Muslim sudah mengikrarkan syahadat: “Tidak ada Tuhan selain
Allah”.
Meskipun menyebut Tuhan mereka dengan “Allah”,
tetapi kaum Quraisy ketika itu dikatakan sebagai “musyrik”, sebab
mereka menyekutukan Allah dengan Tuhan-tuhan lain. Allah hanyalah salah
satu dari Tuhan-tuhan mereka; bukan Tuhan satu-satunya. Sebutan bisa sama,
yakni “Allah”, tetapi konsepnya berbeda-beda. Sebagian besar
kaum Kristen di Indonesia menyebut juga Tuhan mereka dengan sebutan “Allah”,
tetapi konsepnya berbeda dengan “Allah” dalam Islam.
Lain lagi dengan aliran “Darmogandul”
di
Tanah Jawa, yang mengartikan Allah dengan “ala” (bahasa Jawa, artinya jelek).
Dalam salah satu bait Pangkur-nya, Kitab Darmogandul, menyatakan: “Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan
baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka
menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam
lahirnya saja, dalam hakekatnya mereka itu terasa pahit dan masin.”
Jadi, Tuhan yang mana yang disembah kaum
Pluralis? Jika Tuhan apa pun sama saja, lalu apa artinya Tuhan bagi
mereka? Ujung-ujungnya bisa jadi: Tuhan tidak penting! Sebab, dalam
pandangan kaum ini, Tuhan yang sejati (Allah), atau manusia, atau setan
dianggap sama saja. Semua bisa menjadi Tuhan dan dituhankan.
Ujung-ujungnya, Tuhan dianggap tidak penting. Bandingkan dengan sosok Sigmund
Freud, psikolog dan salah satu perintis ateisme modern, yang berteori bahwa
“Bertuhan, hanyalah wujud gejala penyakit jiwa infantilisme (penyakit
kekanak-kanakan). (B.E. Matindas, ibid).
Ketidakjelasan posisi teologis kaum Pluralis Agama,
digambarkan oleh Dr. Stevri Lumintang, seorang pendeta Kristen di Malang,
dalam bukunya, Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam
Teologi Kristen Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004).
Dicatat dalam ilustrasi sampul buku ini, bahwa Teologi
Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis ; bahwa teologi ini sedang
meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang
semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama. Ditegaskan
dalam buku ini: ‘’Inti Teologi Abu-Abu (Pluralisme) merupakan penyangkalan
terhadap intisari atau jatidiri semua agama yang ada. Karena, perjuangan mereka
membangun Teologi Abu-Abu atau teologi agama-agama, harus dimulai dari usaha
untuk menghancurkan batu sandungan yang menghalangi perwujudan teologi mereka.
Batu sandungan utama yang harus mereka hancurkan atau paling tidak yang harus
digulingkan ialah klaim kabsolutan dan kefinalitas(an) kebenaran yang ada di
masing-masing agama.’’
*****
Sosok lain yang secara dominan ditampilkan
dalam Film “?” adalah seorang bernama Surya. Ia seorang
laki-laki Muslim, berprofesi sebagai aktor figuran. Dia berteman dengan
Rika. Karena miskin, ia terusir dari rumah kosnya. Lihatlah, dalam film ini,
Ibu Kos yang “bakhil” itu ditampilkan dalam sosok berjilbab, dan mengajari anak
Rika agar membaca buku-buku Islam!
Surya memuji-muji Rika telah melakukan sesuatu
yang berarti dalam hidupnya. Mereka berkawan akrab. Surya ditampilkan sebagai
sosok yang polos, kocak dan naif. Untuk uang, dan mungkin untuk
mempertontonkan fenomena “kerukunan umat beragama”, Surya menerima
tawaran Rika agar berperan sebagai Yesus. Ia rela beradegan – seolah-olah -- dipaku
di tiang salib di sebuah Gereja Katolik saat perayaan Paskah. Pada kali lain,
ia berperan sebagai Santa Claus. Sebagian jemaat Gereja sempat memprotes sosok
Yesus diperankan seorang Muslim. Terjadi perdebatan. Muncul Pastor yang
menyetujui penunjukan Surya sebagai tokoh Yesus.
Seperti halnya Rika, tampaknya sosok Surya ditampilkan
sebagai representasi fenomena toleransi dan “kerukunan”. Setelah
merelakan dirinya berperan sebagai Yesus, Surya kembali ke masjid membaca surat
al-Ikhlas, sebuah surat dalam al-Quran yang menegaskan kemurnian Tauhid.
“Katakan, Allah itu satu. Allah tempat meminta. Allah tidak beranak dan
diperanakkan. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” Allah itu satu!
Allah tidak punya anak! Ini gambaran dalam Film “?” karya Hanung ini.
Padahal, surat al-Ikhlas seperti mengoreksi doktrin
pokok dalam agama Kristen, yang dirumuskan sekitar 300 tahun sebelumnya, di
Konsili Nicea (325 M), sebagaimana disebutkan dalam Nicene Creed:
“Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang
kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra
Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa,
Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan
tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa…” (Norman P. Tanner,
Konsili-konsili Gereja).
Padahal, al-Quran sudah menjelaskan: “Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama Ahmad (Muhammad).” (QS 61:6). Dalam al-Quran, ada cerita Lukmanul Hakim yang menesehati anaknya: “Syirik adalah kezaliman besar.” (QS 31:13).
Padahal, al-Quran sudah menjelaskan: “Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama Ahmad (Muhammad).” (QS 61:6). Dalam al-Quran, ada cerita Lukmanul Hakim yang menesehati anaknya: “Syirik adalah kezaliman besar.” (QS 31:13).
Beratus tahun, sejak kelahirannya, Islam membuktikan
sebagai agama yang sangat toleran. Sejak awal, Islam mengakui dan menghargai
perbedaan, tanpa harus kehilangan keyakinan. Saat Nabi Muhammad s.a.w.
diutus, di wilayah Timur Tengah, sudah eksis pemeluk Yahudi, Kristen, dan
kaum musyrik Arab. Nabi Muhammad mengajak mereka untuk memeluk Islam,
mengakui Allah satu-satunya Tuhan dan dirinya adalah utusan Allah. Nabi
tidak menyatakan, “Semua agama sama-sama jalan yang sah menuju Tuhan!”
Bahkan, ada perintah al-Quran dalam surat al-Kafirun (109): “Katakan, hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah
apa yang kamu sembah! Dan tidak pula kamu menyembah apa yang aku sembah! Dan
aku bukanlah penyembah sebagaimana kamu menyembah! Dan kamu bukanlah pula penyembah
sebagaimana aku menyembah!”
Dalam Tafsirnya, Al-Azhar, Prof. Hamka menjelaskan,
asbabun nuzul surat al-Kafirun ini berkaitan dengan tawaran damai empat tokoh
kafir Quraisy yang resah dengan dakwah Tauhid Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi
Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Mereka adalah al-Walid bin
al-Mughirah, al-Ash bin Wail, al-Aswad bin al-Muthalib dan Umaiyah bin Khalaf.
Mereka mengajukan usulan: “Ya Muhammad! Mari kita berdamai. Kami bersedia
menyembah apa yang engkau sembah, tetapi engkau pun hendaknya bersedia pula
menyembah yang kami sembah….”
Buya Hamka mencatat: “Soal akidah, diantara
Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau
dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik,
artinya ialah kemenangan syirik.”
Lebih jauh Buya Hamka menjelaskan: “Surat ini memberi
pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah
dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tak dapat dipertemukan. Kalau yang haq
hendak dipersatukan dengan yang batil, maka yang batil jualah yang menang.”
Itulah paparan Buya Hamka, ulama terkenal dan salah
satu Pahlawan Nasional di Indonesia. Kita bisa menyimpulkan, jika ada
yang menyatakan, bahwa “semua agama adalah jalan kebenaran”, saat
itu dikepalanya telah hilang konsep iman dan kufur, konsep tauhid dan
syirik. Baginya, tiada penting lagi, apakah seorang bertauhid atau
musyrik; tak perlu dipersoalkan makan babi atau ayam, minum khamr atau
jus kurma; tidak penting lagi berjilbab atau telanjang; tiada beda antara
nikah atau zina; yang penting – katanya – adalah mengasihi sesama manusia.
Saat itu, sejatinya, agama-agama sudah tidak ada; sudah diganti dengan SATU
AGAMA: “agama global”, “agama universal”, “agama kemanusiaan”, atau “agama
cinta”.
Persaudaraan global antar-sesama tanpa memandang agama
menjadi misi terpenting dari kelompok lintas-agama semacam Theosofi dan
Freemason. Ketua Theosofische Vereeniging Hindia Belanda, D. Van
Hinloopen Labberton pada majalah Teosofi bulan Desember 1912 menulis:
"Kemajuan manusia itu dengan atau tidak dengan agama? Saya kira bila
beragama tanpa alasan, dan bila beragama tidak dengan pengetahuan agama yang
sejati, mustahil bisa maju batinnya. Tidak usah peduli agama apa yang
dianutnya. Sebab yang disebut agama itu sifatnya: cinta pada sesama, ringan
memberi pertolongan, dan sopan budinya. Jadi yang disebut agama yang sejati itu
bukannya perkara lahir, tetapi perkara dalam hati, batin.
Inikah yang dituju oleh Film “?”
Jangan
menuduh! Silakan dicermati dan direnungkan!
*****
Masih ada sosok lain yang diidolakan dalam film “?”. Namanya, Menuk. Dia seorang
muslimah, berjilbab pula. Menuk bekerja di sebuah retoran Cina.
Bermacam makanan dijual di sana, termasuk babi. Dengan mencolok
kepala babi ditampilkan. Kata si empunya restoran, bahan babi dan bahan lain
dipisahkan.
Menuk diterima bekerja dengan baik di restoran
ini. Ia diberi kebebasan ibadah. Dalam salah satu segmen,
ditayangkan Menuk sedang shalat, disampingnya Nyonya pemilik restoran juga
sedang bersembahyang sesuai dengan agamanya.
Pesan dari pemunculan sosok Menuk ini cukup
jelas: inilah contoh toleransi! Muslimah berjilbab rela bekerja di sebuah
restoran yang menjual babi.
Syukurlah, di akhir cerita,
anak pemilik restoran bersedia memeluk Islam. Ini tentu baik, dalam
perspektif Islam. Tetapi, apakah perlu harus melalui proses bekerja di
sebuah restoran yang menjual babi? Tujuan baik tidak boleh menghalalkan segala
cara. Tujuan memberi nafkah keluarga adalah baik. Tetapi, cara yang ditempuh
pun harus baik. Banyak muslimah yang gigih membantu ekonomi keluarganya dengan
bekerja keras dalam berbagai bidang profesi, dan juga toleran dengan yang lain.
Tapi, apakah Menuk sosok Muslimah yang ideal untuk ditampilkan?
Walhasil, Film “?” karya Hanung Bramantyo ini membawa pesan
besar yang terlalu jelas: agama apa saja, sebenarnya sama saja! Agama-agama
dipandang sebagai jalan setapak menuju Tuhan yang sama. Juga,
agama-agama dianggap barang remeh; laksana baju, agama boleh ditukar dan --
kalau perlu -- dibuang kapan saja! Katanya, demi kerukunan, demi
toleransi, dan demi perdamaian.
Akhirul kalam, di era globalisasi
dan kebebasan informasi, saat kemusyrikan dan kemurtadan ditampilkan dalam
wujud yang menawan dan menghibur, ada baiknya kita merenungkan satu
ayat al-Quran: "Dan demikianlah Kami jadikan bagi
tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan setan
(dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian lainnya
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu." (QS 6:112)
Juga, Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)
pernah bersabda: “Bersegaralah mengerjakan amal shalih,
(sebab) akan datang banyak fitnah laksana malam yang gelap gulita. Pada pagi
hari, seseorang berada dalam keadaan mukmin, tetapi sore harinya menjadi kafir.
(Atau) sore harinya dia mukmin, pagi harinya menjadi kafir. Dia menjual agamanya
dengan harta-benda dunia.” (HR Muslim).
Wallahu a’lam bil-shawab.*/Depok, 10 April 2011
Wallahu a’lam bil-shawab.*/Depok, 10 April 2011
Ketua Program Studi Pendidikan
Islam—Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor). Catatan Akhir Pekan
(CAP) bekerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
Foto: Sutradara "?"
saat mendukung pembubaran FPI bersama aktivis LGBT di Hotel Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar